Tugas kelompok Penyusunan dan Pengembangan alat ukur BAB
Tugas kelompok Penyusunan dan Pengembangan alat ukur (BAB 8) Asa lende bani Dorothea Andang K Avi Anggriana 832012013 832012015 832012018
Untuk mengetahui apakah skala mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu proses pengujian validitas atau validasi Substansi yang terpenting dalam validasi skala psikologi adalah membuktikan bahwa struktur seluruh Aspek Keperilakuan, Indikator Keperilakuan, dan Aitem-aitemnya memang membentuk suatu konstrak yang akurat bagi atribut yang diukur.
Sejak awal proses penyusunan skala, relevansi aitem dengan indikator keperilakuan dengan tujuan ukur sebenarnya sudah dapat dievaluasi lewat nalar dan akal sehat (common sense) yang mampu menilai apakah isi skala memang mendukung konstrak teoritik yang diukur, dan karena dinyatakan layak untuk digunakan mengungkap atribut sebagaimana yang dikehendaki oleh perancangnya. Meskipun begitu, pembuktian secara empirik mengenai validitas konstrak skala yang bersangkutan masih harus dilakukan.
Jamie De. Coster (2000) dan Alternatif (2007) mengatakan bahwa validitas konstrak sendiri dapat diartikan sejauhmana definisi operasional (dalam bentuk indikator keperilakuan) memang mencerminkan konstrak yang hendak diukur. Validitas konstrak meliputi beberapa tipe dan prosedur, yaitu Content Validity, Face Validity, Predictive Validity, Concurrent Validity, Convergent Validity, dan Dicriminant Validity (Anzman, 2009).
Validitas Isi relevansi aitem dengan indikator keperilakuan dengan tujuan ukur sebenarnya sudah dapat dievaluasi lewat nalar dan akal sehat (common sense) yang mampu menilai apakah isi skala memang mendukung konstrak teoritik yang diukur. Proses ini disebut dengan validasi logik (logical) sebagai bagian dari validasi isi. Tentu tidak diperlukan kesepakatan penuh (100%) dari semua penilai untuk menyatakan bahwa suatu aitem adalah relevan dengan tujuan ukur skala. Apabila sebagian besar penilai sepakat bahwa suatu aitem adalah relevan, maka aitem tersebut dinyatakan sebagai aitem yang layak mendukung validitas isi skala.
Validitas Isi relevansi aitem dengan indikator keperilakuan dengan tujuan ukur sebenarnya sudah dapat dievaluasi lewat nalar dan akal sehat (common sense) yang mampu menilai apakah isi skala memang mendukung konstrak teoritik yang diukur. Proses ini disebut dengan validasi logik (logical) sebagai bagian dari validasi isi. Tentu tidak diperlukan kesepakatan penuh (100%) dari semua penilai untuk menyatakan bahwa suatu aitem adalah relevan dengan tujuan ukur skala. Apabila sebagian besar penilai sepakat bahwa suatu aitem adalah relevan, maka aitem tersebut dinyatakan sebagai aitem yang layak mendukung validitas isi skala.
Contoh kasus; Pilihan a adalah favorabel, yaitu mengandung isi yang mendukung indikator keperilakuan, sehingga subjek yang memilih a akan mendapat skor 1 sedangkan subjek yang memilih b tidak mendapat skor karena pilihan b tidak mendukung indikator keperilakuan. Dengan melihat keselarasan dan relevansi antara pilihan favorabel yang disediakan dengan indikator keperilakuannya dapat dievaluasi bahwa aitem yang bersangkutan adalah relevan dengan indikatornya. Bila para penilai umumnya berpendapat sama, maka proses validasi aitem tersebut selesai.
Rasio Validitas Isi Lawshe’s CVR Lawshe (1975) merumuskan Content Validity Ratio (CVR) yang dapat digunakan untuk mengukur validitas isi aitem-aitem berdasarkan data empirik. Dalam pendekatannya ini sebuah panel yang terdiri dari para ahli yang disebut Subjek Matter Experts (SME) diminta untuk menyatakan apakah aitem dalam skala sifatnya esensial bagi operasionalisasi konstrak teoritik skala yang bersangkutan. Aitem dinilai esensial bilamana aitem tersebut dapat mempresentasikan dengan baik tujuan pengukuran.
Pada dasarnya, adanya koefisien korelasi yang tinggi di antara distribusi skor dua skala menunjukkan bahwa kedua skala tersebut mengukur satu faktor yang sama. Pada Tabel 8. 1 nampak Skala A dan Skala B mengukur satu faktor yang sama, begitu juga Skala C dan Skala D. Antara faktor yang diukur oleh sakal A dan Skala B dengan faktor yang diukur oleh Skala C dan Skala D tidaklah sama dikarenakan tidak adanya korelasi antara keduanya yang diperhatikan oleh koefisien korelasi sebesar 0, 00 dalam matriks korelasi termaksud.
Dari segi praktis, apabila kita bermaksud mengukur faktor yang diungkap oleh Skala A dan Skala B misalnya, kita tidak perlu menggunakan kedua skala tersebut tetapi cukup memakai salah satunya saja karena keduanya mengukur hal yang sama. Logika semacam itu akan mudah diterapkan bila hanya ada beberapa skala yang dianalisis korelasinya dan koefisien korelasi di antara skala-skala termaksud tampak jelas tinggi-rendahnya sebagaimana dicotohkan dalam Tabel 8. 1, namun bila terdapat banyak skalayang terlibat dalam analisis sedangkan matriks koefisien korelasinyapun tidak sederhana untuk diinterprestasikan, maka perlulah menggunakan prosedur analisis faktor.
Prosedur yang lebih lengkap untuk melakukan validasi faktorial menghendaki disertakannya satu set skala lain yang telah terbukti berfungsi dalam mengukur faktor yang bersangkutan. Skala termaksud disebut sebagai maker test yang seakan-akan menjadi kriteria bagi ada tidaknya validitas skala yang sedang diuji. Skala yang divalidasi akan dikatakan sebagai memiliki validitas faktorial yang baik apabila menunjukkan muatan faktor yang relatif tinggi sebagaimana muatan pada marker test.
Adanya validitas faktorial yang baik juga diperlihatkan oleh rendahnya muatan faktor bagi skala yang divalidasi pada faktor yang tidak diungkap oleh marker test.
Analisis ini merupakan kumpulan prosedur matematik yang kompleks, untuk menganalisis hubungan antara variabel-variabel dan menjelaskan hubungan tersebut dalam bentuk kelompok variabel yang terbatas yang disebut dengan faktor. Prosedur analisis ini memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai komputasi statistika.
• Pada dasarnya adanya koefisien korelasi yang tinggi diantara dua tes atau skala itu menunjukkan bahwa kedua skala tersebut mengukur suatu faktor yang sama. • Tes yang diuji akan dikatakan memiliki validitas faktorial yang baik apabila menunjukkan muatan faktor yang relatif tinggi.
• Pada Tabel 8. 1 nampak Skala A dan Skala B mengukur satu faktor yang sama, begitu juga Skala C dan Skala D. • Antara faktor yang diukur oleh sakal A dan Skala B dengan faktor yang diukur oleh Skala C dan Skala D tidak sama karenakan tidak adanya korelasi antara keduanya yang diperlihatkan oleh koefisien korelasi sebesar 0, 00.
• Dalam prosedur analisis faktor, suatu skala yang skornya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu disebut sebagai skala yang memiliki muatan faktor (factor loading) yang tinggi. • Muatan faktor merupakan indeks yang arti dan besarnya mirip dengan koefisien korelasi.
• Tabel 8. 2 memperlihatkan satu contoh matriks korelasi di antara enam buah skala yang mengukur atribut Kepemimpinan (leadership). • Tiga di antaranya berupa skala yang mengungkap Kreativitas (CREATIVE) sedangkan tiga yang lain berupa skala yang mengungkap Asertivitas (ASSERT).
• Dalam matriks Tabel 8. 2, koefisien korelasi setiap skala dengan dirinya sendiri dicantumkan sebesar 1, 00 sedangkan angka-angka lainya merupakan koefisien korelasi di antara skala yang berbeda. • Tampaklah bahwa matriks yang terjadi tidak lagi sederhana dan karenanya dibutuhkan analisis faktor yang bisa memberikan hasil komputasi muatan faktor dari keenam Skala Kepemimpinan tersebut yang disajikan dalam Tabel 8. 3.
• Dari Tabel 8. 3 bahwa keenam skala tersebut pada dasarnya mengukur dua faktor yang tidak berkorelasi satu sama lain. » Skala CREATIVE kesemuanya memiliki muatan yang relatif tinggi pada faktor 1 dan muatan yang rendah pada faktor 2. Oleh karena itu, faktor 1 dapat dinamakn sebagai Faktor Kreativitas.
• Skala ASSERT-2 dan skala ASSERT-3 memiliki muatan yang relatif tinggi pada faktor 2 dan muatan yang rendah pada faktor 1, sedangkan skala ASSERT-1 tampaknya hanya berisi muatan yang rendah pada kedua faktor tersebut. • Oleh karenanya, faktor 2 dapat disebut sebagai Faktor Asertivitas. • Dengan demikian prosedur analisis faktor telah menganalisis interkorelasi di antara keenam Skala Kepemimpinan dan mereduksinya menjadi hanya dua faktor.
• Prosedur yang lebih lengkap untuk melakukan validasi faktorial membuuhkan satu set skala lain yang telah terbukti berfungsi dalam mengukur faktor yang bersangkutan. Yang disebut sebagai maker test • Skala yang divalidasi akan dikatakan memiliki validitas faktorial yang baik bila menunjukkan muatan faktor yang relatif tinggi sebagaimana yang dimiliki pada marker test.
• Adanya validitas faktorial yang baik juga diperlihatkan oleh rendahnya muatan faktor bagi skala yang divalidasi pada faktor yang tidak diungkap oleh marker test.
Lanjutan… èDasar fikiran dalam validasi ini adalah bahwa adanya validitas yang baik diperhatikan oleh korelasi yang tinggi antara dua pengukuran terhadap trait yang sama oleh dua metode yang berbeda, atau korelasi yang rendah antara dua pengukuran terhadap trait yang berbeda walaupun menggunakan metoda yang serupa è selanjutnya analisis dapat dilanjutkan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel lain atau dengan menyertakan skala-skala lain lagi. Semakin banyak skala dan metoda yang dilibatkan akan semakin jelas apakah skala yang kita perhatikan memang memiliki validitas yang memuaskan atau belum.
Validitas Konkuren üValiditas konkuren (concurrent validity) adalah ukuran dari seberapa baik tes tertentu berkorelasi dengan ukuran sebelumnya yang tervalidasi. Validitas ini umumnya digunakan dalam sosial, psikologi ilmu pengetahuan dan pendidikan. üValiditas konkuren juga merupakan derajat dimana skor dalam suatu tes dihubungkan dengan skor lain yang telah dibuat (Rere, 2012). Misalnya: melihat korelasi antara tes pilihan ganda dengan uraian Untuk memperoleh koefisien validitas pengukuran hanya dapat dilakukan dengan menghitung korelasi antara distribusi skor skala dengan ukuran lain sebagai kriteria (criterion related validity).
Kriteria validasi tidak harus berupa skor yang berasal dari hasil ukur tes atau skala tetapi dapat berasal dari berbagai prosedur lain seperti judgement, rating, catatan dokumentasi, dan lain semacamnya. Dalam hal ini, sifat penting yang harus dimiliki oleh ukuran yang dijadikan kriteria adalah relevan dan reliabel. Relevan artinya angka kriteria merupakan indikasi dari konsep mengenai atribut yang sama dengan yang diukur oleh skala. Reliabel artinya pengukuran kriteria memiliki kecermatan dan konsistensi yang tinggi.
Lanjutan… Jadi Disebut validasi konkuren Bila estimasi terhadap validitas skala dalam menjalankan fungsi ukurnya dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi antara hasil ukur skala tersebut dengan hasil ukur instrument lain yang sudah teruji kualitasnya atau dengan ukuran-ukuran yang dianggap dapat menggambarkan aspek yang diukur tersebut secara reliabel (Azwar, 2012) ukuran-ukuran yang reliabel atau instrumen yang dianggap relevan itu diberlakukan sebagai kriteria validasi CONTOH
Pembahasan Data skor dari tabel diatas, Komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor subjek pada skala yang divalidasi (X) dan skor mereka pada kriterianya (Y) akan menghasilkan koefisien korelasi yang merupakan koefisien validitas skala X, yang dalam contoh ini telah diperoleh rxy = 0, 918. Correlations SKORSKALAX Pearson Correlation SKORKRITERIAY 1 Sig. (2 -tailed) N SKORKRITERIAY Pearson Correlation Sig. (2 -tailed) N **. Correlation is significant at the 0. 01 level (2 -tailed). . 918**. 000 11 11 . 918** 1 . 000 11 11
Prosedur komputasi dapat dilakukam dengan bantuan program SPSS atau program statistika yang lainnya. Permasalahan yang sangat perlu mendapat perhatian adalah cara memilih kriteria validasi yang tepat Kriteria ini tidak selalu harus berupa skor tes atau skor skala tetapi dapat saja berupa ukuran lain yang relevan, namun kesukarannya adalah menemukan kriteria yang cukup reliabel karena bila reliabilitas skor kriteria validasi yg tidak cukup tinggi maka akan menyebabkan hasil yang underestimasi.
Memaknai koefisien validitas • Sebagaimana halnya dalam penafsiran terhadapt koefisien reiabilitas, interpretasi terhadapt koefisien validitas juga bersifat relatif. Tidak ada batasan universal yang menunjuk kepada angka minimal yang harus dipenuhi agar suatu skala psikologi dikatakan dapat menghasilkan skor yang valid. • Harus dipahami, bahwa dalam estimasi, validitas tidak dapat dituntut suatu koefisien yang sangat tinggi sebagaimana halnya dalam penilaian terhadap koefisien reliabilitas. Misalnya saja: koefisien validitas yang tidak begitu tinggi yaitu sekitar angka 0, 50; dapat dianggap lebih memuaskan dari pada koefisien reliabilitas dengan angka yang sama.
Lanjutan… o Cronbach mengatakan bahwa tinggi koefisien validitas yang dianggap memuaskan dan masuk akal adalah “Yang tertinggi yang dapat anda peroleh” (Cronbach, 1970 h. 135). o Dikatakannya bahwa koefisien yang berkisar antara 0, 30 sampai dengan 0, 50 telah dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap efisiensi suatu lembaga pelatihan (Cronbach, 1970 h. 429), namun apabila koefisien validitas itu kurang dari pada 0, 30 biasanya dianggap sebagai tidak memadai.
Lanjutan. . koefisien validitas dianggap memuaskan atau tidak, penilaiannya dikembalikan kepada pihak pemakai skala atau kepada mereka yang berkepentingan dalam penggunaan hasil ukur skala yang bersangkutan. Dalam kegiatan penelitian yang datanya diperoleh dari hasil ukur suatu skala atau suatu tes sangatlah penting untuk menyajikan koefisien reliabilitasnya Hal itu dimaksudkan agar pembaca hasil riset dapat mengevaluasi sejauh mana data hasil riset itu dapat dipercaya.
- Slides: 36