METODE HARGA POKOK PROSES LANJUTAN PERSEDIAAN PRODUK DALAM

  • Slides: 28
Download presentation
METODE HARGA POKOK PROSES LANJUTAN

METODE HARGA POKOK PROSES LANJUTAN

PERSEDIAAN PRODUK DALAM PROSES AWAL ü ü Produk dalam proses pada akhir periode (PDP

PERSEDIAAN PRODUK DALAM PROSES AWAL ü ü Produk dalam proses pada akhir periode (PDP Akhir) akan menjadi produk dalam proses pada awal periode berikutnya (PDP Awal). Perhitungan harga pokok jika terdapat PDP Awal dapat dilakukan dengan 2 metode : Metode Rata-Rata Metode FIFO

METODE RATA-RATA

METODE RATA-RATA

Metode Rata-rata v Setiap elemen biaya harga pokok PDP Awal langsung digabung dengan setiap

Metode Rata-rata v Setiap elemen biaya harga pokok PDP Awal langsung digabung dengan setiap elemen biaya bulan yang bersangkutan. v Tidak dibedakan asal dari produk selesai, apakah dari PDP Awal atau dari produksi sekarang. Rumus : UE = Produk Selesai + (PDP Akhir x TP) By Produksi per satuan= (biaya dari periode sebelumnya + biaya periode sekarang)/ UE

Contoh : Pada bulan April PT. Bajuku Indah memotong kain untuk menghasilkan 2. 500

Contoh : Pada bulan April PT. Bajuku Indah memotong kain untuk menghasilkan 2. 500 helai pakaian. Data produksi dan biaya produksi bulan April 2008 adalah sebagai berikut :

Metode Harga Pokok Rata-rata Tertimbang Dep Pertama (Dep Pemotongan) Dalam departemen produksi pertama, biaya

Metode Harga Pokok Rata-rata Tertimbang Dep Pertama (Dep Pemotongan) Dalam departemen produksi pertama, biaya yang harus diperhitungkan dalam penentuan harga pokok produk adalah biaya yang melekat pada persediaan produk dalam proses awal dan biaya produksi yang dikeluarkan dalam periode sekarang. Rumus perhitungan biaya produksi per satuan produk Dep pertama dengan menggunakan metode harga pokok rata-rata tertimbang:

Perhitungan Harga Pokok Harga pokok produk selesai yang ditransfer ke Dept. Penyelesaian : 2.

Perhitungan Harga Pokok Harga pokok produk selesai yang ditransfer ke Dept. Penyelesaian : 2. 450 unit x Rp 41. 000 Rp 100. 450. 000 Harga Pokok PDP Akhir : BBB : 150 x 100 % x Rp 25. 000 = Rp 3. 750. 000 BTK : 150 x 70 % x 6. 000 = 630. 000 BOP : 150 x 70 % x 10. 000 = 1. 050. 000 + Jumlah harga pokok yang diperhitungkan 105. 880. 000 Rp 5. 430. 000 + Rp

Departemen lanjutan/departemen setelah departemen pertama Hitung Unit Ekuivalen terlebih dahulu, kemudian membuat perhitungan biaya

Departemen lanjutan/departemen setelah departemen pertama Hitung Unit Ekuivalen terlebih dahulu, kemudian membuat perhitungan biaya produksi kumulatif seperti pada table di bawah ini.

METODE FIFO

METODE FIFO

Metode FIFO ü Setiap elemen biaya harga pokok PDP Awal tidak langsung digabung dengan

Metode FIFO ü Setiap elemen biaya harga pokok PDP Awal tidak langsung digabung dengan setiap elemen biaya bulan yang bersangkutan. ü Proses produksi dianggap untuk menyelesaikan terlebih dahulu PDP Awal, setelah itu baru menyelesaikan produk yang masuk proses bulan yang bersangkutan Rumus : UE = (PDP Awal x TP yang diperlukan) + Produksi Sekarang+ (PDP Akhir x TP yang sudah dinikmati). Produksi Sekarang = Produk selesai – PDP Awal

Departemen I (Dep Pemotongan) Dengan contoh soal yang sama ( sbb. . ), perhitungan

Departemen I (Dep Pemotongan) Dengan contoh soal yang sama ( sbb. . ), perhitungan biaya adalah Perhitungan UE Biaya Bahan Baku Dep Pemotongan dengan FIFO Persediaan PDP awal ((100% - 100%) x 100 unit) Produksi sekarang (2. 450 unit – 100 unit) PDP akhir (100% x 150 unit) 0 unit 2. 350 unit 150 unit Jumlah 2. 500 unit Perhitungan UE Biaya Konversi Dep Pemotongan dengan FIFO Persediaan PDP awal ((100% - 80%) x 100 unit) Produksi sekarang (2. 450 unit – 100 unit) PDP akhir (70% x 150 unit) 20 unit 2. 350 unit 105 unit Jumlah 2. 475 unit

Perhitungan Biaya Per Unit, Dep Pemotongan dengan Metode FIFO Unsur Biaya BBB BTK BOP

Perhitungan Biaya Per Unit, Dep Pemotongan dengan Metode FIFO Unsur Biaya BBB BTK BOP jumlah Total Biaya Rp 62. 500. 000 Rp 14. 850. 000 Rp 24. 750. 000 UE 2. 500 2. 475 Biaya per Unit Rp 25. 000 Rp 6. 000 Rp 10. 000 Rp 41. 000

Lanjutan. .

Lanjutan. .

Departemen lanjutan/ departemen setelah departemen pertama

Departemen lanjutan/ departemen setelah departemen pertama

Ayo memahami, membaca dan mempraktikkan! Berdasarkan data dan perhitungan yang telah dibuat sebelumnya, susunlah

Ayo memahami, membaca dan mempraktikkan! Berdasarkan data dan perhitungan yang telah dibuat sebelumnya, susunlah laporan biaya produksi Departemen II dengan metode FIFO!

TAMBAHAN BAKU DALAM DEPARTEMEN PRODUKSI SETELAH DEPARTEMEN PRODUKSI PERTAMA

TAMBAHAN BAKU DALAM DEPARTEMEN PRODUKSI SETELAH DEPARTEMEN PRODUKSI PERTAMA

Umumnya bahan baku diolah pertama kali dalam departemen pertama. Departemen produksi berikutnya hanya mengolah

Umumnya bahan baku diolah pertama kali dalam departemen pertama. Departemen produksi berikutnya hanya mengolah lebih lanjut produk hasil departemen pertama dengan mengeluarkan BTK dan BOP. Namun seringkali dalam proses produksi, bahan baku ditambahkan dalam departemen produksi setelah departemen produksi pertama.

Tambahan baku ini mempunyai dua kemungkinan: 1. 2. Tidak menambah jumlah produk yang dihasilkan

Tambahan baku ini mempunyai dua kemungkinan: 1. 2. Tidak menambah jumlah produk yang dihasilkan oleh departemen produksi yang mengkonsumsi tambahan baku tersebut → tidak mempengaruhi perhitungan UE dan perhitungan HP produksi per satuan produk yang diterima dari departemen sebelumnya. Menambah jumlah produk yang dihasilkan oleh departemen produksi yang mengkonsumsi tambahan baku tersebut → berakibat diadakannya penyesuaian HP produksi per satuan produk yang diterima dari departemen sebelumnya.

Contoh: PT Oki Sasongko memproduksi produknya melalui 2 departemen produksi: Dep 1 dan Dep

Contoh: PT Oki Sasongko memproduksi produknya melalui 2 departemen produksi: Dep 1 dan Dep 2. Bahan baku tidak hanya diproses pd Dep 1, namun juga ditambahkan dalam proses produksi Dep 2. Tambahan baku mengakibatkan jumlah unit produk yang dipakai sebagai penyebut dalam penghitungan harga pokok produk yang berasal dari Dep 1 bertambah, sehingga harga pokok per satuan yang diterima dari Dep 1 menjadi lebih rendah. (Mulyadi; 112)