Masyarakat Tutus Banjar Indoktrinasi terhadap Anak Perempuan Banjar
Masyarakat Tutus Banjar: Indoktrinasi terhadap Anak Perempuan Banjar dalam Pendidikan Keluarga Oleh: Rabi’ah, M. Pd. I. (Dosen STAI Rakha Amuntai)
A. Pendahuluan Menurut penulis, setidaknya ada beberapa hal yang patut dibicarakan sebagai problematika masalah yang diangkat dalam karya yang berjudul Masyarakat Tutus Banjar: Indoktrinasi terhadap Anak Perempuan Banjar dalam Pendidikan Keluarga, yaitu: 1. Pengaruh Islam dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Banjar 2. Stratifikasi Masyarakat Banjar pada Masa Lalu 3. Isu-Isu terkait Perempuan Banjar
1. Pengaruh Islam Wilayah Kalimantan Selatan mayoritas ditempati oleh Suku Banjar asli merupakan pemeluk agama Islam. Sebagian mereka masih memegang teguh tradisi dari nenek moyang, namun disesuaikan dengan ajaran Islam. Jika tradisi tersebut menyimpang dari ajaran Islam, mereka menggantinya agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
2. Stratifikasi Sosial Masyarakat Banjar pada masa Kerajaan Banjar berdiri dikenal tingkatan pelapisan sosial, yaitu 1) Golongan Bangsawan/Tutus Bubuhan Raja, 2) Golongan Orang Besar (pejabat dan pedagang) 3) Golongan Agama (para ulama dan haji) 4) Jaba (masyarakat biasa) dan 5) Pandeling/orang-orang terhutang. Bahkan, dalam struktur birokrasi kerajaan, juga terdapat pembagian antara urusan hukum sekuler dan hukum Islam. Walau adanya pembagian demikian, pelapisan ini nampaknya tidak ketat dan seringkali tumpang tindih yang tidak terlepas dari pengaruh perdagangan lada. Ada juga yang mengelompokkan stratifikasi sosial masyarakat Banjar menjadi dua saja, yaitu golongan yang dianggap tinggi derajatnya adalah kaum bangsawan atau tutus raja (keturunan raja), dan golongan yang kedua yaitu kelompok jaba (rakyat) biasa.
3. Isu-Isu Perempuan Banjar Ø Masalah Peran Perempuan dalam kehidupan Keluarga Ø Basurung Ø Kawin Anum Ø Pendidikan
Kajian Teori Indoktrinasi Secara etimologis, Kata indoktrinasi berasal dari bahasa latin “docere” (mengajar), dan “doctrina” (apapun yang diajarkan). Meskipun indoktrinasi hanya berarti pengajaran, indoktrinasi itu memiliki kesan negative sejak awal abad ke-20 karena kondisi sosial politik yang berlaku (Denis C. Phillips, Encyclopedia of Educational Theory and Philosophy, 1 st ed. (SAGE Publications, Inc, 2014), h. 413. )
Kajian Teori: Indoktrinasi lanjutan… Secara terminologi, Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu dengan cara-cara nonrasional dengan niat menanamkan kepercayaaan yang tak tergoyahkan. John Sealey, Religious Education: Philosophical Perspectives (Routledge, 2019). H. 64.
Lanjutan… Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu dengan cara-cara nonrasional dengan niat menanamkan kepercayaaan yang tak tergoyahkan (John Sealey, 2019: 64; Snook, 2010: 16) Indoktrinasi dilakukan secara sengaja bukan secara kebetulan. Keyakinan yang kuat secara psikologis yang dijunjung tinggi dan merupakan bagian integral dari kehidupan dan identitas pribadi seseorang. Mereka biasanya dipeluk oleh orang tersebut tanpa pertanyaan dan sulit untuk berubah. (Phillips, 2014: 413)
B. Definisi Operasional 1. Masyarakat Tutus Banjar: Salah satu stratifikasi sosial masyarakat Banjar, yaitu golongan yang dianggap tinggi derajatnya yaitu kaum bangsawan atau tutus raja (keturunan raja) lihat (Alfani Daud, Mursalin, Sri Wahyuni). Dalam penelitian ini, masyarakat tutus Banjar dimaksudkan untuk mempersempit ruang lingkup penelitian. Masyarakat tutus Banjar merupakan latar belakang sosial, garis keturunan dari informan yang menjadi sumber data.
2. Indoktrinasi Yang dimaksud indoktrinasi dalam penelitian ini adalah penanaman gagasan, sikap, kepercayaan, dan kebiasaan. Dalam penelitian ini dimaksudkan khusus kepada anak perempuan dalam keluarga dari kalangan masyarakat tutus Banjar.
3. Pendidikan Keluarga Pendidikan keluarga yang dimaksudkan dalam penelitian ini yakni pendidikan di dalam keluarga, yaitu pendidikan yang berlangsung di dalam keluarga terhadap anak-anak yang lahir di dalam keluarga atau anak-anak yang menjadi tanggungan keluarga itu.
Fokus Masalah Penelitian ini bermaksud mengelaborasikan antara masalah stratifikasi sosial yaitu masyarakat tutus Banjar dan pendidikan keluarga. Fokus penelitian ini menyoroti pada pendidikan anak perempuan dalam keluarga masyarakat tutus Banjar. Bagaimana Indoktrinasi: gagasan, sikap, kepercayaan, dan kebiasaan yang ditanamkan kepada anak perempuan dalam keluarga dari kalangan masyarakat tutus Banjar.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data primer dalam penelitian ini adalah nilai-nilai, gagasan, sikap, perilaku dan kepercayaan tertentu yang berusaha ditanamkan secara terusmenerus oleh orang tua dari kalangan masyarakat tutus Banjar kepada anak perempuannya. Teknik pengumpulan data adalah dengan melakukan wawancara mendalam. Sumber data (Informan) dalam penelitian ini ada 3 orang yang termasuk dalam keluarga masyarakat tutus Banjar. Informan terdiri dari 1 orang laki-laki GA (52 Tahun) disebut informan 3 dan 2 orang perempuan, masing-masing informan 1 : Ny. S (63 tahun), dan Informan 2 : Ny. A (40 tahun). Teknik analisis data dengan pengumpulan data, reduksi, penyajian data, dan kesimpulan.
Informan 1: Ny. S (63 tahun), Pensiunan PNS, Tanjung Tabalong, Keturunan Pangeran Singasari Informan 2: Ny. A (40 tahun), Guru, Amuntai-HSU (enggan menyebutkan silsilah), tapi pada nama beliau tertera jelas gelar tutusnya. Informan 3: GA (52 Tahun), seorang Ustadz, Pengasuh YPI, pedagang. (Barabai-HST), Keturunan Pangeran Dipasanta
Hasil dan Pembahasan Pada zaman sekarang, sulit menemukan keluarga dari kalangan masyarakat tutus Banjar yang masih tetap memegang keyakinan stratifikasi sosial, perbedaan kedudukan antara tutus dan jaba. Menurut hasil wawancara dengan salah satu informan 3: “ini merupakan hasil dari pengaruh Islam, ajaran Islam yang tidak memandang berbeda antara satu manusia dengan manusia lainnya. Terutama pada masa Sultan Adam, dengan Undang-Undang Sultan Adam tersebut meniadakan sistem kasta, semua hukum bersumber pada hukum agama Islam”
Informan 2: “ Bahari bila tasalah dengan bubuhan tutus ni dipadahkan bisa mangatulahani, ujar bubuhan raja pang. Tapi kadada ae uma bakisah-kisah keitu” Artinya: Dulu kata orang, jika orang jaba berbuat salah kepada orang yang keturunan raja, bisa mendapat balasan berupa nasib jelek atau sial. Tetapi Ibuku tidak bercerita hal yang demikian.
Ketika ditanyakan silsilah keluarga, Informan 3 terlihat enggan, Ia berkilah: “Batakun silsilahkah? Abahku gusti. Jakanya abahku masih hidup, nyaman bakisah” Artinya: Menanyakan silsilah ya? Ayahku seorang Gusti (gelar tutus). Seandainya beliau masih hidup enak bisa bercerita”.
Data tersebut menunjukkan bahwa, selain perubahan zaman, perkembangan iptek, pengaruh agama Islamlah yang paling dominan menyebabkan berubahnya pandangan masyarakat tutus Banjar itu sendiri terhadap perbedaan derajat manusia. Bahwa derajat manusia itu sama, tidak ada perbedaan keturunan raja atau bukan. Sama sekali tidak diajarkan kepada anak keturunannya bahwa keturunan tutus itu istimewa atau lebih dari yang bukan tutus, bahkan ada orang tua dari kalangan masyarakat tutus yang tidak membesar-besarkan asal usul keturunannya dengan tidak mudah berbagi cerita dengan orang lain.
Adapun gagasan, sikap, kepercayaan dan kebiasaan yang ditanamkan pada anak perempuan dalam kalangan masyarakat tutus Banjar ialah: 1. Anak perempuan mendapat perlakuan hak yang sama dengan laki-laki, misalnya dalam hal bersekolah, tidak ada beda (informan 1 dan Informan 2) 2. Perempuan harus bisa bekerja dan mandiri (Informan 1 dan Informan 2) 3. Perempuan harus pandai mengurus dapur (informan 2) 4. Perempuan tidak boleh keluar rumah dengan bebas (Informan 2 dan Informan 3) 5. Perempuan tidak boleh bergaul bebas dengan laki-laki (Informan 2 dan Informan 3) 6. Perempuan tutus dibolehkan menikah dengan yang bukan tutus (Informan 2 dan Informan 3) 7. Perempuan harus berpakaian tertutup, beliau menggambarkan yaitu dengan memakai baju kebaya, kain sarung, dan penutup kepala (kain kerudung lebar yang berbentuk seperti sarung) (Informan 1)
Untuk setiap larangan yang dilanggar, paling sering melanggar larangan pergi keluar rumah. menurut pengakuan informan 2, Beliau sering mendapatkan ancaman dari nenek beliau yang bernama Gusti Galuh: “awas ha, aku handak bulik maasah parang hulu” Artinya: Awas saja, aku mau pulang mengasah parang. Tetapi, menurut informan 2, ancaman itu tidak pernah dilaksanakan. Hanya sekedar menakut-nakuti saja. Sedangkan dari Ibundanya sendiri, yang bernama Gusti Maryam, informan 2 sering melihat ibundanya menampung keluarga yang sedang kesusahan di rumah, walaupun dirinya sendiri bukanlah orang yang berlebihan dari segi harta. Selain itu, walaupun dari keturunan tutus, ibundanya Gusti Maryam tidak malu berjualan Pupur basah (Bedak Dingin), perawatan badan tradisional, dan majum (sejenis ramuan tradisional suku Banjar). Beliau juga bercocok tanam di sawah dan berkebun. Adapun informan 3 mengaku diajarkan menganyam kursi rotan oleh Ayahnya.
Kesimpulan Indoktrinasi pada anak perempuan dalam pendidikan keluarga dari kalangan masyarakat tutus Banjar memang ada, hal itu tampak jelas dari adanya gagasan dan sikap yang ditanamkan dalam bentuk teladan dari orang tua yang menjadi contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti tidak membedakan kedudukan manusia , tidak membedakan perlakuan kepada anak perempuan dan anak laki, misalnya dari segi pendidikan. Etos kerja tinggi yang ditandai kerja keras tanpamerasa rendah, dan berjiwa sosial.
Indoktrinasi pada masa sekarang bukan tentang perbedaan kedudukan manusia atau perbedaan kedudukan anak laki-laki dan perempuan, tetapi lebih kepada penerapan ajaran agama Islam, seperti aturan keluar rumah bagi perempuan, larangan pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, serta masalah pakaian bagi anak perempuan.
- Slides: 22