Pasal 15 Bagian Kesembilan Perjanjian Tertutup Pasal 15
Pasal 15 Bagian Kesembilan Perjanjian Tertutup
Pasal 15 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
• Perjanjian tertutup atau exclusive dealing adalah suatu perjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.
Ekslusif dealing atau perjanjian tertutup ini terdiri dari: a. Exclusive Distribution Agreement b. Tying Agreement c. Vertical Agreement on Discount
• Exclusive distribution agreements yang dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.
• Permasalahan dalam exclusive dealing adalah kemungkinan matinya suatu pelaku usaha karena tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai distributor yang akan menjual produknya. Selain dari pada itu ekslusif dealing juga dapat menyebabkan meningkatnya halangan untuk masuk ke pasar
• Disamping itu terdapat pula beberapa akibat positif dari exclusive dealing. Baik bagi distributor maupun bagi produsen exclusive dealing cukup menarik, karena akan membuat kepastian akan distribusi dan adanya jaminan atas bahan baku. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pengurangan ongkos, sehingga terjadi efisiensi. Kemudian, exclusive dealing juga dapat mencegah “free riding”, misalnya perusahaan induk melakukan iklan secara besar-besaran, apabila tidak ada perjanjian ekslusif, maka ketika konsumen datang ke distributor karena tertarik dengan iklan, akan tetapi sesampainya di distributor konsumen melihat dan membeli barang lain, maka iklan yang dilakukan tidak ada pengaruhnya.
• Biasanya exclusive distribution agreement dibuat oleh pelaku usaha manufaktur yang memiliki beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap harga produk yang mereka pasok ke dalam pasar, dan agar harga produk mereka tetap stabil, maka pihak manufaktur membuat perjanjian dengan distributor -distributornya untuk membagi konsumendan wilayah pasokan agar tidak terjadi bentrokan di sesama distributor atau tidak terjadi persaingan intrabrand.
• Dengan berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat distributor membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi lebih mahal, sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih dari biasanya untuk mendapatkan produk yang didistribusikan oleh distributor tersebut. • Karena dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja dapat juga mengakibatkan pihak distributor menyalahgunakan kedudukan eksklusif yang dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi terhadap produk yang didistribusikannya kepada konsumen pihak dan wilayah tertentu yang menjadi bagiannya tersebut.
• Pasal 15 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se illegal, sehingga ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut sudah langsung dapat dikenakan pasal ini. • Karena perjanjian tertutup ini selain mempunyai dampak negatif juga mempunyai dampak yang positip bagi persaingan maka sebaiknya dalam menangani kasus perjanjian tertutup dipakai prinsip rule of reason.
• Salah satu Putusan KPPU mengenai masalah ini adalah Putusan No. 11/ KPPU-I/2005 mengenai Distribusi Semen Gresik. Para Terlapor dalam Kasus ini terbukti melanggar Pasal 8, Pasal 11 dan Pasal 15 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999.
• Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pasal 15 ayat 1. Pada kasus ini Terlapor I, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X membentuk Konsorsium Distributor • Semen Gresik Area 4. Konsorsium ini diduga melakukan pelanggaran atas UU No. 5 • tahun 1999 dalam bentuk mewajibkan para Langganan Tetap (LT) di Area 4 untuk • menjual Semen Gresik. Pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (1) Undang-undang • Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk himbauan • kepada LT untuk bersedia hanya menjual Semen Gresik saja.
• Bahwa adanya aturan yang diterapkan oleh Konsorsium tentang larangan bagi LT menjual merek semen selain Semen Gresik, menyebabkan salah satu LT di Area 4 mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai LT kepada Terlapor XI karena menjual semen merek lain selain Semen Gresik dan dianggap oleh oknum Terlapor XI kurang menguntungkan bagi Terlapor XI. Bahwa sebelum ada Konsorsium, LT dapat membeli Semen Gresik kepada Distributor yang mana saja dan dapat melakukan negosiasi harga, namun setelah ada Konsorsium, LT hanya bisa membeli kepada Distributor tertentu dengan harga yang telah ditetapkan.
• Terlapor mendalilkan bahwa maksud pembentukan Konsorsium adalah untuk menghadapi para LT dan toko yang sering “mengadu domba” Terlapor I, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X yang mengakibatkan terjadinya perang harga antar Distributor. Bahwa tujuan pembentukan Konsorsium adalah untuk menghilangkan perang harga di antara para Anggota Konsorsium. • Namun KPPU menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, dan Terlapor XI terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999;
b. Tying Agreement • Tying agreement terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda dengan mensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli atau menyewa barang lainnya.
• Melalui praktek tying agreement, pelaku usaha dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying product (barang atau jasa yang pertama kali dijual) ke tied product (barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh konsumen). Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying product dan tied product), pelaku usaha dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam pasar. Perusahaan kompetitor agar dapat bersaing, maka mau tidak mau harus melakukan hal yang sama yaitu melakukan praktek tying agreement juga.
• Bagi konsumen yang tidak paham mengenai praktek tying agreement, mungkin ketika dia membeli suatu produk dan kemudian mendapatkan tambahan produk lain, dianggap sebagai suatu hadiah. Padahal sesungguhnya harga yang dia bayarkan merupakan harga dari kedua produk yang dia terima tersebut. Praktek tying agreement juga dapat membuat konsumen kesulitan dalam menentukan harga sebenarnya dari produk yang dia beli, dimana sebelumnya dia hanya ingin membeli satu produk, tetapi karena dipaksa harus membeli produk yang lain sehingga membuat konsumen menjadi bingung berapa harga dari masing-masing produk.
• Terdapat beberapa tujuan dari tying agreement. Pertama untuk mempersulit masuk kepasar. Kedua, untuk meningkatkan penghasilan dengan menggunakan kekuatan monopoli pada salah satu barang atau jasa. Terakhir adalah untuk menjaga kualitas barang.
c. Vertical Agreement on Discount • Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelakuusaha yang menerima barang dan/atau jasa dari usaha pemasok: a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok atau; b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
• Dengan kata lain, apabila pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing.
• Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenai adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon, yang kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying agreement, yaitu menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang ingin mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut.
• Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se illegal, sehingga ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No. 5/1999, tanpa harus menunggu sampai munculnya akibat dari perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhkan sanksi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum.
• Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU sehubungan dengan ini adalah Kasus ABC, Putusan Perkara Nomor: 06/KPPUL/2004 Menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Adapun duduk perkara secara singkat
• adalah sebagai berikut. Pada pertengahan bulan Februari 2004, PT Panasonic Gobel Indonesia (PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang mendisplay baterai single pack (baterai manganese tipe AA) dengan menggunakan standing display akan diberikan 1 (satu) buah senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter yang sama, sedangkan untuk material promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT PGI.
• Kemudian pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlapor sedang melaksanakan Program Geser Kompetitor (PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi sebagai berikut: 1. Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal 0, 5 x 1 meter; b. Toko bersedia memajang baterai ABC; c. Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC;
2. Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan sebagai berikut; a. Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan Maret sudah tidak jual lagi; b. Toko hanya menjual baterai ABC; 3. Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai Panasonic; a. Bahwa patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh Terlapor; b. Bahwa Terlapor diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjian dengan toko untuk tidak menjual baterai Panasonic;
Berdasarkan analisis fakta-fakta di atas, Majelis Komisi berpendapat bahwa Terlapor telah membuat Perjanjian PGK yang ditanda tangani oleh toko grosir atau semi grosir peserta PGK berdasarkan hal tersebut di atas, unsur “membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa” dalam pasal 15 ayat 3 telah terpenuhi. Majelis Komisi selanjutnya berpendapat bahwa kegiatan promosi berupa PGK yang memuat ketentuan atau persyaratan yang melarang toko grosir atau semi grosir untuk menjual baterai Panasonic merupakan upaya untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya mempersulit pelaku usaha pesaingnya, dalam perkara ini PT PGI, untuk melakukan kegiatan usaha yang sama dalam pasar yang bersangkutan. Sehingga unsur “menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan” pada pasal ini telah terpenuhi.
• sekian
- Slides: 28