Tokoh Jurnalisme Damai Johan Galtung Dwi Firmansyah M

  • Slides: 16
Download presentation
Tokoh Jurnalisme Damai : Johan Galtung Dwi Firmansyah M. I. Kom

Tokoh Jurnalisme Damai : Johan Galtung Dwi Firmansyah M. I. Kom

 Johan Galtung, first began using the term ‘Peace Journalism’ in the 1970 s.

Johan Galtung, first began using the term ‘Peace Journalism’ in the 1970 s. Galtung noticed that a great deal of War Journalism was based on the same assumptions as Sports Journalism. There was a focus on ‘winning as the only thing’ in a zero-sum game of two parties (Mc. Goldrick and Lynch [2000]; p. 10). Johan Galtung awalnya mulai menggunakan istilah jurnalisme damai di tahun 1970 an. Galtung menyadari bahwa hal besar dalam jurnalisme perang berdasarkan pada asumsi yang sama seperti jurnalisme olahraga. Ada fokus pada ‘ menjadi pemenang adalah segalanya’ dalam permainan dua belah pihak. Johan Galtung, Peace Professor and Director of the TRANSCEND Peace and Development Network.

 As every journalist has an ideology, peace journalists have too – their ideologies

As every journalist has an ideology, peace journalists have too – their ideologies are, to contribute something for peace, to contribute something for justice. And they also supports the peace. Peace journalism advocates the peace. Karena setiap jurnalis memiliki ideologi, maka jurnalis damai juga memilikinya- ideologi mereka adalah untuk berkontribusikan sesuatu untuk perdamaian, berkontribusi pada keadilan dan mereka juga mendukung perdamaian. Jurnalisme damai mengarah pada perdamaian. Galtung suggested that peace journalism would be more like health journalism. A good health correspondent would describe a patient’s battle against cancerous cells eating away at the body (Mc. Goldrick and Lynch [2000]; p. 10). Galtung berpendapat bahwa jurnalisme damai nyaris sama dengan jurnalisme kesehatan. Jurnalis di bidang kesehatan akan menjelaskan perjuangan seorang pasien melawan sel kanker yang menggerogoti tubuhnya.

 Johan Galtung menyampaikan 12 butir keprihatinan di mana jurnalisme sering menjurus ke arah

Johan Galtung menyampaikan 12 butir keprihatinan di mana jurnalisme sering menjurus ke arah yang menyimpang ketika menangani masalah kekerasan

 1. Dekontekstualisasi kekerasan: Berfokus pada hal-hal yang irasional tanpa melihat alasan-alasan bagi konflik-konflik

1. Dekontekstualisasi kekerasan: Berfokus pada hal-hal yang irasional tanpa melihat alasan-alasan bagi konflik-konflik yang tidak terpecahkan dan polarisasi.

2. Dualisme: Mengurangi jumlah pihak-pihak yang berkonflik jadi dua, ketika faktanya sering justru lebih

2. Dualisme: Mengurangi jumlah pihak-pihak yang berkonflik jadi dua, ketika faktanya sering justru lebih banyak pihak yang terlibat. Berita-berita yang hanya berfokus pada perkembangan internal sering mengabaikan peran pihak yang di luar atau kekuatan “eksternal, ” seperti pemerintah asing dan perusahaan transnasional.

 3. Manicheanism: Menggambarkan satu pihak sebagai yang “baik” dan mendemonisasi yang lain sebagai

3. Manicheanism: Menggambarkan satu pihak sebagai yang “baik” dan mendemonisasi yang lain sebagai “jahat. ”

 4. Armageddon: Menampilkan kekerasan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, dengan menghilangkan alternatif-alternatif.

4. Armageddon: Menampilkan kekerasan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, dengan menghilangkan alternatif-alternatif.

 5. Berfokus pada tindakan-tindakan kekerasan individual, seraya menghindari sebab-sebab struktural, seperti kemiskinan, pengabaian

5. Berfokus pada tindakan-tindakan kekerasan individual, seraya menghindari sebab-sebab struktural, seperti kemiskinan, pengabaian oleh pemerintah, serta represi oleh militer atau polisi.

 6. Kekisruhan (confusion): Berfokus hanya pada arena konflik (misalnya, medan tempur atau lokasi

6. Kekisruhan (confusion): Berfokus hanya pada arena konflik (misalnya, medan tempur atau lokasi insiden kekerasan), namun tidak pada kekuatan atau faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan.

 7. Menyisihkan dan menghapus pihak yang berduka/korban, sehingga tidak pernah menjelaskan mengapa ada

7. Menyisihkan dan menghapus pihak yang berduka/korban, sehingga tidak pernah menjelaskan mengapa ada tindakan pembalasan dan lingkaran kekerasan.

 8. Kegagalan untuk mengeksplorasi sebab-sebab eskalasi dan dampak liputan media itu sendiri.

8. Kegagalan untuk mengeksplorasi sebab-sebab eskalasi dan dampak liputan media itu sendiri.

 9. Kegagalan untuk mengeksplorasi tujuan-tujuan pihak yang campur tangan dari luar, khususnya kekuatan-kekuatan

9. Kegagalan untuk mengeksplorasi tujuan-tujuan pihak yang campur tangan dari luar, khususnya kekuatan-kekuatan besar.

 10. Kegagalan untuk mengeksplorasi usulan perdamaian dan menawarkan gambaran hasil-hasil yang bersifat perdamaian.

10. Kegagalan untuk mengeksplorasi usulan perdamaian dan menawarkan gambaran hasil-hasil yang bersifat perdamaian.

 11. Mencampuradukkan gencatan senjata dan negosiasi dengan perdamaian yang sebenarnya.

11. Mencampuradukkan gencatan senjata dan negosiasi dengan perdamaian yang sebenarnya.

 12. Menghapus rekonsiliasi: Konflik-konflik cenderung untuk muncul kembali jika tidak ada perhatian terhadap

12. Menghapus rekonsiliasi: Konflik-konflik cenderung untuk muncul kembali jika tidak ada perhatian terhadap upaya-upaya untuk menyembuhkan masyarakat yang terluka dan terpecah. Ketika berita tentang usaha penyelesaian konflik tidak muncul, fatalisme pun semakin kuat. Itu bahkan dapat menyebabkan lebih banyak kekerasan, yaitu ketika orang tidak memiliki gambaran atau informasi tentang kemungkinan hasil yang damai dan janji penyembuhan.