PR E S E N T A S

  • Slides: 10
Download presentation
PR E S E N T A S I S E J A R

PR E S E N T A S I S E J A R A H K E R A J A A N SR I W I J A Y A Di susun oleh : �NOVIKA RATNA A. �IQLILA QOLILA �LARRA DEWA RAKA S. �JEVANS CANDRA A.

LETAK KERAJAAN SRIWIJAYA

LETAK KERAJAAN SRIWIJAYA

ASAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN SRIWIJAYA Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya adalah satu kerajaan maritim

ASAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN SRIWIJAYA Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya adalah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 M dan tinggal selama 6 bulan. Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabag dan Khmer menyebutnya Malayu.

PEMBENTUKAN KERAJAAN SRIWIJAYA Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Sekitar tahun

PEMBENTUKAN KERAJAAN SRIWIJAYA Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat.

PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA Prasasti yang berkaitan dengan Sriwijaya -Prasasti Ligor di Thailand - Prasasti

PENINGGALAN-PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA Prasasti yang berkaitan dengan Sriwijaya -Prasasti Ligor di Thailand - Prasasti Kanton di Kanton - Prasasti Siwagraha - Prasasti Nalanda di India - Piagam Leiden di India - Prasasti Tanjor - Prasasti Grahi di Chaiya - Prasasti Padang Roco di Dharmasraya - Prasasti Srilangka Prasasti berbahasa Melayu Kuno - Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang - Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang - Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang - Prasasti Palas Pasemah abad ke-7 Masehi di Lampung Selatan - Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi - Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P. Bangka - Prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah

PRASASTI CILAUTEUREUN

PRASASTI CILAUTEUREUN

MASA KEEMASAN KERAJAAN SRIWIJAYA Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun

MASA KEEMASAN KERAJAAN SRIWIJAYA Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan. Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

MASA KERUNTUHAN KERAJAAN SRIWIJAYA Tahun 1025, Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel, India selatan,

MASA KERUNTUHAN KERAJAAN SRIWIJAYA Tahun 1025, Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel, India selatan, menaklukkan Kedah dan merampasnya dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan berhasil penaklukan Sriwijaya, selama beberapa dekade berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi tersebut, akhirnya mengakibatkan melemahnya hegemoni Sriwijaya, dan kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri, dan kemudian muncul Kerajaan Dharmasraya, sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri.

RAJA BALAPUTERADEWA

RAJA BALAPUTERADEWA

S I L A H R A JA S R I W I JA

S I L A H R A JA S R I W I JA Y A Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya: Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684). 1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724). 2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742). 3. Wishnu (prasasti Ligor, 775). 4. Maharaja (berita Arab, tahun 851). 5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860). 6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960). 7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962). 8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044). 9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044). 10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).