POSISI DOMINAN Pasal 25 sd Pasal 29 Definisi

  • Slides: 46
Download presentation
POSISI DOMINAN Pasal 25 s/d Pasal 29

POSISI DOMINAN Pasal 25 s/d Pasal 29

 • Definisi “Posisi Dominan” • Keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang

• Definisi “Posisi Dominan” • Keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan pangsa pasar yang dikuasai, …. . ………. . pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi… - dalam kemampuan keuangan - akses pada pasokan dan pasar - kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang/jasa tertentu [psl 1 (4)]

 • Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat

• Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan: • a) pangsa pasarnya; • b) kemampuan keuangan; • c) kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan • d) kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu

 • Penyalahgunaan Posisi Dominan” Langsung maupun tidak langsung, DILARANG: • Menetapkan syarat-syarat perdagangan

• Penyalahgunaan Posisi Dominan” Langsung maupun tidak langsung, DILARANG: • Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang/ jasa yang bersaing dalam harga & kualitas; • Membatasi pasar dan perkembangan teknologi; dan • Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan [psl 25 (1)]

 • “Posisi Dominan” lainnya • Jabatan rangkap (Direksi atau Komisaris) (psl 26); •

• “Posisi Dominan” lainnya • Jabatan rangkap (Direksi atau Komisaris) (psl 26); • Pemilikan saham mayoritas (psl 27); • Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan (psl 28 & 29)

 • Pasal 25 (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung

• Pasal 25 (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. (2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bagian Kedua Jabatan Rangkap Pasal 26 Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris

Bagian Kedua Jabatan Rangkap Pasal 26 Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan tersebut: a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. • •

Bagian Ketiga Pemilikan Saham Pasal 27 Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa

Bagian Ketiga Pemilikan Saham Pasal 27 Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. • •

 • Bagian Keempat • Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan • Pasal 28 (1) Pelaku

• Bagian Keempat • Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan • Pasal 28 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 • Pasal 29 (1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana

• Pasal 29 (1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut. (2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam • Peraturan Pemerintah.

 • Posisi dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari persaingan usaha.

• Posisi dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari persaingan usaha. Mengapa? Karena hampir pada setiap kasus hukum persaingan usaha, menjadi perhatian pertama lembaga persaingan usaha, dalam hal ini di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah terhadap posisi dominan suatu perusahaan pada pasar yang bersangkutan. Siapa yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan? Atau kalau suatu kasus dilaporkan ke KPPU apakah terlapor mempunyai posisi dominan? Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan ya, bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya, maka yang akan dilakukan adalah tinggal membuktikan, apakah pelaku usaha tersebut benar-benar melakukan penyalahgunaan posisi dominannya dan bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya

 • UU No. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

• UU No. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No. 5/1999) tidak melarang pelaku usaha menjadi perusahaan besar. • UU No. 5/1999 justru mendorong pelaku usaha untuk dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan. Persaingan inilah yang memacu pelaku usaha untuk melakukan efisiensi dan inovasi-inovasi untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan harga yang kompetitif dibandingkan dengan kualitas produk dan harga jual dari pesaingnya. Persainganlah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang dominan.

 • UU No. 5/1999 tidak menjelaskan, • apakah syarat-syarat tersebut harus dipenuhi oleh

• UU No. 5/1999 tidak menjelaskan, • apakah syarat-syarat tersebut harus dipenuhi oleh suatu pelaku usaha secara kumulatif atau tidak. Artinya, apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi dominan? Akan tetapi salah satu ciri-ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah, jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri/individu tanpa memperhitungkan pesaingnya. Kedudukan seperti ini kepemilikan pasang pasarnya, atau karena kepemilikan pangsa pasar ditambah dengan kemampuan pengetahuan tehnologinya, bahan baku atau modal, sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan untuk menentukan harga atau mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk-

 • Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu

• Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu • Pasal 1 Angka 13 UU N. 5/1999

 • Pangsa pasar adalah satu elemen penting dalam menetapkan, apakah suatu pelaku usaha

• Pangsa pasar adalah satu elemen penting dalam menetapkan, apakah suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan atau tidak. Berapa persen penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha dinyatakan sebagai posisi dominan? • Di dalam hukum persaingan usaha Jerman, untuk satu pelaku usaha diduga dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, jika satu pelaku usaha mempunyai pangsa pasar lebih dari 33, 3%, dan untuk dua atau lebih dari tiga pelaku usaha diduga dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, apabila menguasai pangsa pasar lebih dari 66, 6%. • Menurut hukum persaingan Negara Republik Cekoslovakia dan Spanyol diduga memiliki posisi dominan jika menguasai pangsa pasar 40%. 189

 • di dalam prakteknya KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat tersebut dengan

• di dalam prakteknya KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 yang menggunakan pendekatan rule of reason dalam penerapannya. Pertanyaannya adalah mengapa Pasal 25 harus diterapkan dengan menggunakan pendekatan rule of reason ? Secara praktis jika Pasal 25 diterapkan dengan pendekatan per se, maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan) pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif di pasar yang bersangkutan.

 • karena ketentuan Pasal 4, 13, 17 dan Pasal 18 menggunakan pendekatan rule

• karena ketentuan Pasal 4, 13, 17 dan Pasal 18 menggunakan pendekatan rule of reason, maka ketentuan Pasal 25 harus diterapkan dengan pendekatan rule of reason. Kalau tidak demikian, maka prinsip ketentuan Pasal 25 bertentangan dengan ketentuan Pasal 4, 13, 17, dan Pasal 18 UU No. 5/1999.

 • Penetapan Posisi Dominan • Lembaga yang berwenang untuk menetapkan posisi dominan suatu

• Penetapan Posisi Dominan • Lembaga yang berwenang untuk menetapkan posisi dominan suatu pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan, apakah suatu pelaku usaha sudah mempunyai posisi dominan, adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelum suatu pelaku usaha ditetapkan mempunyai posisi dominan, KPPU terlebih dahulu harus melakukan investigasi terhadap pasar yang bersangkutan. KPPU dalam melakukan investigasi tersebut harus melakukan pembatasan pasar bersangkutan.

 • Pembatasan pasar ada tiga, yang pertama pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk (market

• Pembatasan pasar ada tiga, yang pertama pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk (market product) atau disebut juga secara obyektif atau faktual, yang kedua pembatasan pasar bersangkutan secara geografis atau menurut wilayah dan yang ketiga pembatasan pasar menurut waktu. Metode pertama dan kedua merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan investigasi pasar bersangkutan sedangkan pembatasan pasar bersangkutan menurut waktu, dilakukan hanya pada waktu tertentu, yaitu pada even tertentu. Misalnya pada pekan raya, pada saat penyelenggaraan olimpiade dll. Metode yang ketiga hampir tidak pernah dilakukan, karena hanya bersifat sementara, yaitu hanya selama even tertentu berlangsung.

 • Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 metode pembatasan pasar yang bersangkutan

• Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 metode pembatasan pasar yang bersangkutan ditetapkan di dalam Pasal 1 No. 10 yang berbunyi: “Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subsitusi dari barang dan atau jasa tersebut”. Berdasarkan ketentuan ini, maka dapat disimpulkan pembatasan pasar yang bersangkutan (relevant market) untuk menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha menggunakan pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk (product market) dan berdasarkan wilayah atau geografis (geographich market)

 • 1. Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk atau secara obyektif (product market)

• 1. Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk atau secara obyektif (product market) • Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara obyektif adalah di mana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk subsitusinya. Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1999 tidak memberikan penjelasan dan tidak ada petunjuk khusus mengenai barang yang sama atau sejenis serta barang subsitusi. Untuk dapat menentukan, apakah suatu barang dengan barang yang lain dapat dinyatakan sama atau dapat dinyatakan menjadi subsitusi terhadap barang tertentu, perlu dilihat dari 4 aspek, yaitu a) bentuk lahiriah dan sifat barang tersebutb) fungsi barang tersebut, c) harga barang tersebut; dan d) fleksibilitas barang tersebut bagi konsumen.

 • a) Bentuk dan sifat barang • Bentuk dan sifat fisik suatu barang

• a) Bentuk dan sifat barang • Bentuk dan sifat fisik suatu barang merupakan petunjuk pertama dalam mengidentifikasi apakah suatu produk satu pasar atau satu produk secara obyektif. Dikatakan secara objektif, karena produk yang berbeda tersebut dilihat secara fisik apakah bentuk dan sifat barang tersebut sama atau tidak. Misalnya apakah soft drink Coca cola dapat dianggap barang yang sama dengan Pepsi? Kalau ya, maka Coca Cola dengan Pepsi adalah produk yang saling bersaing. Dalam hal ini Coca Cola dengan Pepsi adalah satu pasar, karena dilihat dari aspek sifat minumannya.

 • b) Fungsi barang • Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau

• b) Fungsi barang • Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau produk dengan barang atau produk yang lain (berbeda) tersebut mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen. Contoh Coca Cola dan Pepsi mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen, yaitu untuk menghilangkan rasa haus. Dilihat dari aspek fungsi barang tersebut, maka Coca Cola dengan Pepsi adalah satu produk. Artinya, satu pasar bersangkutan.

 • c) Harga • Unsur yang paling penting dalam menentukan apakah suatu produk

• c) Harga • Unsur yang paling penting dalam menentukan apakah suatu produk dengan produk yang lain dinyatakan sama atau dapat sebagai barang pengganti adalah harga. • Misalnya harga Coca Cola satu botol Rp. 4000 sedangkan harga Pepsi satu botol Rp. 3900, maka Coca Cola dengan Pepsi dapat dikatakan satu barang yang sama atau sebagai barang pengganti. Akan tetapi kalau harga Coca Cola satu botol Rp. 10. 000, dan sedangkan harga Pepsi satu botol hanya Rp. 5. 000, maka Coca Cola dengan Pepsi bukan satu barang yang sama, atau Pepsi tidak dapat disebut sebagai barang Coca Cola.

 • d) Fleksibilitas barang bagi konsumen (interchangeable) • Unsur keempat dalam menentukan apakah

• d) Fleksibilitas barang bagi konsumen (interchangeable) • Unsur keempat dalam menentukan apakah suatu produk dapat dinyatakan sebagai barang yang sama atau pengganti bagi produk yang lain adalah fleksibilitas kebutuhan barang tersebut bagi konsumen. Ini disebut juga konsep kebutuhan konsumen. Jika konsumen biasanya mengkonsumsi suatu produk tertentu, dan konsumen kehabisan barang/produk tersebut, maka apakah jika konsumen pada saat membutuhkan produk yang biasa dibutuhkan tersebut tidak ada di pasar, konsumen tersebut secara otomatis mau beralih kepada produk yang lain tersebut?

 • Kalau ya, maka produk pengganti tersebut menjadi satu produk bagi konsumen terhadap

• Kalau ya, maka produk pengganti tersebut menjadi satu produk bagi konsumen terhadap produk yang biasa dikonsumsinya. Misalnya, apakah mie dapat menjadi barang subsitusi terhadap beras. Artinya jika beras habis dipasar, apakah konsumen bersedia beralih otomatis membeli mie sebagai penggantinya (interchangeable). Apakah dengan demikian kebutuhan kosumen dapat dipuaskan oleh mie tersebut. Oleh karena itu, apakah suatu barang tertentu sama dengan barang yang lain, atau sejenis atau dapat sebagai barang subsitusi biasanya dilihat dari aspek kebutuhan konsumen yang diselidiki kasus per kasus. Dalam hal ini aspek penilaian konsumen sangat penting, karena konsumen membeli suatu produk untuk kebutuhannya.

 • Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 5/1999, asalkan

• Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 5/1999, asalkan pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha yang sehat atau fair. Yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah apabila pelaku usaha tersebut menyalahgunakan posisi dominannya.

Contoh : • Di dalam Putusan KPPU Perkara No. 06/KPPUL/2004 ditetapkan bahwa PT ABC

Contoh : • Di dalam Putusan KPPU Perkara No. 06/KPPUL/2004 ditetapkan bahwa PT ABC ditetapkan menyalahgunakan posisi dominannya dengan melakukan program geser kompetitor (PGK). PT Arta Boga Cemerlang (PT ABC) ditetapkan mempunyai posisi dominan karena menguasai 88, 73% pangsa pasar baterai manganese AA secara nasional.

 • Di dalam kasus Carrefour KPPU menetapkan dalam putusannya bahwa Carrefour terbukti secara

• Di dalam kasus Carrefour KPPU menetapkan dalam putusannya bahwa Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a UU No. 5/1999, karena menetapkan syarat perdagangan yang mengakibatkan pelaku usaha pemasok tidak dapat memasok produknya ke Carrefour. • Di dalam Putusan KPPU No. 02/KPPU-L/2005 ditetapkan bahwa Carrefour mempunyai market power dibandingkan dengan Hypermart, Giant dan Clubstore karena Carrefour mempunyai gerai yang terbanyak. Dengan market power tersebut menimbulkan ketergantungan bagi pemasok agar produknya dapat dijual di Carrefour. • Bukti menghalangi pemasok ke Carrefour adalah dengan memberlakukan minus margin yang mengakibatkan salah satu pemasoknya menghentikan pasokannya kepada pesaing Carrefour yang menjual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga jual di gerai Carrefour untuk produk yang sama. Carrefour dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a UU No. 5/1999.

 • Jabatan Rangkap • Hubungan afiliasi melalui jabatan rangkap ini dapat memberikan pengaruh

• Jabatan Rangkap • Hubungan afiliasi melalui jabatan rangkap ini dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku pelaku usaha yang diafiliasi. Pasal 26 melarang komisaris dan direksi suatu perusahaan merangkap jabatan di perusahaan yang lain apabila perusahaan tersebut; a) berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b) memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c) secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. • Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat jabatan rangkap tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (rule of reason).

 • Contoh jabatan rangkap: PT Garuda Indonesia mempunyai saham 95% di PT Abacus,

• Contoh jabatan rangkap: PT Garuda Indonesia mempunyai saham 95% di PT Abacus, maka PT Garuda Indonesia menempatkan dua orang direksinya merangkap jabatan di PT Abacus, yaitu Emirsyah Satar dan Wiradharma Bagus Oka sebagai Komisaris di PT Abacus Indonesia. PT Garuda dinyatakan sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 26 UU No. 5/1999, karena keberadaan Emirsyah Satar dan Wiradharma ikut menentukan kebijakan dual acess yang mengharuskan travel agent untuk mengakses sistem abacus untuk pasar domestik, padahal abacus adalah untuk pasar internasional (Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2003 tentang Garuda Indonesia)

 • Contoh kasus yang paling tepat yang diputuskan oleh KPPU dalam kasus kepemilikan

• Contoh kasus yang paling tepat yang diputuskan oleh KPPU dalam kasus kepemilikan saham silang adalah dalam Putusan Perkara No. 05/KPPU-L/2002 tentang Kasus Cineplex 21, di mana induk perusahaan, yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya mempunyai hubungan terafiliasi dengan anak perusahaannya, karena mempunyai saham lebih dari 50%, yaitu 98% di PT Intra Mandiri dan 70% di PT Wedu Mitra.

 • Merger (PENGGABUNGAN) • Pelaku usaha sebagai subjek ekonomi senantiasa berupaya untuk memaksimalkan

• Merger (PENGGABUNGAN) • Pelaku usaha sebagai subjek ekonomi senantiasa berupaya untuk memaksimalkan keuntungan dalam menjalankan kegiatan usahanya (maximizing profit). Memaksimalkan keuntungan akan diupayakan oleh pelaku usaha dengan berbagai cara, dan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pelaku usaha adalah dengan metode merger. Maksimalisasi keuntungan diharapkan dapat terjadi karena ecara teori, merger dapat menciptakan efisiensi sehingga mampu mengurangi biaya produksi perusahaan hasil merger.

 • Bentuk Umum Merger • Merger secara umum dapat terjadi dalam 3 (tiga)

• Bentuk Umum Merger • Merger secara umum dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: a. Merger Horizontal. Merger horizontal terjadi apabila dua perusahaan yang memiliki lini usaha yang sama bergabung atau apabila perusahaan yang bersaing di industri yang sama melakukan merger; b. Merger Vertical. • Merger vertical melibatkan suatu tahapan operasional produksi yang berbeda yang saling terkait satu sama lainnya, mulai dari hulu hingga ke hilir. Merger vertikal dapat juga berbentuk 2 jenis, yakni Upstream Vertical Merger dan Downstream Vertical Merger. c. Merger Konglomerat. Merger konglomerat terjadi apabila 2 (dua) perusahaan yang tidak memiliki lini usaha yang sama bergabung. Atau dengan kata lain, merger konglomerat terjadi antara perusahaan-perusahaan yang tidak bersaing dan tidak memiliki hubungan penjual-pembeli.

 • Pada berbagai bentuk merger yang umumnya terjadi, yaitu merger horizontal, vertikal dan

• Pada berbagai bentuk merger yang umumnya terjadi, yaitu merger horizontal, vertikal dan konglomerat, maka merger horizontal merupakan bentuk merger yang perlu diwaspadai oleh hukum persaingan. • Pada merger jenis ini, dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam lini usaha yang sama bergabung menjadi satu entitas bisnis yang lebih besar. Jika perusahaan dengan lini usaha yang sama bergabung, maka secara otomatis jumlah pesaing di pasar akan berkurang. Hal inilah yang dapat merusak iklim persaingan, sebab semakin sedikit jumlah pesaing di dalam pasar, maka akan semakin kecil fleksibilitas persaingan di pasar yang bersangkutan. Pada akhirnya, kondisi ini akan merugikan masyarakat dan kepentingan umum

 • Ketentuan mengenai merger dalam kaitannya dengan persaingan usaha yang tidak sehat telah

• Ketentuan mengenai merger dalam kaitannya dengan persaingan usaha yang tidak sehat telah diatur dalam UU No. 5/1999 dalam Pasal 28 dan Pasal 29 yang merupakan bagian dari Bab Posisi Dominan. Sejalan dengan undang-undang persaingan usaha, UU No. 40/2007 dalam Pasal 126 ayat (1) butir c, telah mengatur bahwa merger atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha

 • UU No. 5/1999 Pasal 28 tidak menyatakan secara jelas sistem pelaporan merger.

• UU No. 5/1999 Pasal 28 tidak menyatakan secara jelas sistem pelaporan merger. Pasal tersebut hanya menyatakan bahwa pelaku usaha yang hendak melakukan merger berkewajiban untuk memastikan bahwa tindakan mergernya tidak mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila merger tersebut ternyata berdampak kepada persaingan usaha tidak sehat, maka merger tersebut dapat dibatalkan oleh KPPU sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yaitu berdasarkan UU No. 5/1999 Pasal 47 ayat (2) butir e yang mengatur bahwa KPPU dapat mengenakan sanksi administratif berupa penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham. Selain itu KPPU juga dapat mengenakan sanksi denda dan ganti rugi

 • Berbeda dengan ketentuan UU No. 5/1999 Pasal 29 yang secara tegas menyatakan

• Berbeda dengan ketentuan UU No. 5/1999 Pasal 29 yang secara tegas menyatakan bahwa kewajiban bagi Pelaku Usaha untuk melaporkan telah terjadinya merger selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal terjadinya merger tersebut. Ketentuan ini jelas memperlihatkan bahwa undang-undang persaingan usaha Indonesia menganut sistem post-merger notification. • Padahal untuk mencegah terjadinya pembatalan merger, undang-undang persaingan usaha di banyak negara lain mewajibkan pelaku usaha yang hendak merger untuk memberitahukan rencana mergernya terlebih dahulu (pre- merger notification) kepada otoritas persaingan usaha, sehingga otoritas tersebut dapat melakukan penilaian apakah merger tersebut mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, sehingga bisa ditentukan apakah merger tersebut dapat diterukan atau tidak.