INTERTEKSTUALITA S Taufik Dermawan taufik dermawan fsum ac

  • Slides: 31
Download presentation
INTERTEKSTUALITA S Taufik Dermawan taufik. dermawan. fs@um. ac. id Fakultas Sastra UM Disajikan pada

INTERTEKSTUALITA S Taufik Dermawan taufik. dermawan. fs@um. ac. id Fakultas Sastra UM Disajikan pada Webinar “Plagiarisme dalam Bayang Intertekstualitas” Jurusan Sastra Indonesia FS UM, 8 Juli 2020

Tiga Penggagas Konsep Ferdinand de Saussure M. M. Bakhtin Julia Kristeva

Tiga Penggagas Konsep Ferdinand de Saussure M. M. Bakhtin Julia Kristeva

Konsep Bahasa Saussure ◦ Teori-teori sastra dan kebudayaan bersumber dari disiplin ilmu linguistik modern

Konsep Bahasa Saussure ◦ Teori-teori sastra dan kebudayaan bersumber dari disiplin ilmu linguistik modern yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. ◦ Saussure menganggap bahasa sebagai sistem tanda, yang terdiri atas dwi-tunggal signified (konsep, petanda) dan signifier (bunyi , penanda). Hubungan antara petanda dan penanda bersifat arbitrer dan konvensional. ◦ Bahasa harus dipelajari secara sinkronik, sebagai sistem yang lengkap pada satu waktu tertentu, bukan dalam perkembangan sejarahnya.

…lanjutan ◦ Saussure lebih fokus mempelajari bahasa sebagai sistem yang ketat dan kaku (langue)

…lanjutan ◦ Saussure lebih fokus mempelajari bahasa sebagai sistem yang ketat dan kaku (langue) daripada bahasa dalam penggunaannya (parole) yang longgar dan tidak terkontrol. ◦ Makna tidak inheren terkandung dalam sebuah tanda, tetapi ada karena adanya relasi (bisa kemiripan atau perbedaan) dengan tanda lainnya. ◦ Gagasan Saussure tentang ‘the life of signs within society’ dalam ilmu bahasa/humaniora dapat dipandang sebagai cikal bakal teori interteks.

Konsep Dialogisme Bakhtin ◦ Dialogisme adalah elemen pokok dari semua bahasa. Bahasa merupakan gejala

Konsep Dialogisme Bakhtin ◦ Dialogisme adalah elemen pokok dari semua bahasa. Bahasa merupakan gejala sosial yang dinamis sehingga menimbulkan beragam makna sesuai dengan kelas yang berbeda-beda. ◦ Teks sastra pada hakikatnya merupakan wujud dialog antarteks melalui pembacaan dan pengalaman yang dimiliki penulis. ◦ Ada tiga aspek utama dalam dialogisme, yaitu pengarang, teks, dan pembaca yang dicapai melalui tiga proses, yaitu proses pembacaan, proses pemahaman dan penilaian, dan proses penulisan.

…lanjutan ◦ Dialogisme berlaku pada teks novel maupun puisi. Kebahasaan novel berbentuk dialogis dan

…lanjutan ◦ Dialogisme berlaku pada teks novel maupun puisi. Kebahasaan novel berbentuk dialogis dan bersifat heteroglosia (maknanya mengacu pada retorika sosial di luar teks itu). Kebahasaan puisi berbentuk monologia (dialog tunggal yang mengacu pada makna estetik puisi itu sendiri). ◦ Kebahasaan puisi berciri autotelic (estetika yang hanya berlaku dalam puisi itu sendiri), dan sentripetal (semua piranti estetik difungsikan untuk membawa pada satu makna dalam puisi itu sendiri). ◦ Bahasa novel bersifat sentrifugal, estetika difungsikan untuk membawa pada makna-makna lain di luar dunia novel.

Kristeva Sang Perumus ◦ Kristeva mengombinasikan gagasan semiologi Saussure dan dialogisme Bakhtin untuk melahirkan

Kristeva Sang Perumus ◦ Kristeva mengombinasikan gagasan semiologi Saussure dan dialogisme Bakhtin untuk melahirkan teori intertekstualitasnya. Berdasarkan semiologi Saussure dia mengembangkan semianalysis, yang menempatkan teks selalu dalam situasi produksi, bukan produk yang siap dinikmati pembaca. ◦ Berdasarkan gagasan dialogisme Bakhtin dia mengembangkan konsep interteks sebagai dialog antarteks, baik teks-teks yang berada di dalam maupun unsur-unsur luar yang masuk ke dalam karya sastra melalui pembacaan yang dilakukan atau pengalaman yang dimiliki pengarang.

…lanjutan ◦ Menurut Kristeva pengarang tidak mencipta teks dari pikiran mereka sendiri, tetapi ‘hanya’

…lanjutan ◦ Menurut Kristeva pengarang tidak mencipta teks dari pikiran mereka sendiri, tetapi ‘hanya’ mengompilasi dari teks-teks yang sudah ada sebelumnya, sehingga teks pada dasarnya merupakan ‘permutasi teks-teks (yakni variasi, perubahan, kombinasi), suatu intertekstualitas dalam ruang teks yang ada’ di mana ‘beberapa ujaran diambil dari teks-teks lain, saling berjalinan dan saling menetralkan satu sama lain. ’

Intertekstual sebagai Teori ◦ Teori intertekstualitas bertolak dari suatu konsep bahwa tidak ada sebuah

Intertekstual sebagai Teori ◦ Teori intertekstualitas bertolak dari suatu konsep bahwa tidak ada sebuah teks pun yang benar-benar mandiri, bersih, dan lepas dari teks-teks lainnya karena di dalam sebuah teks selalu terdapat teks-teks lainnya. Teks bukan merupakan suatu sistem yang tertutup (Worton dan Still, 1991: 1). ◦ Ada dua alasan yang mendasari pernyataan tersebut. Pertama, penulis adalah pembaca teks sebelum ia menciptakan teksnya sendiri, karenanya wajar jika ia mengacu, mengutip, atau terpengaruh oleh teks-teks yang telah dibacanya. Kedua, teks ada hanya melalui proses pembacaan, yakni saat bertemunya pembaca dengan teks, saat terjadinya pembuahan silang (crossfertilisation) oleh seluruh teks yang pembaca bawa ke dalam teks itu (Worton dan Still, 1991: 1 -2).

…lanjutan ◦ Pihak manakah yang punya otoritas pembacaan? Interteks, pembaca, atau penulis? Sesuai dengan

…lanjutan ◦ Pihak manakah yang punya otoritas pembacaan? Interteks, pembaca, atau penulis? Sesuai dengan pandangan pascastrukturalis, pembacalah yang memiliki otoritas pembacaan karena pembaca – selaku subjek sosial – yang menghadapi teks memiliki pengetahuan tentang ‘teks-teks’ yang telah menghasilkan interteks yang dibacanya itu – ‘teks’ yang telah menghasilkan teks itu adalah pengarang. ◦ Seperti apa pun tidak stabilnya pembacaan, selama pembaca mengetahui siapa pengarang teks yang dihadapinya, tentunya pengarang itu juga berhak menjadi teks sehingga bisa juga menjadi salah satu serat dalam ‘tenunan, ’ dalam interteks – (Damono, 2010: 12).

Teks dan Interteks ◦ Teks artinya jaringan, tenunan, kain tenun (Barthes dalam Allen, 2000:

Teks dan Interteks ◦ Teks artinya jaringan, tenunan, kain tenun (Barthes dalam Allen, 2000: 6). Makna teks bukan pada teks itu sendiri, melainkan dalam jaringan dengan teks-teks lainnya. ◦ Kristeva menyatakan bahwa setiap teks mengambil bentuk sebagai suatu mosaik acuan/kutipan, setiap teks merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain (Culler, 1975: 139). ◦ Sebuah teks, kata Kristeva, adalah permutasi, yakni variasi, transformasi, kombinasi, dan perubahan dari berbagai teks; sebuah teks adalah intertekstualitas: dalam ruang suatu teks, berbagai ujaran yang diambil dari teks-teks lain bertemu dan menetralisir satu sama lain (Hawthorn 1992: 86).

…lanjutan ◦ Teks hanya dapat dihayati dalam kegiatan produksinya, yaitu ketika pembaca membacanya. Teks

…lanjutan ◦ Teks hanya dapat dihayati dalam kegiatan produksinya, yaitu ketika pembaca membacanya. Teks dan pembaca bersama-sama menjamin berlangsungnya proses pembacaan, yang berarti saling mengisi dalam membentuk keutuhan yang padu. ◦ Teks hanya akan menjadi teks dalam kegiatan pembacaan, dan pembaca hanya akan menjadi pembaca dalam kegiatan yang sama: keduanya tidak boleh ada di luar hubungan itu. Hanya pembaca yang dapat menyatukan teks itu, tetapi itu pun hanya untuk sementara waktu saja. ◦ Intertekstualime tidak berurusan dengan pengusutan pengaruhmempengaruhi dan plagiarisme, karena teks-teks dalam jaringan itu berkedudukan sama, tidak ada yang lebih dominan dari yang lain.

…lanjutan ◦ Karena teks adalah interteks, maka teks itu terbuka, dinamis, dan berubah-ubah maknanya;

…lanjutan ◦ Karena teks adalah interteks, maka teks itu terbuka, dinamis, dan berubah-ubah maknanya; berbeda sekali dengan pandangan kaum strukturalis yang memperlakukan teks sebagai entitas unik, otonom, dan stabil. ◦ Inti interteks adalah pandangan bahwa teks itu plural, tidak memiliki batas-batas tetapi sesuatu yang mengalir, bahkan tidak jelas kapan ‘mulai’ dan kapan ‘berakhir. ’ Setiap teks hanya terkait dengan teks-teks lain, tidak dengan penulisnya; teks ‘berhutang budi’ kepada teks-teks lain dan bukan kepada penulisnya.

Konsep Teks dalam Interteks Bentuk • • Lisan Tulisan Gambar Warna Isi • Pesan

Konsep Teks dalam Interteks Bentuk • • Lisan Tulisan Gambar Warna Isi • Pesan • Makna • Ideologi Proses • Mengacu • Mencontoh • Mengutip

Konsep Hipogram ◦ Fenomena intertekstual tidak mungkin dipahami sepenuhnya tanpa menjajarkan teks yang lahir

Konsep Hipogram ◦ Fenomena intertekstual tidak mungkin dipahami sepenuhnya tanpa menjajarkan teks yang lahir kemudian dengan teks-teks pendahulunya. Ada teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra, yang menjadi contoh, model, acuan, teladan, atau kerangka bagi teks-teks berikutnya. Teks yang demikian oleh Riffaterre (1978: 42) disebut hipogram, sedangkan teks turunannya disebut teks transformasi. ◦ Teks hipogram ada dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial adalah inti teks atau matriks yang menjadi ruh teks baru; wujudnya bisa berupa satu kata, frasa, atau kalimat. Hipogram aktual adalah teks-teks riil yang pernah ada, yang menjadi latar penciptaan teks baru.

Implementasi Teoritik ◦ Novel Belenggu (Armyn Pane) secara intertekstual merupakan transformasi dari novel Layar

Implementasi Teoritik ◦ Novel Belenggu (Armyn Pane) secara intertekstual merupakan transformasi dari novel Layar terkembang (STA) (Teeuw, 1984: 324). ◦ Puisi “Senja di Pelabihan Kecil” (Chairil Anwar) mentransformasikan prinsip dasar estetik Melayu yang diwakili Amir Hamzah menjadi estetik Indonesia modern (Teeuw, 1984: 324). Teeuw berkesimpulan bahwa penelitian jenis sastra selalu harus berkaitan dengan hubungan intertekstual antara karya individual; dinamika perubahan system sastra ditentukan oleh dan terjelma dalam karya-karya individual dalam hubungan antarteksnya.

…lanjutan ◦ Kajian interteks tidak berlaku hanya untuk teks verbal seperti karya sastra; teks-teks

…lanjutan ◦ Kajian interteks tidak berlaku hanya untuk teks verbal seperti karya sastra; teks-teks lain seperti film, televisi, dan wayang adalah benda budaya yang boleh dikatakan sepenuhnya merupakan interteks: warna, musik, gambar, gerak, pemain: semua mengacu ke teks-teks lain yang ada di sekitarnya dan sebelumnya. ◦ Interteks dapat dimanfaatkan untuk penelitian alih wahana maupun kajian budaya (cultural studies). Storey (1996) misalnya memaparkan pandangannya tentang persoalan teoritis dan metodologis untuk meneliti fenomena budaya pop, seperti televisi, fiksi, film, koran dan majalah, music pop, dan konsumsi kehidupan sehari-hari.

Analisis Sajak “Pariksit” Goenawan Mohamad ◦ Sajak “Pariksit” ditulis pada tahun 1963 dan terhimpun

Analisis Sajak “Pariksit” Goenawan Mohamad ◦ Sajak “Pariksit” ditulis pada tahun 1963 dan terhimpun dalam kumpulan puisi dengan judul yang sama. Sajak ini terdiri atas enam bagian yang masing-masing ditandai dengan huruf Romawi I-V, dan bagian pembuka atau prolog tanpa angka. Berdasarkan penanda-penanda tekstual yang tersurat, dapat ditentukan bahwa hipogram teks puisi “Parikesit” adalah teks Mahabharata yang mengacu ke Adiparwa (Widyatmanta, 1958: 67 -68). ◦ Teks Adiparwa mengisahkan sosok Parikesit sebagai seorang raja yang tengah berburu di hutan, bertemu dengan pertapa, Begawan Samiti. Ketika sapanya tidak dijawab oleh pertapa, maka marahlah ia, lalu mengambil bangkai ular dan dikalungkannya ke leher pertapa itu. Anak pertapa bernama Crunggi marah kepada Pariksit dan mengutuk raja itu akan mati oleh naga Taksaka dalam waktu tujuh hari.

…lanjutan ◦ Puisi berjudul “Parikesit” mengisahkan sosok Parikesit sebagai seorang raja yang tengah menunggu

…lanjutan ◦ Puisi berjudul “Parikesit” mengisahkan sosok Parikesit sebagai seorang raja yang tengah menunggu datangnya takdir kutukan Naga Taksaka dengan perasaan yang campur aduk. Untuk menyelamatkan sang raja dari kutukan itu sebuah menara tinggi dibangun, dan sepasukan prajurit kerajaan pun dikerahkan untuk mencegah naga itu. Figur Parikesit dimunculkan secara lebih personal dan liris melalui ungkapan rasa tak berdaya yang tertuang dalam sekuel-sekuel (fragmen) I-V, yang menggambarkan saat-saat penantian datangnya kutukan itu.

…lanjutan ◦ Berdasarkan pembacaan heuristik ditemukanlah pernyataan-pernyataan yang tidak gramatikal dalam sajak “Pariksit. ”

…lanjutan ◦ Berdasarkan pembacaan heuristik ditemukanlah pernyataan-pernyataan yang tidak gramatikal dalam sajak “Pariksit. ” Larik-larik yang tidak gramatikal tersebut merepresentasikan serangkaian oposisi antara ketakutan dengan kesombongan, mati dengan hidup, yang kekal dengan yang fana, baik secara sintagmatik maupun paradigmatik. ◦ Pada fragmen I terdapat oposisi antara aku vs rakyat, menyelamatkan vs menyiksa, mendoa vs tiada berdoa, pesta pembebasan vs serapah malu. Pada fragmen II terdapat oposisi antara bumi vs langit, jasad vs hati, maut vs hidup. Pada fragmen III terdapat oposisi antara kemenangan vs kekalahan, kekal vs ajal. Pada fragmen IV terdapat oposisi antara selamat vs kiamat, hidup vs mati. Pada fragmen V terdapat oposisi antara maut vs bunga, malam vs siang, baka vs fana, panas vs dingin, laut vs udara.

…lanjutan ◦ Kesemua oposisi tersebut merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak muncul

…lanjutan ◦ Kesemua oposisi tersebut merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak muncul secara linier di dalam teks, yaitu oposisi antara kematian yang menakutkan dengan kehidupan yang menyenangkan. Goenawan Mohamad menggambarkan Parikesit tengah merenungi tindakan bodohnya dan akibat yang harus ditanggungnya serta respon rakyat yang mengetahui perbuatannya. Hidup dan mati, ketakutan akan kematian, kebebasan, penyesalan, dan lain sebagainya bercampur aduk menjadi satu. Pengembangan teks puisi secara fragmentaris memperlihatkan deskripsi psikologis tokoh yang tengah menunggu datangnya kutukan dari hari ke hari, yang termaktub dalam situasi dan suasana latar yang menakutkan.

…lanjutan ◦ Fragmen II secara implisit menunjukkan bahwa Parikesit dengan sifat adigang, adigunanya tetap

…lanjutan ◦ Fragmen II secara implisit menunjukkan bahwa Parikesit dengan sifat adigang, adigunanya tetap hadir, namun dalam situasi tersebut, penyair menciptakan kontras-kontras yang menggambarkan suasana psikologis yang nelangsa. Raja besar dan berwibawa itu merasa dikucilkan, terisolasi dari keluarga dan rakyatnya. Ia menghadapi maut sendiri. Apa yang dirasakan oleh Parikesit merupakan satu bentuk pengembangan transformatif yang dilakukan oleh Goenawan Mohamad dalam puisinya. Secara keseluruhan Parikesit dihadirkan pararel dengan kisah aslinya di pewayangan, sehingga tidak ada perubahan yang esensial dalam teks puisi ”Parikesit. ”

…lanjutan ◦ Pada bagian akhir fragmen II, Goenawan menambahkan bahwa Parikesit sudah merasa impas

…lanjutan ◦ Pada bagian akhir fragmen II, Goenawan menambahkan bahwa Parikesit sudah merasa impas dengan kehidupannya. Maksud pernyataan itu adalah bahwa ia secara implisit sudah siap untuk menerima takdir atas segala hal yang telah dialami melalui perbuatannya dalam kehidupan. Hal tersebut terlihat dalam penutup fragmen II: //Aku telah lama bernafas dari kandungannya. /Telah lama. Parikesit merasa bahwa hidup sudah cukup untuk menerima segala konsekuensi yang ditakdirkan sebagai nasib, melalui frase ”telah lama. ” Pilihan tersebut menjadi satu kerangka dalam menjelaskan suasana psikologis tokoh Parikesit.

…lanjutan ◦ Demikianlah, jika semua persoalan hidup manusia penyelesaiannya dikembalikan dilandaskan atas pertolongan Tuhan,

…lanjutan ◦ Demikianlah, jika semua persoalan hidup manusia penyelesaiannya dikembalikan dilandaskan atas pertolongan Tuhan, maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan sejati, hidup terasa menjadi lebih mudah dan lebih indah /dan segalanya pun terurai, seperti musim bunga/. Persoalan hidup sepelik apa pun, dapat diselesaikan jika Tuhan menjadi causa prima dalam hidup manusia. Dengan mengenal Tuhan manusia akan lebih bijak, selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. ◦ Orang Jawa mempunyai kata-kata bijak yang mirip dengan hukum karma dalam ajaran Hindu, yaitu ngundhuh wohing pakarti, yang berarti semua perbuatan, baik atau buruk, akan berakibat kepada yang bersangkutan. Perbuatan baik akan berakibat baik kepada pelakunya, sebaliknya perbuatan jahat juga akan berakibat buruk terhadap orang yang melakukannya. Ngundhuh wohing pakarti merupakan matriks bagi keseluruhan sajak ini.

SEKIAN, TERIMA KASIH

SEKIAN, TERIMA KASIH

Lampiran ◦ PARIKSIT Pariksit menunggu hari segera lewat Orang-orangpun menunggu batas waktu kutukan Crenggi

Lampiran ◦ PARIKSIT Pariksit menunggu hari segera lewat Orang-orangpun menunggu batas waktu kutukan Crenggi kepadanya berakhir, hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Tatsaka. Saat itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di pucuk menara itu tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit. I Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa dinding menara, penjara dari segala penjara: ia yang lahir dari busur langit dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri. Angin yang purba, yang semakin purba: dingin dan asing. Jauh di bawahku terpacak rakyatku menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara aku tiada berdoa. Mereka yang kini punya angin-angin sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang sendiri. Mereka yang tak tahu kita tak bisa berbagi.

◦ (Tapi siksa ini adalah siksa mereka, yang kuwakili ◦ di atas kelemahan tangan-tanganku)

◦ (Tapi siksa ini adalah siksa mereka, yang kuwakili ◦ di atas kelemahan tangan-tanganku) ◦ Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil dan pesta: ◦ pesta pembebasan, tapi juga serapah malu akan kecut hatiku. ◦ Bau yang sunyi, teramat sunyi ◦ Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya menantang padaku. II ◦ Menara, penjara, dan penyelamat jasadku. ◦ Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit: ◦ keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar. ◦ Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi ◦ tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku. ◦ Kini telah kupilih, sebab keluarga dan rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku. ◦ Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari yang tak memerdekakan hatiku. ◦ Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.

◦ Barisan burung-burung yang kian jauh seakan-akan menyingkirkan ◦ diri dari kotaku yang sepi.

◦ Barisan burung-burung yang kian jauh seakan-akan menyingkirkan ◦ diri dari kotaku yang sepi. Kota yang berbatas gurun, berbatas rimba serta ◦ rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup bila musimpun rekah, ◦ dan yang juga melenguhkan hidup bila tahun mengatupkan pintu-pintunya. ◦ Aku telah lama bernafas dari kandungannya. Telah lama. ◦ Aswatama, mengapa tak kaubunuh dulu bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku? III ◦ Maka segera sajalah senja ini penuh dan titik mentari terakhir jatuh. ◦ Dan kutuk itu datang, membinasakan dan melebur daku jadi abu. ◦ Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku. ◦ Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan yang mengalahkan kecut hatiku.

◦ Karena memang kutakutkan selamat-tinggal yang kekal. ◦ Seperti bila dari tingkap ini kuhembuskan

◦ Karena memang kutakutkan selamat-tinggal yang kekal. ◦ Seperti bila dari tingkap ini kuhembuskan nafasku dan tak kembali ◦ tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon tanpa musim, ◦ tanpa warna, yang menyusup kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang ◦ jauh menyimak matahari, rimba dan hewan-hewan meriah. ◦ Seperti bila langit dan titik-titik bintang yang haluspun raib bersama harummu, perempuan, dalam telanjang dinihari. ◦ Pada akhirnya kita tak senantiasa bersama. Ajal ◦ memisah kita masing-masing tinggal. IV ◦ Wahai, adakah itu dia? (Berderak tingkap tiba-tiba: ◦ tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin ◦ dan angin senantiasa).

◦ Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti ◦ saat itu lalu, akan masih

◦ Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti ◦ saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam ◦ diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi ◦ kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena ◦ aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan. ◦ Dan tak kukenal wajahku kembali. ◦ ◦ Di ruang ini, kunobatkan ketakutanku. Di menara ini ◦ kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut ◦ dari alam dan nasibku sendiri. ◦ Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api! ◦ Dan mati.

◦ V ◦ Demi matiku, kutunjukkan padamu segala yang tak sia-sia ini. ◦ Ketika

◦ V ◦ Demi matiku, kutunjukkan padamu segala yang tak sia-sia ini. ◦ Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah kuingkari. ◦ Dan siksa yang telah diwakilkan padaku, kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai, seperti musim bunga. ◦ Dan di sana kulihat, juga kau lihat: ◦ jentera-jentera yang berbisik ke laut, ◦ berbisik, seperti burung-burung yang mencecah ◦ dan degup demi degup darah. ◦ Lalu terasa: di ruang abadi ini ◦ kita akan selalu pergi ◦ dalam nafas panas ◦ yang santai. ◦ Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang ◦ dan senja, ◦ dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana ◦ seperti bulan tumbuh ◦ dan cemara ◦ menggigil dingin ke udara.