MATA KULIAH PSIKOLOGI PEMBELAJARAN NAMA AFIF NUR FAUZAN
MATA KULIAH : PSIKOLOGI PEMBELAJARAN NAMA : AFIF NUR FAUZAN NIM : 1824090140 DOSEN : RR. DINI DIAH NURHADIANTI. , S. PSI. , M. SI HARI/WAKTU : Selasa/9. 30 -11. 10 ( B 605 )
1. EPISTEMOLOGI DAN TEORI BELAJAR Epistemology (epistemologi) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan hakikat pengetahuan. Terdapat 2 ahli yang berpendapat tentang pengetahuan. Pandangan Plato dan Aristoteles tentang hakikat pengetahuan telah memengaruhi kecenderungan filsafat yang masih bertahan sampai sekarang. Plato percaya bahwa pengetahuan adalah diwariskan dan, karenanya, merupakan komponen natural dari pikiran manusia. Menurut Plato, seseorang mendapatkan pengetahuan dengan merenungi isi dari pikiran seseorang. Aristoteles, sebaliknya, percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi dan tidak diwariskan. Secara tidak langsung dalam pengertian ini saling bertolak belakang.
a. Rasionalisme Meskipun Plato percaya bahwa pengetahuan itu diwariskan dan Aristoteles percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, keduanya menunjukk an contoh dari rationalism (rasionalisme) karena keduanya percaya bahwa pikiran secara aktif terlibat dalam pemerolehan pengetahuan. Rasionalis berpendapat bahwa pikiran harus terlibat aktif dalam pencarian pengetahuan (misalnya dengan berpikir, menalar atau mendeduksi). Jelas baik Plato maupun Aristoteles adalah rasionalis. Dibawah ini adalah perbedaan pendapat. Plato Aristoteles Pikiran harus terlibat dalam introspeksi Pikiran harus aktif memikirkan informasi (perenungan) aktif untuk mengungkap yang diberikan oleh indra guna pengetahuan yang diwariskan. mengungkap pengetahuan yang ada di dalam informasi itu.
b. Nativisme Nativis berpendapat bahwa beberapa bakat atau atribut penting adalah diwariskan. Istilah nativism (nativisme) juga dapat dipakai untuk pandangan Plato karena dia menegaskan bahwa pengetahuan sudah ada di dalam diri manusia. Menurut Plato, salah satu atribut itu adalah pengetahuan. Namun Aristoteles tidak secara total menolak nativisme. Menurutnya kekuatan penalaran yang dipakai untuk mengabstraksikan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman indrawi adalah kekuatan yang diwariskan. Tetapi itu bukan berarti bahwa informasi indrawi adalah tidak penting bagi filsafat Plato. Menurut Plato, pencarian, atau kesadaran, akan pengetahuan batin (dalam) sering dipicu oleh pengalaman indrawi.
c. Empirisme Empirisis berpendapat bahwa informasi indrawi adalah basis dari semua pengetahuan dan karena Aristoteles percaya ini maka dia bisa disebut empirisis. Pandangan Aristoteles juga merupakan contoh dari empiricism (empirisisme) karena dia menekankan pentingnya pengalaman indrawi sebagai basis dari semua ilmu pengetahuan. Karena tipe yang saling bertumpang-tindih itu lazim di kalangan filsuf, maka perlu diingat bahwa label seperti rasionalis, empirisis, atau nativis diaplikasikan ke filsuf berdasarkan pada penekanan dari karya filsuf itu. Tidak ada rasionalis murni, empirisis murni, atau nativis murni. Dalam penjelasan mereka tentang pengetahuan, Plato dapat disebut nativis sebab dia menekankan pada warisan. Aristoteles dapat dinamakan empiris karena dia menegaskan pentingnya informasi indrawi. Dan, Plato maupun Aristotels bisa disebut rasionalis karena mereka menegaskan pentingnya pikiran aktif untuk mendapatkan pengetahuan.
2. Plato (427 -347 SM) adalah murid paling terkenal dari filsuf Socrates. Sebenarnya Socrates tidak pernah menulis apa pun tentang filsafatnya— ajarannya ditulis oleh Plato. Ini adalah fakta yang paling signifikan karena dialog Plato awal didesain terutama untuk menunjukkan pendekatan Socratik terhadap pengetahuan dan sebagai kenangan tentang guru besar itu. Tetapi, dialog yang lebih belakangan merupakan pandangan filsafat Plato sendiri dan tidak banyak kaitannya dengan Socrates. Plato marah ketika Socrates dihukum mati sehingga dia mengasingkan diri ke Italia selatan, di mana dia menjadi dipengaruhi oleh kaum Pythagorean. Fakta ini punya implikasi penting bagi orang Barat dan terkait langsung dengan semua pendekatan epistemologi, termasuk teori belajar.
a. Pythagorean Kaum Pythagorean percaya bahwa alam semesta diatur oleh hubungan numerik yang memengaruhi dunia fisik. Angka dan berbagai kombinasinya menyebabkan peristiwa di dunia fisik terjadi. Menurut penganut Pythagorean, hal yang abstrak memiliki eksistensi yang independen dan mampu memengaruhi objek fisik. Meskipun angka dan materi berinteraksi, yang kita rasakan dengan indra kita adalah materi, bukan angka. Ini menimbulkan pendapat dualistik tentang semesta, di mana salah satu aspek dapat dirasakan dialami lewat indra dan yang satunya lagi tidak bisa. Berdasarkan gagasan ini, Pythagorean membuat prestasi yang hebat dalam bidang matematika, pengobatan, dan music. Tetapi setelah beberapa waktu mereka berubah menjadi semacam kultus mistis, yang hanya mengizinkan sedikit orang untuk menjadi anggotanya dan berbagi kebijaksanaannya. Plato adalah satu di antara mereka. Dialog Plato yang belakangan merefleksikan penerimaan terhadap semesta yang dualistik seperti yang diyakini Pythagorean
b. Teori Pengetahuan Kenangan Seperti yang telah kita lihat, Plato adalah nativis karena dia menganggap pengetahuan adalah diwariskan. Dia juga rasionalis karena dia menganggap pengetahuan ini hanya dapat diketahui melalui pemikiran atau penalaran. Bagaimana seseorang dapat mempunyai pengetahuan tentang ide? Di sini Plato menjadi mistis. Semua manusia memiliki jiwa. Sebelum dimasukkan ke tubuh pada saat kelahiran, jiwa berada di dalam pengetahuan yang lengkap dan murni. Jadi semua jiwa manusia mengetahui segala sesuatu sebelum masuk ke tubuh. Setelah masuk ke tubuh pengetahuan jiwa itu menjadi “terkontaminasi” oleh informasi indrawi. Menurut Plato, jika manusia menerima apa-apa yang mereka alami lewat indra sebagai kebenaran, mereka hanya akan sampai pada opini dan ketidaktahuan. Jadi semua pengetahuan adalah reminiscence (kenangan), atau ingatan tentang pengalaman jiwa kita saat berada “di langit di atas langit. ” Plato menasihati astronom agar “membiarkan langit sendirian” dan menggunakan “anugerah pikiran natural”: (Republic VII, h. 296 dari terjemahan oleh Cornford, 1968).
3. ARISTOTELES Aristoteles (384 -322 SM), salah satu murid Plato, pada awalnya menganut ajaran Plato namun kemudian berbeda pendapat dengannya. Perbedaan dasar antara kedua pemikir itu adalah dalam sikap mereka terhadap informasi indrawi. Di sini ada dua perbedaan utama antara teori pengetahuan Plato dengan Aristoteles. 1. Hukum, bentuk, atau alam yang dikaji Aristoteles dianggap tidak memiliki eksistensi yang independen dari manifestasi empirisnya. 2. Kedua, menurut Aristoteles semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman indrawi.
Laws of association & Associationism Pengalaman atau ingatan akan satu objek cenderung menimbulkan ingatan akan hal-hal yang serupa dengan objek itu (hukum kesamaan), ingatan akan hal-hal yang berlawanan (hukum kontras) atau ingatan tentang hal-hal yang pada awalnya dialami bersama dengan objek tersebut (hukum kontiguitas). Aristoteles juga mengemukakan bahwa semakin sering dua hal dialami bersama, semakin besar kemungkinan bahwa ingatan akan hal yang satu akan menimbulkan ingatan hal yang satunya lagi. Belakangan pendapat ini dikenal sebagai hukum frekuensi. Berdasarkan hukum kesamaan, kontras, kontiguitas, dan frekuensi, ideide yang dimunculkan oleh pengalaman indrawi akan menstimulasi ide lain. Dalam filsafat pendapat bahwa hubungan antar-ide dapat dijelaskan lewat hukum asosiasi ini disebut associationism (asosiasionisme).
4. AWAL PSIKOLOGI Descartes dapat dianggap MODERN sebagai pelopor psikolog stimulus a. Rene Descartes (1596 -1650) berusaha mengkaji semua penelitian filsafat dengan sikap ragu. “Saya bisa meragukan segalanya, ” katanya, “kecuali satu hal, yakni fakta bahwa saya itu ragu. Namun ketika saya ragu, saya berpikir; dan saat saya berpikir, saya pasti ada. ” Dia kemudian sampai pada kesimpulannya yang paling terkenal: Saya berpikir; karenanya saya ada. ” Dari sini dia kemudian berusaha membuktikan eksistensi Tuhan, dan kemudian dia menyimpulkan bahwa pengalaman indra kita pasti merupakan refleksi dari realitas objektif sebab Tuhan tidak akan menipu kita. respons. Gerakan di luar tubuh akan menimbulkan tarikan pada “tali kencang” yang menuju ke otak; tarikan itu akan membuka pori-pori otak, melepaskan “animal spirit”, yang mengalir ke otot dan menimbulkan tindakan. Karenanya pikiran atau lingkungan fisik dapat memunculkan perilaku. Deskripsi gerak refleks ini berpengaruh besar terhadap psikologi.
b. Thomas Hobbes (1588 -1679) menentang gagasan bahwa ide bawaan adalah sumber pengetahuan. Dia berpendapat bahwa kesan indra adalah sumber dari semua pengetahuan. Dengan keyakinan ini, Hobbes membuka kembali mazhab filsafat empirisme dan asosiasionisme. Menurut Hobbes, perilaku manusia dikontrol oleh “hasrat-keinginan” dan “keengganan. ” Kejadian-kejadian yang dikejar manusia disebut “baik” dan yang dihindari manusia disebut “jahat. ” Jadi nilai baik dan buruk ditentukan secara individual; nilai itu bukan nilai abstrak atau absolut Dia menganggap bahwa manusia pada dasarnya mementingkan dirinya sendiri dan agresif, dan jika mereka dibiarkan hidup sesuai dengan sifatnya itu, maka kehidupan akan dipenuhi dengan perang dan keinginan memuaskan diri sendiri. Manusia membentuk sistem politik dan masyarakat demi kemaslahatan manusia itu sendiri, bukan karena manusia itu suka berteman. Dengan kata lain, Hobbes percaya bahwa pembentukan masyarakat manusia adalah hal terbaik dari dua hal yang sama-sama buruk sebab ia mereduksi kemungkinan pertikaian terus-menerus antara sesama manusia. Pendapat ini mirip dengan yang dianut oleh Freud bertahun-tahun kemudian.
c. John Locke (1632 -1704), juga menentang gagasan ide-ide bawaan. Menurutnya, pikiran terdiri dari ide, dan ide datang dari pengalaman. Dia menunjukkan bahwa jika ide adalah bawaan, maka orang di mana-mana akan memilikinya, namun nyatanya tidak. Kelompok-kelompok kultural yang berbeda-beda memiliki pemikiran dan keyakinan yang amat berbeda. Jadi, pikiran bayi saat lahir adalah tabula rasa, sebuah lembaran kosong, dan pengalaman tertulis di atasnya. Pikiran menjadi hal-hal yang dialami; tidak ada sesuatu pun yang ada di dalam pikiran yang tidak ada lebih dahulu di dalam indra. Seperti Galileo, Locke membedakan antara kualitas primer dan sekunder. 1. Kualitas primer adalah karakteristik dunia fisik yang cukup kuat untuk menimbulkan representasi mental yang akurat di dalam pikiran penerima. Contoh dari kualitas primer, ukuran, berat, kuantitas, soliditas, bentuk, dan mobilitas. 2. Kualitas sekunder adalah karakteristik dunia fisik yang terlalu lemah atau terlalu kecil untuk menimbulkan representasi mental yang akurat dalam pikiran penerima. Contohnya energi elektromagnetik, atom dan molekul, gelombang udara, dan sel darah putih. Perbedaan antara kualitas primer dan sekunder sering dikutip sebagai alasan mengapa psikologi tak pernah bisa menjadi ilmu pengetahuan sejati.
d. George Berkeley (1685 -1753) mengklaim bahwa Locke tidak melangkah cukup jauh. Masih ada semacam dualisme dalam pandangan Locke yang menyatakan bahwa objek fisik menimbulkan ide-ide tentang objek tersebut. Locke berpendapat bahwa ada dunia empiris dan kita punya ide tentang dunia itu, namun Berkeley mengklaim bahwa kita hanya bisa merasakan kualitas sekunder. Tak ada yang eksis kecuali ia dipersepsi; jadi ada berarti dipersepsi. Ide-ide adalah satu-satunya hal yang kita alami secara langsung dan karenanya adalah satu-satunya hal yang kita bisa yakini. Namun Berkeley tetap dianggap empirisis karena dia percaya isi pikiran berasal dari pengalaman realitas eksternal.
e. David Hume (1711 -1776) mengemukakan argumen tersebut selangkah lebih maju. Meskipun dia sepakat dengan Berkeley bahwa kita tak bisa merasa pasti tentang lingkungan fisik, dia menambahkan bahwa kita juga tak tahu pasti soal ide. Kita tak bisa merasa yakin dengan pasti tentang apa pun. Pikiran, menurut Hume, tak lebih dari arus ide, memori, imajinasi, asosiasi, dan perasaan. Hume mengatakan bahwa kita hanya mengalami dunia empiris secara tak langsung melalui ide-ide kita. Bahkan hukum alam adalah konstruk dari imajinasi; “hukum” alam ada di pikiran kita, tidak selalu ada di alam saja. Konsep umum seperti sebab-akibat, misalnya, berasal dari yang oleh Hume dinamakan “tertib habitual dari ide-ide. ”
f. Immanuel Kant Imanuel Kant (1724 -1804) mengatakan bahwa Hume telah menyadarkannya dari “kepasifan dogmatik” dan menyebabkannya berusaha menyelamatkan filsafat dari skeptisisme Hume. Kant berusaha mengoreksi ciri-ciri nonpraktis dari rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme hanya berkaitan dengan manipulasi konsep, dan empirisisme membatasi pengetahuan hanya pada pengalaman indrawi dan derivasinya. Kant berusaha merekonsiliasikan dua sudut pandang ini. Kant percaya bahwa ada dua belas fakultas bawaan yang memberi makna pada pengalaman dunia fisik kita, seperti kesatuan, totalitas, realitas, eksistensi, keniscayaan, resiprositas, dan kausalitas. Kant mempertahankan rasionalisme dengan menunjukkan bahwa pikiran adalah sumber dari pengetahuan. Dengan kata lain, dia mempertahankan suatu pendekatan untuk menjelaskan pengetahuan dengan tidak mereduksinya ke pengalaman indrawi saja. Dengan menganut pandangan nativistik—bahwa banyak pengetahuan adalah bawaan—Kant menghidupkan lagi pandangan Platonis yang telah kehilangan pamornya sejak masa Descartes.
John Stuart Mill (1806 -1873) terganggu oleh pendapat dari asosiasionis awal seperti Hobbes dan Locke, yang mengatakan bahwa ide-ide kompleks tak lain adalah kombinasi dari ide-ide sederhana. Meskipun dia tetap empirisis dan asosiasionis, namun dia melakukan revisi penting terhadap pandangan yang dianut oleh asosiasionis lainnya. Jika kita mengombinasikan biru, merah, dan hijau terang, kita akan mendapat warna putih. Dengan kata lain, Mill percaya bahwa keseluruhan adalah berbeda dari jumlah bagian-bagiannya. Jadi Mill memodifikasi pendapat empirisis bahwa semua ide merefleksikan stimulasi indrawi. Menurutnya, ketika beberapa ide dikombinasikan, mereka menghasilkan ide yang berbeda dengan ide-ide yang menjadi unsur-unsur dari ide baru itu.
5. Pengaruh historis lain terhadap teori belajar a. Franz Joseph Gall (1758 -1828) membawa psikologi fakultas beberapa langkah lebih jauh. 1. Dia mengasumsikan bahwa fakultas itu terletak di lokasi tertentu di otak. 2. Dia percaya bahwa fakultas pikiran itu tidak sama untuk setiap individu. 3. Dia percaya bahwa jik 2 a suatu fakultas pikiran berkembang baik, maka akan ada benjolan atau tonjolan di bagian tengkorak kepala yang berhubungan dengan tempat fakultas pikiran di otak itu. Dia mengembangkan diagram yang menunjukkan fakultas-fakultas di beberapa bagian tengkorak. Analisis atribut mental dengan memeriksa karakteristik tengkorak kepala ini dinamakan phrenology. Berikut adalah diagram phrenology yang khas.
b. Thomas Reid (1710 -1796) juga menentang elementisme dari empirisis, namun penentangannya mengambil bentuk yang berbeda dari penentangan John Stuart Mill. Seperti Kant, Reid percaya bahwa pikiran memiliki kekuatan sendiri, yang sangat memengaruhi cara kita memandang dunia. Dia mengemukakan 27 fakultas pikiran, yang kebanyakan di antaranya adalah bawaan. Keyakinan akan adanya fakultas seperti itu dalam pikiran kelak disebut dengan faculty psychology (psikologi fakultas). Pandangan psikologi fakultas ini adalah campuran dari nativisme, rasionalisme, dan empirisisme. Kant, misalnya, mengeksplorasi pengalaman indrawi (empirisisme) untuk mengungkap kategori pikiran (rasionalisme) yang merupakan bawaan (nativisme). Reid berpendapat bahwa karena semua manusia meyakini eksistensi realitas fisik, maka realitas itu pasti eksis. Pendapat Reid bahwa realitas adalah seperti apa yang kita lihat dinamakan naive realism (realisme naif) (Henle, 1986).
c. Herman Ebbinghaus (1850 -1909) konon telah membebaskan psikologi dari filsafat dengan menunjukkan bahwa “proses mental yang lebih tinggi” dari belajar dan memori dapat diteliti secara eksperimental. Ketimbang mengasumsikan bahwa asosiasi telah terbentuk, dan mengkajinya melalui refleksi, seperti yang telah dilakukan selama berabad-abad, Ebbinghaus lebih memilih mempelajari proses asosiatif ketika proses itu berlangsung. Jadi, dia secara sistematis bisa mempelajari kondisi-kondisi yang memengaruhi perkembangan asosiasi. Dia adalah periset yang amat cermat dan mengulangi eksperimennya selama bertahun-tahun sebelum dia memublikasikan hasilnya pada 1885. Banyak dari kesimpulannya tentang sifat belajar dan memori masih diterima hingga kini. Salah satu prinsip penting dari asosiasi adalah hukum frekuensi, yang menjadi fokus riset Ebbinghaus. Hukum frekuensi menyatakan bahwa semakin sering suatu pengalaman terjadi, semakin mudah pengalaman itu diingat atau dilakukan lagi.
d. Charles Darwin (1809 -1882) mendukung gagasan evolusi biologis dengan menyajikan banyak bukti, sehingga pandangannya dikaji secara serius. Gereja menentang keras pendapat Darwin. Sebenarnya Darwin sendiri merasa cemas dengan dampak dari hasil temuannya terhadap pemikiran religius sehingga ia ingin agar risetnya dipublikasikan setelah dirinya meninggal. Penerimaan teori evolusi oleh komunitas ilmiah menandai pukulan telak terhadap ego manusia. Darwin mengubah semua pemikiran tentang sifat manusia. Manusia kini dilihat sebagai kombinasi dari warisan biologis dan pengalaman hidup. Asosiasionisme empirisis murni dipasangkan dengan fisiologi dalam rangka mencari tahu mekanisme di balik pemikiran. Francis Galton (1822 -1911) sepupu dari Darwin yang menyusun sejumlah metode, seperti kuesioner, asosiasi bebas, dan metode korelasi, yang secara spesifik didesain untuk mengukur perbedaan individual. Barangkali orang paling terkenal yang dipengaruhi langsung oleh Darwin adalah Sigmund Freud (1856 -1939), yang mengeksplorasi problem manusia yang berusaha hidup di dunia yang beradab.
6. MAZHAB PSIKOLOGI AWAL a. Voluntarisme Mazhab psikologi pertama adalah voluntarism (voluntarisme), dan aliran ini didirikan oleh Wilhelm Maximillian Wundt (1832 -1920), yang mengikuti tradisi rasionalis Jerman. Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama pada 1879. Dengan tujuan: 1. Mempelajari kesadaran sebagaimana ia dialami secara langsung dan mempelajari produk dari kesadaran seperti berbagai pencapaian kultural. 2. Eksperimentalnya adalah menemukan elemen pikiran, yakni elemen-elemen dasar yang menyusun pemikiran. 3. Menemukan elemen pikiran dan proses dasar yang mengatur pengalaman kesadaran. Wundt terutama tertarik dengan persoalan kehendak manusia. Dia mencatat bahwa manusia bisa memerhatikan secara selektif terhadap elemen apa pun dari pikiran yang mereka inginkan, dan menyebabkan elemen itu dipahami dengan lebih jelas. Wundt menyebut perhatian selektif ini sebagai apperception (appersepsi). Elemen pikiran juga dapat diatur sekehendaknya dalam sejumlah kombinasi, sebuah porses yang oleh Wundt dinamakan creative synthesis (sintesis kreatif). Karena penekanan Wundt pada kehendak inilah maka alirannya dinamakan voluntarisme.
b. Strukturalisme Edward Titchener (1867 -1927). Ketika aspek dari voluntarisme Wundt ditransfer oleh murid-muridnya ke Amerika Serikat, aspek-aspek itu dimodifikasi secara signifikan dan menjadi aliran structuralism (strukturalisme). mendirikan mazhab strukturalisme di Cornell University. Strukturalisme, seperti aspek eksperimental dari voluntarisme Wundt, melakukan studi sistematis atas kesadaran manusia dan ia juga mencari unsur pemikiran. Dalam menganalisis elemen pikiran, alat utama yang dipakai voluntaris dan strukturalis adalah introspection (introspeksi). Voluntarisme dan strukturalisme sama -sama mencari elemen-elemen pikiran. Dalam menjelaskan bagaimana elemen-elemen itu dikombinasikan untuk membentuk pemikiran yang kompleks, voluntarisme menekankan pada kehendak, appersepsi, dan sintesis kreatif mengikuti tradisi rasionalistik. Dengan kata lain, voluntaris mempostulatkan pikiran aktif. Sebagai mazhab psikologi, strukturalisme berumur pendek dan mati di masa hidup Titchener dengan berbagai alasan: 1. Makin populernya fungsionalisme. 2. Strukturalisme juga mengabaikan adanya bukti eksistensi proses bawah sadar yang dikemukakan oleh peneliti seperti Freud. 3. Terakhir, strukturalis menentang psikologi terapan, yang saat itu makin popular.
c. Fungsionalisme Kontribusi utama fungsionalis untuk teori belajar adalah: William James (1842 -1910). Yang dianggap 1. pelopor gerakan fungsionalis, Dalam bukunya yang sangat berpengaruh, The Principles of Psychology (1890), James membahas strukturalis. Kesadaran, katanya, tidak dapat direduksi menjadi elemen-elemen. 2. Kesadaran berfungsi sebagai satu kesatuan yang tujuannya adalah membuat organisme bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dia menekankan bahwa manusia adalah makhluk rasional 3. dan irasional (emosional). Selain James, ada dua anggota gerakan fungsionalis lain yang berpengaruh, yakni John Dewey (1859 -1952) 4. dan James R. Angell (1869 -1949). Dalam artikel Dewey (1896) yang terkenal, “The Reflex Are Concept in Psychology”, dia menyerang kecenderungan psikologi untuk mengisolasi hubungan respons stimulus demi kepentingan studi. Dia berpendapat bahwa mengisolasi unit untuk studi adalah membuang waktu karena tujuan perilaku diabaikan. Mereka mempelajari hubungan kesadaran dengan lingkungan, bukan mempelajarinya sebagai fenomena tersendiri. Mereka menentang teknik introspeksi dari strukturalis karena teknik itu bersifat elementalistik, bukan karena ia mempelajari kesadaran. Fungsionalis tidak menolak studi proses mental. Fungsionalis sangat tertarik dengan psikologi terapan.
d. Behaviorisme John B. Watson (1878 -1958). Pendiri aliran behaviorism (behaviorisme), yang mengatakan bahwa kesadaran hanya dapat dipelajari melalui proses introspeksi, sebuah alat riset yang tidak bisa diandalkan. Karena kesadaran tidak dapat dipelajari secara reliabel maka dia menyatakan bahwa seharusnya kesadaran tidak usah dipelajari sama sekali. Agar ilmiah, ilmu psikologi perlu pokok persoalan yang cukup stabil dan dapat diukur secara reliabel, dan pokok persoalan itu adalah perilaku (behavior). Watson jelas seorang pemberontak. Dia menggunakan berbagai pendekatan untuk mempelajari psikologi, dan melalui tulisan dan pidatonya yang kuat, dia mengorganisasikan studinya ke dalam mazhab psikologi baru. Tentu saja, poin utama behavioris adalah bahwa perilakulah yang seharusnya dipelajari karena perilaku dapat dikaji secara langsung. Kejadiankejadian mental seharusnya diabaikan karena tidak bisa dikaji secara langsung. Teori behavioristik ini dapat disebut teori fungsional. Watson memberi dua efek yang abadi terhadap psikologi: Behavioris adalah cabang eksperimen objektif 1. murni dari ilmu alam. Tujuan teoretisnya adalah prediksi dan kontrol perilaku. Introspeksi bukan bagian esensial dari metodenya. Watson sangat bersemangat terhadap hasil karya dan implikasinya. 2. Dia memandang behaviorisme sebagai cara untuk menghilangkan kebodohan dan takhayul dari eksistensi manusia dan karenanya membuka jalan bagi kehidupan yang lebih rasional dan bermakna. Dia mengubah tujuan psikologi dari usaha untuk memahami kesadaran ke prediksi dan kontrol perilaku. Dia menciptakan pokok persoalan psikologi perilaku.
7. RINGKASAN DAN ULASAN Dari sejarah ringkas yang disajikan di bab ini, dapat dilihat bahwa teori belajar memiliki warisan yang kaya dan beragam. Setidaknya lima sudut pandang dapat diidentifikasi di dalam teori belajar. 1. paradigma kita sebut fungsionalistik. Paradigma ini mencerminkan pengaruh dari Darwinisme karena ia menekankan pada hubungan antara belajar dengan penyesuaian diri dengan lingkungan. 2. Paradigma kedua kita sebut sebagai asosiasionistik sebab ia mempelajari proses belajar dalam term hukum asosiasi. Paradigma ini berasal dari Aristotels dan dipertahankan serta dielaborasi oleh Locke, Berkeley, dan Hume. 3. Paradigma ketiga kita namakan kognitif karena ia menekankan sifat kognitif dari belajar. Paradigma ini berasal dari Plato dan sampai kepada kita melalui Descartes, Kant dan para psikolog fakultas. 4. Paradigma keempat disebut sebagai neurofisiologis karena ia berusaha mengisolasi korelasi neurofisiologis dari hal-hal seperti belajar, persepsi, pemikiran, dan kecerdasan. Paradigma ini merepresentasikan manifestasi rangkaian penelitian yang diawali dengan pemisahan tubuh dan pikiran oleh Descartes. Tetapi tujuan neurofisiologis saat ini adalah menyatukan kembali proses fisiologis dan mental. 5. Paradigma kelima disebut evolusioner sebab ia menekankan pada sejarah evolusi proses belajar organisme. Paradigma ini berfokus pada cara di mana proses evolusi mempersiapkan organisme untuk beberapa jenis belajar tetapi membuat jenis belajar lain menjadi sulit atau mustahil.
- Slides: 26