Perkembangan Pengertian Jurnalisme Damai Dwi Firmansyah M I
Perkembangan & Pengertian Jurnalisme Damai Dwi Firmansyah M. I. Kom
LATAR BELAKANG MUNCULNYA JURNALISME DAMAI: Kekerasan yang dilakukan media dapat membentuk perang (forging war). Contoh: perang di Rwanda, Bosnia dan Kosovo, di mana peran media sangat dominan untuk memprovokasi pihak-pihak yang bertikai. Pada prinsipnya media berpotensi untuk menjadi solusi atau sebaliknya dari sebuah konflik atau kekerasan. Namun demi “rating”, saat berhadapan dengan fakta sosial berupa konflik, media dan para pengelolanya, yaitu wartawan, redaktur dan pemodal lebih suka menggunakan pendekatan Jurnalisme Kekerasan (Violence Journalism) agar lebih laku “dijual” untuk kepentingan industri medianya.
Perang Teluk tahun 1991: Amerika bersama sekutunya menyerang Irak yang dipimpin Saddam Husein dalam “Operasi Badai Gurun”. Salah satu jaringan televisi dunia CNN, melakukan peliputan eksklusif siaran langsung detik demi detik peristiwa yang meluluh lantahkan bangunan-bangunan di Irak serta mencabut ribuan nyawa mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Semua itu disiarkan secara terbuka dan tervisualisasi dengan vulgar sebagai sebuah sajian “hiburan”. Berita perang = hiburan penonton Hingga pada akhirnya di Amerika sendiri, terjadi protes keras dari kalangan akademisi, jurnalis, politisi dan masyarakat. Intinya menolak berbagai liputan perang tersebut yang tidak lagi mengindahkan nilai luhur jurnalisme dari sudut kemanusiaan.
Dengan dipelopori oleh Prof. Johan Galtung dan para penggiat dan pakar perdamaian lainnya, mereka menggagas kembali Jurnalisme Damai (Peace Journalism) pada suatu pertemuan di Taplow Court, Buckinghamshire, Inggris, pada tahun 1997, yang dihadiri oleh para wartawan, ilmuwan dan mahasiswa dari Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Momentum ini dimanfaatkan betul untuk merevitalisasi peran jurnalisme dalam sebuah konflik yang terjadi.
Rangkaian peristiwa inilah yang menggagas kembali jurnalisme damai (peace journalism) sebagai antitesis terhadap jurnalisme perang/kekerasan (war/violence journalism) yang telah berkobar terlebih dahulu. Jurnalisme damai menjadi populer ketika audience mulai jenuh dan tidak suka dengan pemberitaan yang berbau konflik, kekerasan dan kurang manusiawi.
PERKEMBANGAN JURNALISME DAMAI DI INDONESIA: Kasus konflik bernuansa SARA di Indonesia: 1. Kekerasan rasial pada 13 -14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, 2. Pembersihan etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, 3. Konflik di Maluku 2000 -2001, 4. Darurat sipil di Aceh, sampai tahun 2003 5. Konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998.
Jurnalisme damai di Indonesia mulai menjadi wacana saat terjadi kerusuhan di Maluku tahun 1999. Saat itu media yang menjadi andalan setiap orang dalam memperoleh informasi juga terseret dalam perpecahan. Adanya pemisahan kerja wartawan muslim dan wartawan kristen saat itu menjadi suatu pemicu semakin terpecahnya golongan masyarakat di Maluku. Akibatnya, konflik pun semakin memanas. Ternyata media yang ada tidak menyajikan berita secara berimbang. Karena keberpihakan media itulah, pertikaian terus berlangsung. Wartawan muslim dalam Ambon Ekspres dan wartawan kristen dalam Suara Maluku masing-masing saling menyudutkan lawan. Mereka pun mengeksploitasi sebuah peristiwa secara berpihak dan vulgar.
Seringkali dalam meliput berita, wartawan hanya mewawancarai narasumber yang bahkan kadang-kadang diragukan kredibilitasnya. Contoh: narasumber pemimpin ormas radikal, warga yang emosi dll. Mulai dari situlah jurnalisme damai mulai dirasakan penting untuk digunakan dalam kegiatan jurnalistik khususnya dalam pemberitaan konflik. Tujuannya agar media yang sifatnya umum tidak dijadikan alat propaganda dan pemberitaan yang disajikan pun bersifat lebih manusiawi.
Jurnalisme damai di Indonesia juga untuk menghindari apa yang disebut dengan ”talking journalism” atau jurnalisme omongan. Dimana kaidah pers ”big name big news, no name no news” masih berlaku. Pada masa Orde Baru, orang-orang penting seperti pejabat tinggi negara dan militer menjadi narasumber yang omongannya dipercaya dan menjadi sebuah fakta kebenaran. Dimana setiap pejabat dengan pangkat dan nama besarnya dianggap mewakili klaim atas seluruh kejadian dan kebenaran. Setiap terjadi suatu peristiwa, mereka selalu dijadikan narasumber. Sehingga jelas bahwa berita tidak bersifat komprehensif dan berat sebelah.
PENGERTIAN JURNALISME DAMAI: Jurnalisme damai adalah jenis jurnalisme yang memposisikan berita sebegitu rupa, yang mendorong analisis konflik dan tanggapan tanpa-kekerasasn (non-violent). Menurut teoretisi dan pendukung utamanya, Jake Lynch dan Annabel Mc. Goldrick, jurnalisme damai adalah ketika para redaktur dan reporter membuat pilihan-pilihan – tentang apa yang akan dilaporkan, dan bagaimana cara melaporkannya – yang menciptakan peluang bagi sebagian besar masyarakat untuk mempertimbangkan dan menghargai tanggapan tanpa-kekerasan terhadap konflik bersangkutan.
Jurnalisme damai memberi perhatian pada sebab-sebab struktural dan kultural dari kekerasan, karena hal itu membebani kehidupan orang di daerah konflik, sebagai bagian dari eksplanasi kekerasan. Jurnalisme damai bertujuan menempatkan konflik sebagai sesuatu yang melibatkan banyak pihak, dan mengejar banyak tujuan, ketimbang sekadar dikotomi sederhana.
Tujuan eksplisit jurnalisme damai adalah untuk mempromosikan prakarsa perdamaian dari kubu manapun, dan untuk memungkinkan pembaca membedakan antara posisi-posisi yang dinyatakan dan tujuan-tujuan yang sebenarnya. Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik. Jurnalisme damai memberi porsi sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik.
Jurnalisme damai adalah praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri bagi. Dan ruhnya adalah mengembangkan liputan yang berkiblat ke masyarakat (people oriented).
karakteristik jurnalisme damai: Jurnalisme damai melihat perang sebagai sebuah masalah Jurnalisme damai melihat perang sebagai ironi yang tidak seharusnya terjadi Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban daripada liputan konflik yang kontinyu. Jurnalisme damai menonjolkan rekonsiliasi kedua belak pihak Jurnalisme damai mengedepankan harapan dan hasrat untuk berdamai daripada aroma dendam dan kebencian kepada kedua belah pihak. Jurnalisme damai memberitakan konflik apa adanya dan memberikan porsi yang sama kepada semua pihak atau versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme damai mengungkapkan ketidakbenaran kedua belah pihak dan menghindari keperpihakan. Jika perlu, jurnalisme damai menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak, guna mengungkapkan ketikbenaran atau kebohongan masing -masing pihak.
- Slides: 14