HUJAN Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari

  • Slides: 23
Download presentation
HUJAN Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan laut

HUJAN Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang. I. Proses Terbentuknya Hujan Mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor utama. Dengan kata lain, akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian hujan sebagai berikut: 1. Kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer menjadi jenuh. 2. Terjadinya kondensasi atas partikel – partikel uap air di atmosfer. 3. Partikel – partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh kebumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya gravitasi.

II. Jenis – jenis Hujan 1. Hujan Konvektif (convectional Storms) Type hujan ini disebabkan

II. Jenis – jenis Hujan 1. Hujan Konvektif (convectional Storms) Type hujan ini disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara diatas permukaan tanah tersebut. Beda panas ini biasanya terjadi pada akhir musim kering yang akan menyebabkan hujan dengan itensitas tinggi sebagai hasil proses kondensasi massa air basah. Hujan jenis ini dapat terjadi didaerah yang relatif luas dan bergerak sesuai dengan gerakan angin.

2. Hujan Frontal (Frontal/Cyclonic Storms) Type hujan ini disebabkan oleh bergulungnya dua massa udara

2. Hujan Frontal (Frontal/Cyclonic Storms) Type hujan ini disebabkan oleh bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembaban. Hujan siklonik ini dihasilkan dari pengangkatan udara yang menyatu kedalam suatu daerah tekanan rendah atau siklon. Penyebaran hujan jenis ini sangat dipengaruhi oleh landai bidang pertemuan antara udara panas dan udara dingin (Warm front/cold front) dan biasanya merupakan hujan dengan daerah penyebaran terbatas dan dalam waktu pendek.

3. Hujan Orografik (Orographic Storms) Hujan ini umumnya terjadi didaerah pegunungan yaitu ketika massa

3. Hujan Orografik (Orographic Storms) Hujan ini umumnya terjadi didaerah pegunungan yaitu ketika massa udara bergerak ke tempat yang lebih tinggi mengikuti bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi. Tipe hujan orografik dianggap sebagai pemasok air tanah, danau, bendungan, dan sungai karena berlangsung di daerah hulu DAS.

III. Pengukuran Hujan Alat ukur hujan terdiri dari : 1. Alat ukur hujan manual

III. Pengukuran Hujan Alat ukur hujan terdiri dari : 1. Alat ukur hujan manual 2. Alat ukur hujan otomatis Alat penakar hujan manual pada dasarnya hanya berupa kontainer atau ember yang telah diketahui diameternya. Pengukuran hujan dengan menggunakan alat ukur manual dilakukan dengan cara air hujan yang tertampung dalam tempat penampung air hujan tersebut diukur volumenya setiap interval waktu tertentu atau setiap satu kejadian hujan. Dengan cara pengukuran hujan tersebut hanya diperoleh data curah hujan selama periode tertentu.

Gambar 4. Alat ukur hujan sederhana

Gambar 4. Alat ukur hujan sederhana

Alat ukur hujan otomatis adalah alat penakar hujan yang mekanisme pencatatan besarnya hujan bersifat

Alat ukur hujan otomatis adalah alat penakar hujan yang mekanisme pencatatan besarnya hujan bersifat otomatis. Dengan alat ini data hujan yang diperoleh selain besarnya curah hujan selang periode waktu tertentu, juga dapat dicatat lama waktu hujan. Dengan demikian besarnya intensitas curah hujan dapat ditentukan. Pada dasarnya alat hujan otomatis ini sama dengan alat ukur hujan manual terdiri dari tiga komponen yaitu corong, bejana pengumpul dan alat ukur. Perbedaanya adalah pada alat ukur otomatis ini, komponen bejana pengumpul dan alat ukurnya dibuat secara khusus Ada tiga jenis alat penakar hujan otomatis yaitu alat ukur tipe ember terbalik ( tipping-bucket gage ), alat ukur tipe timbangan ( weighing gage ), dan alat ukur tipe apung ( float gage ).

Gambar 5. Alat ukur hujan tipping bucket Gambar 6. Alat ukur tipe timbangan

Gambar 5. Alat ukur hujan tipping bucket Gambar 6. Alat ukur tipe timbangan

IV. Jaringan Pengukuran Hujan Untuk memperkirakan besaran hujan yang baik yang terjadi dalam suatu

IV. Jaringan Pengukuran Hujan Untuk memperkirakan besaran hujan yang baik yang terjadi dalam suatu DAS, maka diperlukan sejumlah stasiun hujan. Makin banyak - makin baik- dana besar. Jaringan stasiun hujan harus mencakup kerapatan jaringan serta kemungkian pertukaran datanya - penetapan jaringan pengamatan hujan primer dan jaringan pengamatan hujan sekunder. Penetapan jaringan stasiun hujan tidak hanya terbatas pada penetapan jumlah stasiun yang dibutuhkan dalam suatu DAS tetapi juga tempat dan penyebaran stasiun – stasiun tersebut. Apabila dalam DAS yang ditinjau belum tersedia jaringan pengamatan hujan sama sekali maka disarankan untuk menetapkan jaringan awal yang kemudian dievaluasi setelah jangka waktu tertentu untuk menetapkan jaringan yang sebenarnya atau yang dibutuhkan. Ada cara lain yang disarankan tapi tidak dapat digunakan di Indonesia karena biaya yang besar yaitu memenuhi DAS dengan stasiun pengukuran hujan, kemudian setelah berjalan beberapa waktu dievaluasi untuk dapat mengurangi stasiun – stasiun yang dipandang kurang bermanfaat.

V. Kelengkapan Data Hujan Data hujan sering ditemukan dalam keadaan tidak lengkap hal ini

V. Kelengkapan Data Hujan Data hujan sering ditemukan dalam keadaan tidak lengkap hal ini disebabkan karena kerusakan alat ataupun kesalahan pengamat. Untuk mengurangi kesulitan analisis data yang hilang tersebut dapat diperoleh dengan memanfaatkan data hujan ditempat lain yang berdekatan (masih termasuk dalam satu sisten jaringan pengukuran curah hujan). Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memperkirakan besarnya data yang tidak lengkap tersebut. Kedua cara tersebut sama – sama menggunakan bantuan data curah hujan dari tiga stasiun terdekat. Bila besarnya perbedaan antara hujan rata – rata tahunan dari masing – masing ketiga stasiun penakar hujan tersebut dan curah hujan rata – rata tahunan dari alat penakar hujan yang akan diperkirakan kurang dari sepuluh persen, maka digunakan metode perkiraan sebagai berikut ( Wanielista, 1990; Dunne dan Leopold, 1978 ): dengan : Px = volume curah hujan harian / bulanan yang diperkirakan besarnya (mm) PA = PB = PC = Volume curah hujan harian / bulanan yang digunakan sebagai masukan (mm).

Bila besarnya perbedaan antara curah hujan rata – rata tahunan dari masing – masing

Bila besarnya perbedaan antara curah hujan rata – rata tahunan dari masing – masing ketiga stasiun penakar hujan tersebut dan curah hujan rata – rata tahunan dari alat penakar hujan yang akan diperkirakan lebih dari sepuluh persen maka digunakan metode perkiraan sebagai berikut : PA, PB dan PC adalah data curah hujan rata – rata bulanan yang diperoleh dari tiga stasiun pencatat hujan disekitar lokasi stasiun pencatat yang dikaji. Sementara Nx, NA, NB dan NJ adalah curah hujan normal jangka panjang ditempat stasiun pencatat curah hujan.

VI. Kepanggahan Data Satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya tidak

VI. Kepanggahan Data Satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya tidak panggah (inconsisten). Data semacam ini tidak dapat langsung dianalisis karena sebenarnya data didalamnya berasal dari populasi data yang berbeda. Ketidakpanggahan data seperti ini dapat terjadi karena berbagai sebab : • Alat ukur yang diganti dengan spesifikasi yang berbeda atau alat yang sama akan tetapi dipasang dengan patokan aturan yang berbeda. • Alat ukur dipindahkan dari tempat semula, akan tetapi secara administratif nama stasiun tersebut tidak diubah, misalnya karena masih dalam satu desa yang sama. • Alat ukur sama, tempat tidak dipindahkan, akan tetapi lingkungan yang berubah, misalnya semula dipasang ditempat yang ideal (sesuai dengan syarat - syarat yang ditentukan), akan tetapi kemudian berubah karena ada bangunan atau pohon besar yang terlalu dekat.

Cara pengujian sederhana dapat dilakukan untuk mendeteksi ketidakpanggahan yaitu dengan Double Mass Analysis, dengan

Cara pengujian sederhana dapat dilakukan untuk mendeteksi ketidakpanggahan yaitu dengan Double Mass Analysis, dengan menggambarkan besarnya hujan komulatif stasiun yang diuji dengan besaran hujan komulatif rata – rata hujan dari beberapa stasiun acuan disekitarnya. Ketidakpanggahan data ditunjukkan oleh penyimpangan garisnya dari garis lurus. Gambar 7. Double mass curve untuk data panggah Gambar 8. Double mass curve untuk data tidak panggah

Cara ini masih sering menimbulkan keraguan karena masih terdapat kemungkinan tidak panggahnya stasiun referensi.

Cara ini masih sering menimbulkan keraguan karena masih terdapat kemungkinan tidak panggahnya stasiun referensi. Untuk mengatasi hal tersebut maka digunakan cara – cara statistik yang menguji kepanggahan data tanpa data acuan, akan tetapi menggunakan data stasiun itu sendiri diantaranya : 1. Van Neumann Ratio dengan : Y = Rata – rata nilai Yi Apabila nilai N = 2 maka deret data tersebut disimpulkan panggah, Sedangkan bila N < 2, maka data tersebut tidak panggah.

2. Cumulative Deviation Yaitu nilai kumulatif penyimpangannya terhadap nilai rata – rata (mean) dengan

2. Cumulative Deviation Yaitu nilai kumulatif penyimpangannya terhadap nilai rata – rata (mean) dengan persamaan : Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) (Buishand, 1982): Statistik yang dapat digunakan sebagai alat penguji kepanggahan adalah : 0≤K≤n

3. Worsley’s Likelihood Ratio Test 1≤K≤n– 1 Pengujian dengan cara ini disebut pengujian dengan

3. Worsley’s Likelihood Ratio Test 1≤K≤n– 1 Pengujian dengan cara ini disebut pengujian dengan cara WRAPS (Weighted Adjusted Partial Sums) (Buishand, 1982)

4. Prosedur Bayesian Dikembangkan oleh Chernof dan Zacks serta Gardner (Buishand, 1982) dengan Pk

4. Prosedur Bayesian Dikembangkan oleh Chernof dan Zacks serta Gardner (Buishand, 1982) dengan Pk probabilitas sebelum terjadinya loncatan pada observasi ke k. Apabila Pk tidak tergantung k, maka statistik U : dan apabila Pk proporsional terhadap maka diperoleh statistik A :

VII. Hujan rata-rata 1. Rata – rata Aljabar Untuk memperoleh besaran hujan DAS dengan

VII. Hujan rata-rata 1. Rata – rata Aljabar Untuk memperoleh besaran hujan DAS dengan cara rata – rata aljabar, dilakukan dengan merata – ratakan data hujan dari semua stasiun yang berada dalam DAS. dengan : Hd = Hujan DAS Hi = Hujan masing – masing stasiun, dalam mm N = Jumlah Stasiun

2. Poligon Thiessen Cara ini memperhatikan luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang bersangkutan,

2. Poligon Thiessen Cara ini memperhatikan luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang bersangkutan, untuk digunakan sebagai faktor koreksi untuk menghitung hujan rata – rata. Cara hitungan dengan poligon thiessen dilakukan dengan urutan berikut : • Semua stasiun hujan dihubungkan dengan garis lurus, sehingga terbentuk beberapa segitiga. • Dalam masing – masing segitiga ditarik garis sumbu dimasing – masing sisinya. • Poligon thiessen adalah luasan yang dibatasi oleh masing – masing garis sumbu, atau yang dibatasi oleh garis sumbu dan batas DAS. Hujan DAS didapat dengan menggunakan persamaan berikut: dengan : Hd = Hujan rata – rata DAS dalam mm Hi = hujan masing – masing satsiun dalam mm α = koefisien thiessen Li = luas masing – masing poligon dalam km 2 L = luas dalam km 2

3. Ishoyet adalah garis yang menghubungkan tempat – tempat yang mempunyai kedalaman hujan pada

3. Ishoyet adalah garis yang menghubungkan tempat – tempat yang mempunyai kedalaman hujan pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya cara hitungan sama dengan yang digunakan dalam cara poligon thiessen, perbedaannya hanya dalam penetapan besarnya faktor α dan Hi. Hi adalah hujan rata – rata antara dua ishoyet, sedangkan faktor α adalah perbandingan luas DAS antara dua ishoyet dan luas total DAS.

Gambar 9. Merata-ratakan hujan dengan metode : (a) aritmetik, (b) Thiessen, (c) Isohyet

Gambar 9. Merata-ratakan hujan dengan metode : (a) aritmetik, (b) Thiessen, (c) Isohyet

VIII. Intersepsi ( Interception ) Intersepsi adalah proses yang merupakan bagian dari siklus hidrologi

VIII. Intersepsi ( Interception ) Intersepsi adalah proses yang merupakan bagian dari siklus hidrologi dimana air hujan tertahan oleh dedaunan, cabang dan batang pohon yang selanjutnya diuapkan kembali. Intersepsi ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor tumbuhan dan faktor klimatologis. Faktor tumbuhan meliputi kapasitas tumbuhan (kemampuan mahkota tumbuhan ) yaitu kemampuan tanaman untuk menahan air, sedangkan faktor klimatologis yaitu faktor yang berpengaruh terhadap penguapan meliputi kecepatan angin (faktor utama), durasi hujan, frekuensi hujan dan jenis hujan. Pengukuran Intersepsi Cara pendekatan yang paling umum dilakukan yaitu dengan mengukur curah hujan aliran batang dan air lolos. Curah hujan harian dan mingguan merupakan komponen utama yang harus diperoleh dengan menggunakan alat penakar hujan ditempat terbuka (ketinggian vegetasi bangunan disekitar alat penakar hujan tidak boleh membentuk sudut lebih dari 45º dari alat penakar hujan). Pengaruh mahkota tumbuhan biasanya dinyatakan dalam canopy density yang sangat bervariasi tergantung dari jenis tanaman dan masa pertumbuhannya. Besaran faktor ini dinyatakan dalam persamaan :

dengan : Dc = canopy density Av = luas proyeksi mahkota pohon Ai =

dengan : Dc = canopy density Av = luas proyeksi mahkota pohon Ai = luas lahan yang mencakup Av Pengukuran intersepsi yang paling ideal adalah pengukuran secara langsung dengan mengukur hujan yang terjadi diatas mahkota pohon, hujan dibawah pohon dan stemflow yang hasilnya dapat dinyatakan dengan persamaan : dengan : I R Rp S I = R – Rp – S = Intersepsi = Hujan diatas mahkota pepohonan = Hujan dibawah mahkota pepohonan = Stemflow