Tindak Pidana Korupsi CHOKY R RAMADHAN S H

  • Slides: 69
Download presentation
Tindak Pidana Korupsi CHOKY R. RAMADHAN S. H. , LL. M. FAKULTAS HUKUM UI

Tindak Pidana Korupsi CHOKY R. RAMADHAN S. H. , LL. M. FAKULTAS HUKUM UI CHOKY. RAMADHAN@GMAIL. COM 081808227963

Apa itu Korupsi? https: //pollev. com/ chokyramadha 668

Apa itu Korupsi? https: //pollev. com/ chokyramadha 668

Mengapa Korupsi dilarang?

Mengapa Korupsi dilarang?

Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo UU No. 2/2001 PTPK) 1. Kerugian keuangan

Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo UU No. 2/2001 PTPK) 1. Kerugian keuangan Negara (Pasal 2 dan Pasal 3); 2. Suap-Menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a dan b, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d); 3. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c); 4. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, g, f); 5. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h); 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan ( Pasal 12 huruf i); 7. Gratifikasi ( Pasal 12 B jo, Pasal 12 C).

Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Korupsi 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (

Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Korupsi 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi ( Pasal 21); 2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar ( Pasal 22 jo. Pasal 28); 3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo. Pasal 29); 4. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu ( Pasal 22 jo. Pasal 25) 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu ( Pasal 22 jo. Pasal 36); 6. Saksi yang membuka identitas pelapor ( Pasal 24 jo. Pasal 31)

Merugikan Keuangan Negara PASAL 2 PASAL 3 - Setiap orang - Memperkaya diri sendiri,

Merugikan Keuangan Negara PASAL 2 PASAL 3 - Setiap orang - Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi - Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi - Dengan cara melawan hukum - Dapat merugikan keuangan perekonomian negara - Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana atau - Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan - Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian - dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau negara pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling - Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sedikit Rp. 200. 000, 00 (dua ratus juta rupiah) penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dan paling banyak Rp. 1. 000, 00 (satu milyar (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50. 000, 00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak rupiah). Rp. 1. 000, 00 (satu milyar rupiah).

Unsur Ps. 2 1. Unsur “setiap orang” Pasal 1: setiap orang adalah orang perseorangan

Unsur Ps. 2 1. Unsur “setiap orang” Pasal 1: setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Orang perseorangan adalah siapa saja, setiap orang, pribadi kodrati/manusia ciptaan Tuhan (naturlijk persoon), pengemban hak dan kewajiban dalam hukum pidana, yang dapat dimintai pertangggungjawaban di hadapan hukum pidana.

2. Unsur “melawan hukum” 3. Unsur “melakukan perbuatan” meliputi pengertian melawan hukum dalam arti

2. Unsur “melawan hukum” 3. Unsur “melakukan perbuatan” meliputi pengertian melawan hukum dalam arti formil maupun materil. (lihat penjelasan Sifat Melawan Hukum di bagian awal). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), melakukan perbuatan berarti melakukan sesuatu yang diperbuat, berupa tindakan (apapun). Dalam Hukum Pidana dikenal adanya jenis delik formil dan delik yang dilakukan secara aktif.

4. Unsur “memperkaya” Menurut KBBI, memperkaya diartikan sebagai perbuatan menambah kekayaan. Memperkaya juga dapat

4. Unsur “memperkaya” Menurut KBBI, memperkaya diartikan sebagai perbuatan menambah kekayaan. Memperkaya juga dapat diartikan sebagai setiap perbuatan/tindakan yang mengakibatkan bertambahnya aset dan harta kekayaan.

5. Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Kata “dapat” sejalan dengan bagian

5. Unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Kata “dapat” sejalan dengan bagian Penjelasan Umum yang menyatakan Tindak Pidana Korupsi yang diatur oleh UU No. 31/1999 sebagai berjenis delik formil, yaitu delik yang sempurna dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh UU. Kerugian keuangan negara tidak menjadi syarat.

Kerugian Keuangan Neagara Pengertian kerugian keuangan negara diatur di dalam bagian Penjelasan Umum UU

Kerugian Keuangan Neagara Pengertian kerugian keuangan negara diatur di dalam bagian Penjelasan Umum UU No. 31/1999, yaitu Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah. b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Perekonomian Negara Penjelasan Umum UU No. 31/1999 menjelaskan sebagai kehidupan perekonomian yang disusun sebagai

Perekonomian Negara Penjelasan Umum UU No. 31/1999 menjelaskan sebagai kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Kerugian perekonomian negara tidaklah menjadi syarat untuk dapat diterapkannya pasal ini.

Unsur Pasal 3 - Setiap orang - dengan tujuan - menguntungkan diri sendiri atau

Unsur Pasal 3 - Setiap orang - dengan tujuan - menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi - menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana - yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan - yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

1. Unsur “setiap orang” Unsur ini telah dijelaskan pada penerapan unsur Pasal 2. Unsur

1. Unsur “setiap orang” Unsur ini telah dijelaskan pada penerapan unsur Pasal 2. Unsur “dengan tujuan” Unsur dengan tujuan merupakan penjabaran dari ajaran kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, yaitu opzet atau kesengajaan atau dengan sengaja. Dengan tujuan merupakan bentuk kesengajaan sebagai tujuan.

3. Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi” Menurut KBBI menguntungkan berarti

3. Unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi” Menurut KBBI menguntungkan berarti mendapatkan laba atau manfaat. Keuntungan yang diperoleh harus merupakan keuntungan materil. Keuntungan materil tidak harus berupa uang.

4. Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana” Syarat utama diterapkannya unsur ini adalah bahwa

4. Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana” Syarat utama diterapkannya unsur ini adalah bahwa pelaku adalah orang yang sungguh-sungguh mempunyai kewenangan, kesempatan, atau sarana. Orang yang tidak memilikinya tidak dapat menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana, dan oleh karenanya dalam hal demikian terdapat melawan hukum. This Photo by Unknown Author is licensed under CC BY-NC-ND

5. Unsur “yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” Unsur ini harus dikaitkan dengan

5. Unsur “yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” Unsur ini harus dikaitkan dengan unsur sebelumnya, karena terdapat alternatif di dalam penerapannya berupa a) penyalahgunaan kedudukan; kewenangan karena jabatan atau b) Penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau kedudukan; dan c) Penyalahgunaan sarana karena jabatan atau kedudukan.

6. Unsur “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Unsur ini telah dijelaskan

6. Unsur “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” Unsur ini telah dijelaskan pada pembahasan atas unsur yang sama yang terdapat pada Pasal 2.

Korupsi Pengadaan Perpustakaan UI Wakil Rektor UI terbukti menetapkan pagu anggaran pengadaan dan pemasangan

Korupsi Pengadaan Perpustakaan UI Wakil Rektor UI terbukti menetapkan pagu anggaran pengadaan dan pemasangan sistem teknologi informasi (TI) secara sepihak, yaitu sebesar Rp 50 miliar, yang terbagi dalam beberapa kategori, seperti pengadaan perangkat TI sebesar Rp 21 miliar, pemasangan Rp 21 miliar, pembayaran pajak proyek Rp 5 miliar, dan disimpan di kas UI Rp 3 miliar. "penetapan pagu anggaran itu tidak melalui proses revisi rencana kerja tahunan, tanpa persetujuan Majelis Wali Amanat, serta tidak didasarkan atas analisa kebutuhan kampus dan hanya berdasarkan perkiraan terdakwa, " kata hakim Joko.

Wakil Rektor juga tidak membentuk panitia pengadaan dan melanggar proses administrasi karena tidak dilandasi

Wakil Rektor juga tidak membentuk panitia pengadaan dan melanggar proses administrasi karena tidak dilandasi adanya surat keputusan dari Rektor UI dan proyek pengadaan dan pemasangan sistem TI itu tidak memiliki rencana induk. Perbuatan Wakil Rektor dinilai merugikan negara sebesar Rp 13, 076 miliar, yang terdiri atas tahap pengadaan sebesar Rp 12, 959 miliar, tahap perencanaan Rp 73, 68 miliar dan tahap pengawasan Rp 43, 488 miliar, dan menguntungkan sejumlah pihak, yaitu Irawan Wijaya selaku Direktur PT Derwiperdana Internasional Persada (Rp 2, 16 miliar), manajer PT Makara Mas Dedi Abdul Rahmat Saleh (Rp 2, 625 miliar), Dirut PT Makara Mas Tjahjanto Budisatrio (Rp 940, 961 juta), Direktur Umum dan Fasilitas UI Donanta Dhaneswara (Rp 1, 05 miliar) hingga PT Makara Mas (Rp 1, 62 miliar).

Pembelajaran KPA perlu menjamin anggaran tidak menguap, bocor atau dijadikan korupsi berjamaah. D Dalam

Pembelajaran KPA perlu menjamin anggaran tidak menguap, bocor atau dijadikan korupsi berjamaah. D Dalam mengambil keputusan urusan proyek tidak dilakukan sendiri dan mengikuti prosedur/ketentuan hukum. Implementasikan prosedur pengadaan barang dan jasa yang tepat. Praktik tindak pidana korupsi di dalam pengadaan barang dan jasa antara lain penyuapan, memecah atau menggabung paket, penggelembungan harga (mark-up), mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa, penunjukan langsung, kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan barang dan jasa.

Penyuapan

Penyuapan

Modus Penyuapan di Kampus Yang paling banyak lagi [laporannya], yang negeri sebenarnya ada penerimaan

Modus Penyuapan di Kampus Yang paling banyak lagi [laporannya], yang negeri sebenarnya ada penerimaan mahasiswa baru yang khusus. Jalur-jalur khusus, " kata Laode di kantor Pusat Studi Anti Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan pada Rabu (15/5/2019). Aang profesor kerap kali mematok harga tertentu kepada calon mahasiswa yang akan menempuh studi spesialisasi Kedokteran. Modus lainnya, dia menambahkan, berhubungan dengan syarat untuk mengambil studi spesialisasi perlu rekomendasi profesor. Lagi-lagi, ada harga yang dipatok untuk ini Baca selengkapnya di artikel "KPK Terima Banyak Laporan Dugaan Korupsi di Kampus", https: //tirto. id/d. HYn

Pasal 13 Pemberi Suap -Setiap orang -yang memberi hadiah atau janji -kepada pegawai negeri

Pasal 13 Pemberi Suap -Setiap orang -yang memberi hadiah atau janji -kepada pegawai negeri -dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya; atau -oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

1. Unsur “setiap orang” • Unsur ini telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 2. Unsur

1. Unsur “setiap orang” • Unsur ini telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 2. Unsur “memberi hadiah atau janji” Unsur Ps. 13 • Unsur ini mempunyai alternatif: memberi hadiah, atau memberi janji. • Memberi hadiah adalah menyerahkan sesuatu, sesuatu itu adalah hadiah. • Menurut KBBI, hadiah adalah pemberian kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan.

Hadiah diberikan bila seseorang memenuhi prestasi tertentu, karenanya hadiah selalu diberikan di belakang. Memberi

Hadiah diberikan bila seseorang memenuhi prestasi tertentu, karenanya hadiah selalu diberikan di belakang. Memberi janji memenuhi juga makna berjanji, mengikat janji, atau “janjian”.

3. Unsur “pegawai negeri” • Pegawai Negeri: • pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU

3. Unsur “pegawai negeri” • Pegawai Negeri: • pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian, • pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP, • orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/daerah, • orang yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara/daerah • orang yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara/masyarakat

Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik

Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pengertian Pegawai Negeri menurut KUHP Pasal 92 ayat (1) Yang disebut pejabat, termasuk juga

Pengertian Pegawai Negeri menurut KUHP Pasal 92 ayat (1) Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang, bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh Pemerintah atau atas nama Pemerintah; begitu juga semua anggota dewan waterschap, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing yang menjalankan kekuasaan yang sah.

Pasal 92 ayat (2) Yang disebut pejabat dan Hakim termasuk juga Hakim wasit; yang

Pasal 92 ayat (2) Yang disebut pejabat dan Hakim termasuk juga Hakim wasit; yang disebut Hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua dan anggota-anggota pengadilan agama. Pasal 92 ayat (3) Semua anggota angkatan perang juga dianggap sebagai pejabat

4. Unsur “dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya” Unsur

4. Unsur “dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya” Unsur ini terkait dengan unsur pegawai negeri sebagai tujuan pemberian hadiah atau janji. Pegawai negeri yang dituju memiliki kekuasaan atau kewenangan, kekuasaan atau kewenaangan mana melekat pada jabatan atau kedudukannya.

5. Unsur “oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut”

5. Unsur “oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut” Unsur ini terbukti apabila si pemberi mengetahui, menduga, atau mengira, bahwa kekuasaan atau kewenangan tertentu melekat pada si pejabat sehubungan dengan jabatan atau kedudukannya.

Pasal 5 ayat (1) huruf a: - Setiap orang - memberi atau menjanjikan sesuatu

Pasal 5 ayat (1) huruf a: - Setiap orang - memberi atau menjanjikan sesuatu Unsur Pasal 5 - kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara - dengan maksud - supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya - yang bertentangan dengan kewajibannya

Unsur Ps. 5 ayat (1) huruf a 1. Unsur “setiap orang” telah dijelaskan pada

Unsur Ps. 5 ayat (1) huruf a 1. Unsur “setiap orang” telah dijelaskan pada bagian terdahulu. 2. Unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu” Unsur ini merupakan alternatif perbuatan berupa memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu. Serupa dengan Pasal 13, unsur memberi atau menjanjikan mempunyai pengertian yang sama. Apa yang diberi atau diperjanjikan itu adalah “sesuatu” yaitu sangat luas artinya, bukan lagi benda sebagaimana dimaksud Ps. 209 KUHP.

Yurisprudensi yang berkaitan dengan Pasal 209 KUHP: H. R. 24 Nov. 1890, W. 5969

Yurisprudensi yang berkaitan dengan Pasal 209 KUHP: H. R. 24 Nov. 1890, W. 5969 • Pasal ini dapat juga diperlakukan seandainya hadiah itu tidak diterima H. R. 25 April 1916. N. J. 1916, 300, W. 9896. • “memberi hadiah” di sini mempunyai arti yang lain daripada menghadiahkan sesuatu semata-mata karena kemurahan hati. Ia meliputi setiap penyerahan dari sesuatu yang bagi orang lain mempunyai nilai. M. A. 22 Juni 1955 No. 145 K/Kr/1955. • Pasal 209 KUHP tidak mensyaratkan bahwa pemberian itu diterima dan maksud daripada Pasal 209 KUHP ialah untuk menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri, suatu percobaan yang dapat dihukum menyuap.

3. Unsur “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara” Pengertian pegawai negeri telah dijelaskan pada

3. Unsur “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara” Pengertian pegawai negeri telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Penyelenggara Negara Menurut UU No. 28 Tahun 1999, Penyelenggara Negara, meliputi: Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara - Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara - Menteri - Gubernur - Hakim - Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan - Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

4. Unsur “dengan maksud” • Unsur dengan maksud telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 5.

4. Unsur “dengan maksud” • Unsur dengan maksud telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 5. Unsur “supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya” • Pada waktu memberikan hadiah atau janji, pelaku menghendaki agar pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut kehendaknya. • Cukup membuktikan bahwa pada waktu memberikan hadiah atau janji, pelaku mempunyai maksud tertentu.

6. Unsur “yang bertentangan dengan kewajibannya” Pelaku harus mengetahui bahwa dengan melaksanakan kehendaknya itu

6. Unsur “yang bertentangan dengan kewajibannya” Pelaku harus mengetahui bahwa dengan melaksanakan kehendaknya itu si pegawai negeri atau penyelenggara negara telah tidak memenuhi kewajibannya. Keterangan: mengingat Pasal 5 merupakan pasal yang diadopsi dari Ps. 209 KUHP, maka jurisprudensi yang terdapat pada Ps. 209 KUHP dapat diterapkan dalam Ps. 5!

Pasal 5 ayat (1) huruf b: Setiap orang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau

Pasal 5 ayat (1) huruf b: Setiap orang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya

Pemberi-Penerima Suap AYAT 1 AYAT 2 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1

Pemberi-Penerima Suap AYAT 1 AYAT 2 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda (2)Bagi pegawai negeri atau penyelenggara paling sedikit Rp 50. 000, 00 (lima puluh juta rupiah) dan negara yang menerima pemberian atau janji paling banyak Rp 250. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a rupiah) setiap orang yang: a) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b) memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Penerima Suap PASAL 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

Penerima Suap PASAL 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50. 000, 00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

Pasal 12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200. 000, 00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1. 000, 00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan

e. kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk

e. kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Gratifikasi

Gratifikasi

Gratifikasi Dasar Pemikiran: “Tidak sepantasnya pegawai negeri/pejabat publik menerima pemberian atas pelayanan yang mereka

Gratifikasi Dasar Pemikiran: “Tidak sepantasnya pegawai negeri/pejabat publik menerima pemberian atas pelayanan yang mereka berikan” “Seseorang tidak berhak meminta dan mendapat sesuatu melebihi haknya sekedar ia melaksanakan tugas sesuai tanggungjawab dan kewajibannya”

Gagasan Plato (427 SM – 347 SM) “Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka

Gagasan Plato (427 SM – 347 SM) “Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkan, kalau terbukti bersalah, harus dibunuh tanpa upacara”

 Gratifikasi merupakan setiap penerimaan seseorang dari orang lain yang bukan tergolong ke dalam

Gratifikasi merupakan setiap penerimaan seseorang dari orang lain yang bukan tergolong ke dalam tindak pidana suap. Gratifikasi kepada pegawai negeri/penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukannya dianggap suap.

Rumus: Suap = Gratifikasi + Jabatan

Rumus: Suap = Gratifikasi + Jabatan

 Pembentuk undang-undang dalam proses penyusunannya ingin meminimalisir praktik gratifkasi yang rentan menjadi suap

Pembentuk undang-undang dalam proses penyusunannya ingin meminimalisir praktik gratifkasi yang rentan menjadi suap di masyarakat sehingga perlu dibuat aturan yang tegas terkait gratifkasi dengan memuat segi represif (penindakan) melalui penerapan sanksi pidana yang tinggi dan segi preventif (pencegahan) melalui sistem pelaporan

Gratifikasi Pasal 12 B UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 Setiap gratifikasi kepada

Gratifikasi Pasal 12 B UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pengertian: adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. (Penjelasan Pasal 12 B) Gratifikasi tidak dianggap sebagai suap apabila penerima menyampaikan laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, selambat-lambatnya 30 hari sejak menerima gratifikasi tersebut.

Tatacara Pelaporan dan Penentuan Status Gratifikasi (Pasal 16 UU No. 31/1999 jo. UU No.

Tatacara Pelaporan dan Penentuan Status Gratifikasi (Pasal 16 UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 1. Laporan ditujukan kepada KPK, dibuat secara tertulis dengan mengisi formulir dan melampirkan dokumen terkait (bila ada). 2. Laporan setidaknya memuat nama serta alamat pemberi dan penerima gratifikasi, jabatan, tempat/waktu/nilai gratifikasi. 3. Dalam kurun waktu 30 hari sejak laporan diterima, KPK akan menetapkan status gratifikasi tersebut menjadi milik penerima atau milik negara. Gratifikasi yang menjadi milik negara wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2016 Tentang

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi gratifikasi yang dikecualikan untuk dilaporkan antara lain: a) diperoleh dari hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point rewards, atau souvenir yang berlaku secara umum dan tidak terkait dengan kedinasan; b) diperoleh karena prestasi akademis atau non-akademis (kejuaraan/perlombaan/kompetisi) dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan; c) diperoleh dari keuntungan/bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku secara umum dan tidak terkait dengan kedinasan; d) diperoleh dari kompensasi atas profesi di luar kedinasan yang tidak terkait dengan tugas fungsi dari pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan tidak melanggar konflik kepentingan dan kode etik pegawai;

e) diperoleh dari hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus dua derajat atau dalam

e) diperoleh dari hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus dua derajat atau dalam garis keturunan ke samping satu derajat sepanjang tidak mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi; f) diperoleh dari hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat atau dalam garis keturunan ke samping satu derajat sepanjang tidak mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi; g) diperoleh dari pihak yang mempunyai hubungan keluarga sebagaimana pada huruf f dan huruf g terkait dengan hadiah perkawinan, khitanan anak, ulang tahun, kegiatan keagamaan/adat/tradisi dan bukan dari pihak-pihak yang mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi; h) diperoleh dari pihak lain terkait dengan musibah atau bencana, dan bukan dari pihak-pihak yang mempunyai konflik kepentingan dengan penerima gratifikasi; i) diperoleh dari kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, lokakarya, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis yang berlaku secara umum berupa seminar kit, sertifikat dan plakat/cinderamata;

Survey Gratifikasi di FHUI (142 Responden) Awareness: ◦ Cukup banyak responden yang belum sepenuhnya

Survey Gratifikasi di FHUI (142 Responden) Awareness: ◦ Cukup banyak responden yang belum sepenuhnya mengetahui makna dari gratifikasi sebagai tindak pidana (51%); ◦ Masih ada sebagian responden yang belum mengetahui dasar hukum untuk gratifikasi (32%); ◦ Rendahnya pengetahuan juga dibarengi dengan ketidakefektifan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai gratifikasi. Hal ini ditunjukkan dengan 54% responden yang mengaku ketentuan hukum mengenai gratifikasi tidak menghalangi responden untuk tidak melakukan pemberian kepada dosen.

 Experience: 31 responden (22%) dari 142 responden pernah memberikan sesuatu kepada dosen. ◦

Experience: 31 responden (22%) dari 142 responden pernah memberikan sesuatu kepada dosen. ◦ Hal ini menandakan praktik gratifikasi terhadap dosen FH UI terjadi meski dengan angka yang relatif rendah; ◦ Sebagian besar responden pernah memberikan secara kelompok (22 responden) dan/atau individu (16 responden); ◦ Sebagian besar responden mengaku pernah memberikan satu kali kepada dosen; ◦ Sebagaian besar jenis pemberian adalah berupa barang, diikuti dengan makanan dan uang. Berdasarkan jenisnya, terdapat pengecualian tertentu yaitu gratifikasi yang diperbolehkan, tetapi pada dasarnya pegawai negeri sipil dilarang menerima apapun sesuai dengan Surat Kemenrisetdikti 108/B/SE/2017;

 • Sebagian besar waktu pemberian itu adalah pada hari spesial, seperti ulang tahun,

• Sebagian besar waktu pemberian itu adalah pada hari spesial, seperti ulang tahun, perpisahan, penghiburan, dan sejenisnya. Diikuti dengan pemberian setelah UTS/UAS/Skripsi, saat liburan, MPKT, dan lainnya; • Sebagian besar alasan pemberian adalah sebagai kenangan. Dikuti dengan hadiah, ucapan terima kasih dst. Berdasarkan Surat Kemenrisetdikti 108/B/SE/2017, dosen dilarang menerima apapun dengan alasan apapun; • Sebagian besar nilai barang yang diberikan berkisar pada Rp 100. 000 – Rp 500. 000, diikuti dengan pemberian dibawah 100. 000 (39%), dan seterusnya. Terdapat masing dua responden yang pernah memberikan dengan nilai Rp 500. 000 – Rp 1. 000 dan diatas Rp 1. 000. Hal ini melampau batas kewajaran pemberian yang diperbolehkan untuk dosen sesuai dengan Surat Edaran KPK No. B-143/0113/01/2013 hasil wawancara dengan ahli Gandjar Laksamana Bonaprapta, S. H. , M. H. ; • 61% dari responden yang pernah memberikan sesuatu kepada dosen merupakan responden yang digolongkan tidak mengetahui bagaimana gratifikasi termasuk tindak pidana.

Konvensi Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) –Article 13 1. Each State Party shall take appropriate

Konvensi Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) –Article 13 1. Each State Party shall take appropriate measures, within its means and in accordance with fundamental principles of its domestic law, to promote the active participation of individuals and groups outside the public sector, such as civil society, nongovernmental organizations and community-based organiza tions, in the prevention of and the fight against corruption and to raise public awareness regarding the existence, causes and gravity of and the threat posed by corruption. This participation should be strengthened by such measures as: (c) Undertaking public information activities that contribute to non- tolerance of corruption, as well as public education programmes, including school and university curricula;

E 4 J seeks to prevent crime and promote a culture of lawfulness through

E 4 J seeks to prevent crime and promote a culture of lawfulness through educational activities designed for primary, secondary and tertiary levels. Acknowledges the role of educators to empower the next generation to promote the rule of law. Education for Justice (E 4 J) Crime, justice affect people every day, throughout the world holistic approaches needed.

TERTIARY E 4 J: A Collaborative Initiative - Strengthen UN – academia partnership -

TERTIARY E 4 J: A Collaborative Initiative - Strengthen UN – academia partnership - Promoting a global culture of lawfulness requires inclusivity and collaboration “We live in a complex world. The United Nations cannot succeed alone. Partnership must continue to be at the heart of our strategy. We should have the humility to acknowledge the essential role of other actors, while maintaining full awareness of our unique convening power. ” United Nations Secretary-General António Guterres Empowering lecturers to teach on today’s most pressing issues Building bridges for holistic crime prevention approaches

 Objective: Tertiary “to support academics teach on UNODC mandates in the areas of

Objective: Tertiary “to support academics teach on UNODC mandates in the areas of international crime prevention and criminal justice” 9 Thematic Areas covered Ethics & Integrity; Corruption Crime Prevention & Criminal Justice Organized Crime, TIP/SOM, firearms, cybercrime, wildlife, forest & fisheries crime Counter-Terrorism

Structure - 9 thematic areas, 10 -16 modules per university course - Innovative tools,

Structure - 9 thematic areas, 10 -16 modules per university course - Innovative tools, developed and peerreviewed by more than 600 academics from more than 400 universities from around 100 countries - Flexible to use and adapt to national and regional context & Introduction (short overview of module's objectives) Learning outcomes Key issues Exercises (class exercises/ guidance for lecturers) Possible class structure Core & Advanced reading Student assessment (suggested assignments to assess module understanding) Additional teaching tools

Topics Covered: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Introduction and Conceptual Framework

Topics Covered: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Introduction and Conceptual Framework Ethics and Universal Values Ethics and Society Ethical Leadership Ethics, Diversity and Pluralism Challenges to Ethical Living Strategies for Ethical Action Behavioural Ethics Integrity and Ethics 9. Gender Dimensions of Ethics 10. Media Integrity and Ethics 11. Business Integrity and Ethics 12. Integrity, Ethics and Law 13. Public Integrity and Ethics 14. Professional Ethics

Anti-Corruption Topics Covered: 1. What is Corruption and Why Should We Care? 2. Corruption

Anti-Corruption Topics Covered: 1. What is Corruption and Why Should We Care? 2. Corruption and Good Governance 3. Corruption and Comparative Politics 4. Public Sector Corruption 5. Private Sector Corruption 6. Detecting and Investigating Corruption 7. Corruption and Human Rights 8. Corruption and Gender 9. Corruption in Education 10. Citizen Participation in Anti-Corruption 11. Corruption, Peace and Security 12. International Anti-Corruption Frameworks 13. National Anti-Corruption Frameworks 14. Corruption and Integrity

https: //www. unodc. org/ e 4 j/en/tertiary/anticorruption. html

https: //www. unodc. org/ e 4 j/en/tertiary/anticorruption. html

https: //acch. kpk. go. id/id /

https: //acch. kpk. go. id/id /