Sejarah Turunnya alQuran Pada masa Nabi Muhammad alQuran
Sejarah Turunnya al-Qur’an • • Pada masa Nabi Muhammad, al-Qur’an dihafal di dalam hati ( )ﺍﻟﺠﻤﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺪﻭﺭ Hal ini dikarenakan sebagian besar shahabat tidak bisa baca tulis, ditambah dengan fakta bahwa bangsa Arab pada masa itu terkenal dengan hafalan mereka yang sangat kuat Rasulullah adalah seorang yang “Ummi”, yang dalam penafsiran ulama diartikan sebagai tidak bisa baca tulis. Walaupun ada juga pendapat dari kalangan orientalis yang mengatakan bahwa Nabi bisa baca tulis. Terlepas dari perbedaan tersebut, yang jelas tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw sepanjang hidupnya meninggalkan warisan berupa tulisan tangan beliau. Upaya pelestarian al-Qur’an dilakukan oleh Rasulullah saw sendiri dengan cara setiap kali beliau mendapatkan wahyu, beliau menyampaikannya kepada para shahabat. Jibril juga selalu melakukan ‘muraja’ah’ atau mengulang-ulang dan mengoreksi hafalan Nabi Muhammad setiap bulan ramadhan. Dan pada bulan ramadhan terakhir sebelum beliau meninggal, Jibril melakukan ‘muraja’ah’ sebanyak dua kali. Para shahabat yang menerima wahyu kemudian menyampaikan kepada shahabat lain secara berantai.
Sejarah Turunnya al-Qur’an • • • Ayat yang pertama kali turun adalah Surat al-Alaq 1 -5 di gua Hira. Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat 3 dari Surat al-Maidah Ada juga yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat 281 dari Surat al-Baqarah Ada yang mengganbungkan dua pendapat tersebut dengan mengatakan bahwan pernyataan resmi telah sempurnanya agama dan berhentinya wahyu adalah pada ayat 3 Surat al-Maidah, akan tetapi setelah itu masih ada ayat yang turun yaitu ayat 281 dari Surat al-Baqarah Jumhur Ulama berpendapat bahwa al-Qur’an diturunan selama kurang lebih 23 tahun, dibagi menjadi 2 periode: – Periode Makkah, yaitu periode sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, selama 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, sejak 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, samapai permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari kelahiran Nabi Muhammad. – Periode Madinah, yaitu periode setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, selama 9 tahun, 9 bulan, 9 hari, dari permulaan Rabi’ul awwal tahun 54 dari kelahiran Nabi Muhammad, sampai 9 Dzulhijjah tahun 63.
Sejarah Turunnya al-Qur’an • Dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah kadang menegur Nabi Muhammad untuk tidak tergesa-gesa dalam menghafal al-Qur’an: (114: ﺍ ﺍآ ﻯ ﻱ ﺍ )ﻃﻪ (19) ( ﺍ ﺍ 18) ( ﺍ ﺍ ﺍ آ 17) ( ﺍ آ 16) )ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ( ﺍ ﺍ • Disamping menhafal, beberapa shahabat yang mempunyai kemampuan baca tulis juga menuliskan al-Qur’an pada pelepah kurma, batu, kulit binatang dll. • Dan yang perlu ditegaskan adalah, bahwa sejak periode Makkah Nabi mempunyai penulis wahyu resmi yang bertugas menulis setiap wahyu yang baru turun. • Oleh karena itu, terdapat beberapa shahabat yang dikenal sebagai ‘ ’ﻛﺘﺒﺔ ﺍﻟﻮﺣﻲ atau penulis wahyu, yaitu: Abu Bakar ash-shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ash, Abu Musa al. Asy’ari, dan Abu Darda’. • Pada awal-awal Islam, Rasulullah saw juga melarang para shahabat menuliskan hadis Nabi karena khawatir tercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bertujuan menjaga keotentikan al-Qur’an
Sejarah Turunnya al-Qur’an ● ● Ketika terjadi perbedaan bacaan diantara para shahabat, mereka segera menkonfirmasikannya kepada Rasulullah, sebagaiman dalam beberapa riwayat: ﻱ ﺍ ﻯ ﺍ ﻳﺍ ﺍ ﻱ ﺍ ﻭ ﺍﻟ ﻯ ﺍﻟ ﻯﺍ ﺍﻟ ﺍﺍ ﺍ ﺍﻟ ﻭ ﺍ ﻳ ﺍ ﻭ ﺍﺍ ﻯ ﺍ ﺍ ﺍ ﻭ ﺍﻟ ﻯ ﺍﻟ ﻳﺍ ( ﺍ ﺍ ﺍ ﻱ ﺍ ﺍآ ﻯ ﺍﻭﺍ ﺍ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﻱ ﺍ ﺍ آ ﺍ ﻯ ﺍ ﺍ ﺍﻟ ﺍ ﺍ ﻳﺍ ﻯ ﻭ ﺍﻟ ﻯ ﺍﻟ ﺍ ﺍ ﺍ آ ﻯ ﺍ ﺍ ﺍ ﻭ ﺍﻟ ﻯ ﺍﻟ ﺍ ﻱ ﻱ ﺍﻟ ﻳ ﺍ : ﺍ ﺍ ﻯ ﻱ ﺍﻟ ﺍ ﺍ ﻯ ﺍ ﺍآ ﻯ ﻱ ﺍﺍ ﺍ ﻯ ﻭ ﺍﻟ ﻯ ﺍﻟ ﺍ ﻱ ﻱ ﻱ ﺍ ﺍ ﻯ ﺍﻟ ﺍ ﺍ ﻱ ﺍ ( ﻳﺍ ﺍﻟ ﺍ ﻱ ﺍﻟ ﺍ ﺍ ﻯ ﺍﻳ ﻯ ﺍﻟ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ Pada masa Nabi, belum ada upaya untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam bentuk mushaf seperti sekarang ini, karena beberapa faktor, diantaranya: karena sampai sebelum Rasul meninggal wahyu masih turun, belum dirasakan kebutuhan untuk hal tersebut karena shahabat hafal al. Qur’an, dan karena keterbatasan sarana.
Sejarah Turunnya al-Qur’an • Beberapa peristiwa yang menunjukkan bagaiaman Nabi dan para sahabat menyebarkan al-Qur’an, sebagaimana disebutkan oleh M. M A’dzami dalam History of Qur’anic Text:
Sejarah Turunnya al-Qur’an
Sejarah Turunnya al-Qur’an
Sejarah Turunnya al-Qur’an
Sejarah Turunnya al-Qur’an
Konsep Asbab an-Nuzul ﺃﺴﺒﺎﺏ ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ
Definisi Asbab an-Nuzul • Asbab merupakan bentuk jamak dari “ ”ﺳﺒﺐ • Secara terminologi, ada beberapa pendapat: • Menurut az-Zarqani: “Keterangan mengenai suatu ayat atau rangkaian ayat yang berisi tentang sebab-sebab turunnya atau menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu kejadiannya. ” • Menurut Prof. Dr. Hasbi Ash-shiddiqi: “Kejadian yang karenanya diturunkan al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbulnya kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalamnya al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan secara langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian lantaran suatu hikmah. ” • Menurut Prof. Dr. Yunahar Ilyas: “Hal yang menjadi sebab turunnya suatu ayat, kelompok ayat atau satu Surat al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. ”
Definisi Asbab an-Nuzul • Jadi, ada unsur-unsur yang penting untuk diketahui perihal Asbab an-Nuzul yaitu: adanya kasus atau peristiwa, termasuk pelaku, tempat, dan waktunya. • Diperlukan analisa terhadap peristiwa tersebut, sehingga nantinya ayat-ayat tersebut bisa diterapkan untuk tempat dan waktu yang berbeda. • Akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua ayat mempunyai asbab an. Nuzul, atau bisa jadi sebenarnya ada asbab an-Nuzulnya, akan tetapi tidak ada shahabat yang menceritakannya kepada generasi selanjutnya.
Metode Mengetahui Asbab an-Nuzul • Tidak ada cara untuk mengetahui Asbab an-Nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih dari Nabi dan para shahabat yang menyaksikan peristiwa yang terjadi atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi. • Al-Wahidi berkata: “Tidak boleh berpendapat mengenai asbab an-Nuzul, melainkan hanya berdasarkan kepada riwayat (mengenai sebab turunnya ayat tertentu) • Dalam hal ini riwayat satu orang shahabat bisa diterima walaupun tidak ada riwayat dari shahabat lain yang menguatkan, karena pernyataan shahabat mengenai asbab an-Nuzul tidak mungkin didasarkan pada ijtihadnya, akan tetapi ia pasti menyaksikan peristiwa tersebut, atau mendengar dari shahabat yang menyaksikannya. • Ulama berpendapat, jika riwayat mengenai asbab an-Nuzul ‘Mursal shahabi’ maka harus dikuatkan oleh minimal riwayat mursal yang lain, jika perawinya merupakan imam-imam tafsir yang meriwayatkan dari shahabat seperti Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair dll.
Redaksi Asbab an-Nuzul • Ada dua bentuk redaksi asbab an-Nuzul: 1. Sharihah ( )ﺻﺮﻳﺤﺔ , yaitu redaksi yang digunakan oleh perawi secara tegas dan jelas menunjukkan asbab an-Nuzul. Dinilai jelas, apabila perawi: a. Menggunakan kalimat: “ ( ”ﺳﺒﺐ ﻧﺰﻭﻝ ﺍﻵﻴﺔ ﻛﺬﺍ sebab turunnya ayat ini adalah begini) b. Menggunakan Fa’ sababiyyah (������� “��� ”), yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan: “maka”. Misalnya, seorang perawi berkata: “telah terjadi peristiwa ini, maka turunlah ayat ini. Atau: “Rasulullah ditanya tentang hal ini, maka turunlah ayat ini. ” c. Tidak menggunakan dua bentuk diatas, akan tetapi perawi menceritakan bahwa Rasulullah saw ditanya tentang sesuatu, kemudian turunlah wahyu, dan bisa dipahami dengan jelas bahwa wahyu tersebut turun untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Redaksi Asbab an-Nuzul 2. Muhtamalah ( )ﻣﺤﺘﻤﻠﺔ , yaitu redaksi yang digunakan oleh perawi tidak secara tegas dan jelas menunjukkan asbab an-Nuzul, hanyan mengandung kemungkinan asbab an-Nuzul. Dinilai tidak jelas, apabila perawi: a. Menggunakan kalimat: “ ( ”ﻧﺰﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻴﺔ ﻓﻲ ﻛﺬﺍ diturunkan ayat ini tentang hal ini). Kata “ ”ﻓﻲ tdiak secara tegas menunjukkan sebab turun ayat, karena bisa bermaksud kandungan dari ayat atau makna ayat. b. Menggunakan kalimat: “ ( ”ﺃﺤﺴﺐ ﺃﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻴﺔ ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ ﻛﺬﺍ saya kira, ayat ini diturunkan tentang hal ini). c. Menggunakan kalimat: “ ”ﻣﺎ ﺃﺤﺴﺐ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻴﺔ ﺇﻻ ﺃﻨﻬﺎ ﻧﺰﻟﺖ ﻓﻲ ﻛﺬﺍ (saya kira, ayat ini tidak diturunkan kecuali tentang hal ini).
Redaksi Asbab an-Nuzul • Berkenaan dengan redaksi yang “Muhtamalah”, menurut az-Zarkasyi, perlu dilihat kebiasaan shahabat yang bersangkutan. Apabila ia biasa menggunakan redaksi tersebut untuk menunjukkan kandungan hukum suatu ayat, dan bukan sebab turunnya, maka harus dipahami demikian, dan sebaliknya.
Urgensi Mempelajari Asbab an-Nuzul • Mengetahui asbab an-Nuzul sangat penting dalam memahami ayat al. Qur’an, terutama yang berisi tentang hukum. Contoh: sebab turunnya al-Baqarah: 115, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih: Jabir berkata: “Kami telah diutus Rasulullah saw dalam satu pasukan kecil. Ketika kami berada di tengah perjalanan, kegelapan mencekam kami, sehingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Sebagian kami berkata: “Kami telah mengetahui arah kiblat yaitu kesana. ” Maka mereka shalat dan membuat garis di tanah. Ketika subuh menjelang dan kemudian matahari terbit, ternyata garis itu mengarah bukan ke arah kiblat. Tatkala kami kembali dari perjalanan itu, kami bertanya kepada Rasulullah saw tentang peristiwa itu, maka Nabi diam. Kemudian turunlah ayat tersebut. ”
Urgensi Mempelajari Asbab an-Nuzul • Mengetahui hikmah dibalik syariat yang diturunkan melalui sebab tertentu. • Mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunnya ayat tertentu • Mengetahui apakah suatu ayat mengandung pesan khusus atau umum • Bertambah keyakinan bahwa Allah selalu menolong Rasulnya dalam menghadapi tantangan dan peristiwa tertentu.
Dua Kaidah yang Bertentangan • Berhubungan dengan asbab an-Nuzul, ada 2 kaidah yang saling bertentangan: ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﺑﺨﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ (yang menjadi patokan adalah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab) ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﺨﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ (yang menjadi patokan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal
Dua Kaidah yang Bertentangan Sebab turunnya ayat umum Redaksi ayat umum Makna dan kandungan hukum ayat bersifat umum
Dua Kaidah yang Bertentangan • Contoh: Surat al-Baqarah: 222, sebab turunnya: “Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa’I, Tirmidzi dan Ibnu Majah, bahwa Anas bin Malik berkata: “Apabila istri orang-orang Yahudi sedang haidh, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum dan tidak boleh bersama-sama didalam rumah. Lalu Rasulullah saw ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan ayat tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: “ Bersama-samalah dengan mereka dirumah, berbuatlah segala sesuatu selain menggaulinya. ” • Sebab turunya ayat tersebut tidak berkenaan orang tertentu, dan redaksi ayat tersebut juga umum, maka hukum yang terkandung di dalamnya juga umum
Dua Kaidah yang Bertentangan Sebab turunnya ayat khusus Redaksi ayat khusus Makna dan kandungan hukum ayat bersifat khusus
Dua Kaidah yang Bertentangan • Contoh: Surat al-Lail : 17 -21, ayat tersebut diturunkan berkenaan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliaulah yang dimaksud dengan “al-atqa” dalam ayat, yaitu orang yang paling taqwa. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, dari Urwah: “Bahwasannya Abu Bakar telah memerdekakan 7 orang budak yang disiksa karena membela agama Allah. Mereka adalah Bilal, Amir bi Fuhairah, Nahdiyah, anak perempunan Ummu Isa dan budak perempuan Bani Mau’il. Untuk itulah turun ayat diatas. ”
Dua Kaidah yang Bertentangan • Namun, apabila redaksi ayat yang turun bersifat umum, padahal sebabnya bersifat khusus, maka disini ulama berbeda pendapat. • Sebagian menggunakan kaidah pertama, dan sebagian menggunakan kaidah kedua. • Tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi patokan adalah redaksi ayat yang umum, sejalan dengan universalitas syariat Islam yang bersifat umum untuk seluruh umat manusia. • Contoh: An-Nur: 6 -9. sebab turunnya ayat yaitu Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina.
Berbilangnya Asbab an-Nuzul • Terkadang, terdapat beberapa riwayat sebab turunnya suatu ayat, padahal ayatnya cuma satu, atau biasa disebut: ﺗﻌﺪﺩ ﺍﻷﺴﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﺎﺯﻝ ﻭﺍﺣﺪ • Terkadang sebaliknya, terdapat beberapa ayat yang diturunkan untuk satu sebab turunya ayat, atau biasa disebut: ﺗﻌﺪﺩ ﺍﻟﻨﺎﺯﻝ ﻭﺍﻟﺴﺒﺐ ﻭﺍﺣﺪ
ﺍﻷﺴﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﺎﺯﻝ ﻭﺍﺣﺪ ﺗﻌﺪﺩ • Apabila riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu, sedangkan yang turun hanya satu (satu ayat, satu kelompok ayat atau satu surat), maka sikaf para mufassir adalah: 1. Apabila semua riwayat tersebut menggunakan redaksi yang “muhtamalah’ , maka semua riwayat tersebut bisa digunakan untuk mentafisrkan, akan tetap tidak bisa diklaim salah satu sebagai yang paling benar. 2. Apabila satu riwayat menggunakan redaksi yang “sharihah” dan yang lain menggunakan redaksi yang “muhtamalah”, maka yang menjadi pegangan adalah redaksi yang sharihah. Contoh riwayat tentang turunnya Surat al-Baqarah: 223.
ﺍﻷﺴﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﺎﺯﻝ ﻭﺍﺣﺪ ﺗﻌﺪﺩ • Ada 2 riwayat mengenai sebab turunnya ayat ini: Pertama: riwayat nafi’ bahwa ia berkata: “Suatu hari saya membaca ayat: “Nisaukum hartsul lakum” Lalu Ibn Umar berkata: “Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan? Aku menjawab: “Tidak” Ibn Umar berkata: “Ayat ini diturunkan mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang. ” • Riwayat kedua: Jabir berkata: “Orang-orang Yahudi berkata: Apabila seorang laki-laki mendatangi isterinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling, maka turunlah ayat tersebut” • Karena redaksi riwayat Ibnu Umar muhtamalah, maka yang digunakan adalah riwayat Jabir. 3. Apabila semua riwayat tersebut menggunakan redaksi yang “sharihah” tetapi dari segi kualitas ada yang shahih dan ada yang dhaif, maka yang digunakan adalah riwayat yang shahih.
ﺍﻷﺴﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﺎﺯﻝ ﻭﺍﺣﺪ ﺗﻌﺪﺩ • Ibnu Hajar mengatakan bahwa riwayat ath-Thabrani lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang tidak diketahui (majhul), maka dalah hal ini riwayat Muslimlahlah yang diambil. 4. Apabila semua riwayat tersebut menggunakan redaksi yang sharihah, dan sama-sama shahih, akan tetapi ada hal yang menguatkan salah satu riwayat, maka riwayat tersebut yang diambil. Yang bisa menguatkan riwayat tersebut adalah apabila ia lebih shahih, atau sahabat yang meriwayatkannya hadir dalam peristiwa turunnya ayat tersebut. Contoh: s ﻭﻫﻮ. ﻛﻨﺖ ﺃﻤﺸﻲ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ : ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻗﺎﻝ : ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ. ﻟﻮ ﺳﺄﻠﺘﻤﻮﻩ : ﻓﻤﺮ ﺑﻨﻔﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻓﻘﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ. ﻳﺘﻮﻛﺄ ﻋﻠﻰ ﻋﺴﻴﺐ ﻓﻘﺎﻡ ﺳﺎﻋﺔ ﻭﺭﻓﻊ ﺭﺃﺴﻪ ﻓﻌﺮﻓﺖ ﺃﻨﻪ ﻳﻮﺣﻰ ﺇﻟﻴﻪ ﺣﺘﻰ ﺻﻌﺪ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﻭﺡ ) ﺍﻟ ﻭ ﻱ ﺍ ﻭﻳ ﺍ ﺍ ﻳﻼ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ : ﺍﻟﻮﺣﻲ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ
ﺍﻷﺴﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﺎﺯﻝ ﻭﺍﺣﺪ ﺗﻌﺪﺩ ( ﺍ ﺍ ﻭ ﻭﺍ ﺍ ﺍ ﺍﻟ ﺍ ﻭ ﺍﻟ ﺍﻯ )ﻭ ﺍﻟ ﻭ ﻱ ﺍ ﻭﻳ ﺍ ﺍ ﻳﺍ • Kedua riwayat tersebut shahih, akan tetapi Ibnu Mas’ud hadir dalam peristiwa tersebut, maka riwayatnya yang menjadi pegangan. 5. Apabila riwayat-riwayat tersebut sama-sama kuat, maka diusahakan untuk mengkompromikannya jika memungkinkan, sehingga dinyatakan ayat itu turun setelah terjadi dua sebab atau lebih karena jarak waktu antara sebab-sebab berdekatan. Contoh adalah sabab an Nuzul surat An Nur ayat 6 -9 tersebut, ada riwayat lain oleh Bukhari dan Muslim, dari Sahal bin Sa’ad, bahwa Uwaimir datang kepada Ashim bin Adi, lalu berkata: “Tanyakan kepada Rasulullah tentang laki-laki yang mendapati istrinya bersama laki-laki lain, apakah ia harus membunuhnya, atau apa yang harus ia lakukan? ” 2 peristiwa tersebut shahih dan waktu terjadinya berdekatan, sehingga tidak ada masalah jika keduanya diterima sebagai asbab an_nuzul
Surat Makkiyah dan Madaniyah • • • Ulama membagi ayat dan surah Makkinyah dan Madaninyyah berdasarkan aspek berikut: – 1. Berdasarkan periode ( )ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﺯﻣﺎﻥ ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ , yaitu yang diturunkan sebelum hijrah disebut Makkiyah dan yang diturunkan setelah hijrah disebut Madaniyyah. – 2. Berdasarkan tempatnya ( )ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻨﺰﻭﻝ , yaitu yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafat, Thaif dll disebut Makkiyan, dan yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya seperti Badr, Khaibar dll disebut Madaniyyah. – 3. Berdasarkan sasaran pembicaraan ( )ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﺍﻟﻤﺨﺎﻃﺐ , yaitu bahwa jika suatu ayat ditujukan untuk penduduk Makkah maka disebut Makkiyah, dan apabila ditujukan kepada penduduk Madinah maka disebut Madaniyyah. Dari ketiga aspek tersebut, kriteria pertama adalah yang paling relevan untuk bisa mencakup semua ayat al-Qur’an. Contoh ayat Makkiyah yang terdapat dalam Surat Madaniyyah: al-Anfal: 30 Contoh ayat Madaniyyah yang terdapat dalam Surat Makkiyah: , al-an’am: 152 -153 Ada juga ayat yang diturunkan di Makkah, akah tetapi dikategorikan sebagai ayat Madaniyyah karena diturunkan setelah fase hijrah Nabi ke Madinah, misalnya: al. Hujurat: 13.
Surat Makkiyah dan Madaniyah ● ● ● Susunan ayat dan surat al-Qur’an adalah tauqifi (berdasarkan petunjuk Nabi), dan bukan berdasarkan urutan diturunkannya ayat. Oleh karena itu, tidak mudah untuk melacak status suatu ayat dari segi Makkiyah dan Madaninyyah-nya. Sebelum penyatuan Mushaf oleh Khalifah Usman bin Affan, terdapat beberapa Shahabat yang menulis al-Qur’an berdasarkan kronologi ayat. Akan tetapi, Khalifah Usman telah memerintahkan semua mushaf untuk dibakar selain Mushaf yang ditulis oleh Tim Penyusun al-Qur’an yang terdiri dari para shahabat yang ahli dalam bidang al-Qur’an Dari sisi ini, terdapat sisi negatif dari pembakaran tersebut, karena menyebabkan generasi setelahnya kesulitan untuk melacak urutan turunnya ayat dan surat. Metodologi mengetahui Makkiyah dan Madaniyyah: – ﺍﻟﻤﻨﻬﺞ ﺍﻟﺴﻤﺎﻋﻲ ﺍﻟﻨﻘﻠﻲ yaitu melalui riwayat sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu. – ﺍﻟﻤﻨﻬﺞ ﺍﻟﻘﻴﺎﺳﻲ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩﻱ yaitu dengan meneliti karakteristik ayat-ayat Makkiyan dan Madaniyyah
Surat Makkiyah dan Madaniyah • Ciri-ciri ayat dan surat Makkiyah dan Madaniyyah: Makkiyah - Ayatnya pendek-pendek - Diawali dengan ya ayyuhan nas - Tema: tauhid/aqidah - Semua ayat sajdah adalah Makkiyah - Semua ayat yang ada kata “ ”ﻛﻼ adalah Makkiyah - Semua surat yang mengandung kisah umat dan terdahulu adalah Makkiyah, kecuali Surat al-Baqarah -Semua surat yang didahului oleh huruf muqaththo’ah adalah Makkiyah, kecuali al-Baqarah dan Ali Imran. - Gaya bahasa keras dalam penyampaian - Susunan ringkas dan argumen yang kuat Madaniyyah - Ayatnya panjang-panjang - Diawali dengan ya ayyuhal ladzina Aamanu - Tema: hukum dan sosial kemasyarakatan - Gaya bahasa yang lembut dan penyampaian yang mudah - Susunan kata panjang dan tidak banyak argumen - Semua ayat yang berkaitan hukum perang dan yang berkaitan dengannya adalah Madaniyyah - Berbicara tentang orang Munafik, kecuali Surat al-Ankabut - Ayat yang berisi perdebatan dengan ahlul kitab adalah Madaniyyah
Implikasi dalam Penafsiran • Pemahaman tentang Makkiyan dan Madaniyyah sangat penting dalam penafsiran al -Qur’an, dan untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh, serta ayat-ayat yang umum dan yang mengkhususkan.
- Slides: 41