PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH 1 Pendirian
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH
1. Pendirian Dinasti Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol. Bani Umayah berasal dari nama Umayah Ibnu Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayah senantiasa bersaing dengan pamannya yaitu Hasim Ibnu Abdi Manaf. Sesudah datang agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum. Bani Umayah baru masuk Islam setelah tidak menemukan jalan lain, ketika Nabi Muhammad Saw dengan beribu pasukannya menyerbu masuk Mekah.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah, pemerintahan yang dulunya bersifat demokratis akhirnya berubah menjadi monarki heridetis (kerajaan yang turun – temurun) hal ini dimulai ketika Muawiyah mewajibkan suluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya Yazid. Dia tetap menggunakan istilah kholifah namun memberikan interpretasi baru dari kata–kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Yakni dengan menyebut kholifah Allah yaitu penguasa yang dianggap oleh Allah. Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan , diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Dinasti Bani Umayah yang didirikan oleh Muawiyah berumur sekitar 90 tahun. Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis di bidangnya. Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid kufah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat islam khususnya para pengikut setia Ali (syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali Bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk diangkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan di hadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40. 000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengakuan dari Muawiyyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh Muawiyyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan Bai’at terhadap Hasan bin Ali. sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan-pemberontakan yang diladangi oleh Muawiyyah bin abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyyah disebut Aam jama’ah karena kaum muslimin sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyyah ibn Abu Sufyan. Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyyah. Untuk itu maka dikirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyyah dengan syarat antara lain: 1. Muawiyyah menyerahkan harta Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutangnya kepada pihak lain. 2. Muawiyyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya. 3. Muawiyyah menyerahkan pajak bumi dari persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun. 4. Setelah Muawwiyyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifaan) harus di serahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam. 5. Muawiyyah tidak boleh menarik sesuatu pun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang sahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyyah. Sementara Muawiyyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang diajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama. Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyyah mengirimkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tangannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “aku mengakui bahwa karena hubungan darah. Anda lebih berhak menduduki Jabatan khalifah. Dan sekiranya Aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia Kepadamu”. Itulah satu kehebatan Muawiyyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaannya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyyah ini menjadi tonggak formal berdirinya Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyyah ibn Abu Sufyan. Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah(661 -750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah ibukota Negara dipindahkan Muawiyyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai Gubernur sebelumnya.
2. Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup menggunakan cambuk, dan tidak akan menggunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras (Muawiyyah. Ibn Abi Sufyan). Pernyataan diatas cukup mewakili sosok Muawiyyah ibn Abi Sofyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dialah pendiri dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H. Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaanya. Ia mewujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah. Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities.
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis (41 H/661 M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya. Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyyah. Sejak Muawiyyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Selain terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah.
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa: 1. Muawiyyah bin Abi Sufyan (41 -60 H/661 -680 M) 2. Yazid bin Muawiyyah (60 -64 H/680 -683 M) 3. Muawiyyah bin Yazid (64 -64 H/683 -68 M) 4. Marwan bin Hakam (64 -65 H/683 -685 M) 5. Abdul Malik bin Marwan (65 -86 H/685 -705 M) 6. Walid bin Abdul Malik (86 -96 H/705 -715 M) 7. Sulaiman bin Abdul Malik (96 -99 H/715 -717 M) 8. Umar bin Abdul Aziz (99 -101 H/717 -720 M) 9. Yazid bin Abdul Malik(101 -105 H/720 -724 M) 10. Hisyam bin Abdul Malik(105 -1125 H/720 -724 M) 11. Walid bin Yazid (125 -126 H/743 -744 M) 12. Yazid bin Walid (126 -127 H/744 -745 M) 13. Ibrahim bin Walid (127 -127 H/745 -745 M) 14. Marwan bin Muhammad (127 -132 H/745 -750 M) 11[11]
3. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Utsman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyyah, Tunisia dapat di taklukkan. Disebelah Timur, Muawiyyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibukota Bizantium, konstantinopel. Ekspansi ke Timur yang dilakukan Muawiyyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan. Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu, tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-jajair dan Marokko dapat ditaklukkan, tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam menyeberangi selat yang memisahkan antara marokko dengan benua eropa, dan mendapat suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (jabal Tariq). Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
4. Perkembangan Islam Masa Bani Umayyah Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah, Muawiyyah selalu menggerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus merebut kota konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabkan Muawiyyah terus berusaha merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga, Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah. Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang berada di benua Asia dan Eropa.
Pada masa Bani Umayah beberapa kemajuan di bebagai sektor berhasil dicapai. Antara lain dibidang arsitektur, perdagangan, organisasi militer dan seni a. Arsitektur Pada masa Bani Umayyah bidang Arsitektur maju pesat. Terlihat dari bangunan-bangunan artistik serta masjid-masjid yang meemenuhi kota. Kota lama pun di bangun menjadi kota modern. b. Organisai Militer Di zaman ini militer di kelompokkan menjadi 3 angkatan. Yaitu angkatan darat (al-jund), angkatan laut (al-bahiriah) dan angkatan kepolisian c. Perdagangan Setelah Bani Umayyah berhasil menaklukkan berbagai wilayah, jalur perdagangan jadi semakin lancar. Ibukota Basrah di teluk Persi pun menjadi pelabuhan dagang yang ramai dan makmur, begitu pula kota Aden. d. Kerajinan Ketika khalifah Abdul Malik menjabat, mulailah dirintis pembuatan tiras (semacam bordiran), yakni cap reesmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan.
- Slides: 14