Partisipasi Terlibat n n n n Seperti namanya
Partisipasi Terlibat n n n n Seperti namanya, partisipasi terlibat ini merupakan adanya keinginan peneliti untuk terlibat langsung dalam dunia sosial yang dipilih sebagai obyek penelitian. Dengan melibatkan diri secara langsung ini peneliti dapat mendengar, melihat dan terlibat dalam dunia pengalaman yang ada. Sementara Johngensen (1989) seperti dikutip Deddy (2001) mengemukan bahwa metode pengamatan terlibat dapat didefinsikan berdasarkan tujuh ciri beikut: Minat khusus pada makna dan intereksi manusia berdasarkan perspektif orang-orang dalam atau anggota-anggota situasi atau keadaan tertentu. Fondasi penelitian dan metodenya adalah kedisinian dan kekinian kehidupan sehari. Bentuk teori dan penteorian yang menekankan interpretasi dan memahakan eksistensi manusia. Logika proses penelitian yang terbuka, luwes, oportunistik, dan menuntut redefinisi apa yang problematik, berdasarkan fakta yang diperoleh dalam situasi nyata eksistensi manusia. Pendekatan dan rancangan yang mendalam, kualitatif, dan studi kasus. Penerapan peran partisipasi yang menuntut hubungan langsung dengan pribumi di lapangan. Penggunaan pengamatan langsung bersama metode lainnya dalam mengumpulkan informasi.
n Sementara Becker at al. (1968) mengatakan bahwa pengamatan terlibat merupakan pengamatan yang dilakukan sambil berperan serta dalam kehidupan terhadap orang yang diteliti. Jadi, pengamatan terlibat adalah mengikuti orang-orang yang diteliti dalam kehidupan sehari -hari, melihat apa yang mereka lakukan, kapan dengan siapa, dan dalam keadaan apa, dan menanyai tentang tindakan mereka. Sedangkan bagi Denzin (1978), pengamatan terlibat dianggap sebagai strategi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara dengan responden atau informan partisipasi dan observasi langsung[1] dalam penelitian kebudayaan yang ingin mengungkap dunia makna, sangatlah tidak mudah.
n n Dalam penelitian kualitatif, pada mulanya berangkat dari temuan fakta sosial kemudian ditransformasikan menjadi tema, pola-pola, konsep-konsep, definisi-definisi atau model-model. Dalam proses itu kemudiaan dipoles dengan konsep-konsep atau teori yang telah dibaca. Mengingat bahwa metode pengamatan terlibat sangat amat tergantung kepada peneliti sebagai instrumennya, maka dalam pelaksanaannya menuntut peneliti untuk sensitif terhadap masalah yang diteliti, memiliki kemamupaun untuk membaca masalah penelitian yang dicari, memiliki kemampuan unuk mengimajinasikan masalah-masalah penelitian untuk dirumuskan dalam hasil penelitian, dan memiliki keahlian untuk merumuskan masalah yang ditemukan di lapangan
n Satu hal yang harus disadari peneliti dalam metode ini agak sulit untuk memposisikan dirinya sebagai pengamat atau sebagai partisipan yang terlibat. Karena itu kategori Denzin, menarik untuk diperhatikan. Pertama, jenis peserta sebagai pengamat (participant as observer), dengan membiarkan kehadirannya sebagai peneliti dan mencoba membentuk serangkaian hubungan dengan subyek, sehingga berfungsi sebagai informan; kedua, jenis partisipan penuh (complete participant): disini peneliti sampai tidak diketahui ketika ia sedang mengamati apa yang sedang diteliti (contoh: Jakarta undercover, pen): Ketiga, pengamat sebagai partisipan (observer as participant) yang lazimnya merepresentasikan situasi yang memungkinkan peneliti melakukan sekali kunjungan atau wawancara dengan informan.
Wawancara mendalam (depth interview). n Metode ini telah menjadi instrumen pengumpulan data bagi hampir digunakan seluruh perspektif dalam naungan penelitian kualitatif. Seperti diketahui paling tidak ada empat jenis interview yang lazim digunakan dalam penelitian: yaitu wawancara berstruktur (structured interview) melalui questioner: dimana responden hanya sedit memiliki ruang untuk mengekspresikan pendapatnya atas keinginan mereka: wawancara semiterstruktur (semi-structured interview) pewancara lebih memiliki kebebasan untuk memperoleh jawaban yang standar, termasuk mengklarifikasi dan mengelaborasi atas jawaban yang diberikan. Adapun wawancara tak berstrukur (Unstructured or focused interview) sifatnya lebih terbuka (open –ended character) sedangkan wawancara kelompok (group interview) merupakan alat investigasi yang berharga dengan focus disekiktar masalah yang ingin diketahui kadang-kadang wawancara tak berstuktur itu disebut perkapan “informal” atau ( ”a conversation with a purpose”) atau juga disebut sebagai the informal conversational interview, the general interview guide approach, and the standardized open-ended interview.
n Sebagai konsekuensi dari tidak ketatnya struktur pertanyaan yang ada, tidak jarang proses tanya-jawab ini menjadi tidak terfokus (kesana-kemari), sehingga banyak data yang mubazir. Apalagi jika informan lebih suka menceritakan dirinya sendiri daripada menjawab pertanyaan yang diajukan. Oleh karena itu satu hal yang perlu diingat untuk menghindari wawancara yang tidak terfokus, peneliti harus berusaha mengarahkan wawancara itu agar sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Bagi pewancara sebaiknya tetap membawa dan memegang pedoman wawancara, yakni susunan pertanyaan yang harus diajukan, meskipun fungsinya sekedar untuk pengingat, dan bukan untuk dilihat secara terusmenerus. Pedoman wawancara ini hanyalah panduan umum, yang hanya memuat point-point yang akan ditanyakan pewancara.
n Keberhasilan wawancara sangat amat tergantung pada kemahiran peneliti untuk mengarahkan pertanyaan yang diajukan seefisien mungkin, terfokus dan yang tak kalah penting bentuk pertanyaan tidak monoton. Seni bertanya yang didasarkan pengetahuan yang luas atas masalah yang akan ditanyakan sangat penting untuk memperoleh kualitas data yang baik. Sebaliknya jika pengetahuan peneliti atas masalah yang akan ditanyakan sangat minim, sudah hampir dipastikan kualitas data yang diperoleh juga rendah. Padahal kekuatan metode seperti ini peneliti memiliki kesempatan secara terbuka untuk melakukan improvisasi dalam upaya memperoleh jawaban yang diinginkan.
n n Sebaliknya jika pengetahuan peneliti atas masalah yang akan ditanyakan sangat minim, sudah hampir dipastikan kualitas data yang diperoleh juga rendah. Padahal kekuatan metode seperti ini peneliti memiliki kesempatan secara terbuka untuk melakukan improvisasi dalam upaya memperoleh jawaban yang diinginkan. Selanjutnya setelah seluruh pertanyaan sampai mencapai titik jenuh (tidak ada yang perlu ditanyakan lagi) hasil wawancara dipilah-pilah berdasarkan kategori yang relevan dengan model, hipotesis, atau kerangka teori yang sedang diajukan. Analisa data dapat dilakukan tanpa harus menunggu terkumpulnya seluruh data terkumpul seluruhnya.
Life histories n Bagi peneliti kualitatif, sejarah hidup merupakan sarana penelitian yang penting dan absah dengan standar interpretative dan metodologis yang semakin memadai… semakin banyak actor yang menceritakan pengalaman hidup mereka, semakin leluasalah peneliti pembangun model atau konsep-konsep mengenai rumitnya perilaku manusia, lembaga social, dan sebagainya.
n n Seperti diungkap oleh Shaw bahwa: “data sejarah hidup mempunya nilai teoritis juga terapeutik. Data ini tidak hanya berguna untuk melakukan eksplorasi pendahuluan dan orientasi yang berhubungan dengan problem-problem khusus dalam bidang penelitian kriminologis, tetapi juga merupakan basis bagi perumusan hipotesis yang menyarankan faktor-faktor penyebab yang terlibat dalam perkembangan pola-pola perilaku nakal. Validitas hipotesis-hipotesis ini pada gilirannya dapat diuji dengan studi komparatif atas sejarah kasus yang lebih terperinci dan metode formal analisis statistik”
n Sementara itu Jones (1993) menawarkan lima kriteria dalam life histories: Pertama, seseorang harus dipandang bagian dari kebudayaan; sejarah kehidupan menjelaskan dan menafsirkan nilai pelaku dalam perkembangannya di masyarakat. Kedua, metode ini harus menangkap peran penting yang dimainkan orang lain didalam ”pengiriman secara sosial menetapkan persediaan pengetahuan”. Ketiga, anggapan pasti (taken for granted) tentang kebudayaan dunia tertentu dalam studi harus dijelaskan dianalisa. Anggapan -anggapan itu muncul dalam peraturan dan kode pada kelakukan seperti dalam mitos dan ritual. Keempat, sejarah kehidupan harus tertuju pada pengalaman masing-masing individu selama hal itu untuk menangkap ”proses perkembangan manusia: . Kelima, kebudayaan dunia dalam pembelajaran harus dihubungkan dengan perkembangan hidup individu secara terus-menerus.
n Sementara menurut Plummer, penelitian secara hidup paling tidak memiliki empat kreteria. Pertama, metode itu harus menghargai subyektifitas dan kreativitas aktor—menunjukkan bagaimana aktor menrespon kendala sosial dan secara kreatif menghadapi dunia sosial; kedua, tindakan—melalui organisasi sosial dan terutama organisasi ekonomi; ketiga, harus menunjukkan familiaritas yang intim dengan pengalaman-pengalaman ayng ada; dan keempat, harus ada kesadaran pihak peneliti mengenai peran dasar yang bersifat moral dan politik dalam bergerak menuju struktur sosial yang memungkinkan pengurangan eksploitasi, penindasan, ketidakadilan dan memungkinkan lebih banyak kreativitas, keragamaan dan kesederajatan. Singkatnya, sebagaimana dikatakan Mc. Call dan Wittners metode sejarah hidup menjadi alat penting untuk merekontruksi pengetahuan bukan saja tentang kaum tersubordinasi, tetapi juga tentang masyarakat yang melindungi mereka.
n Dengan metode life history sebagian dari kita pada dasarnya menjadi peneliti sejarah, yakni sejarah kehidupan social. Penafsiran orang atas pengalamannya haruslah obyektif, yakni penafsiran actor sendiri, bukan penafsiran peneliti. Disinilah sebenarnya makna obyektif dalam penelitian kualitatif. Maka jelas bahwa pengukuran makna “obyektif” dalam penelitian kualitatif berbeda dengan makna “obyektif” dalam penelitian kuantitatif yang menekankan keseragamaan cara pandang peneliti terhadap fenomena yang mereka teliti. Bahan lain untuk melengkapi wawancara sejarah hidup adalah wawancara dengan orang lain yang punya hubungan dekat dengan subyek penelitian (significant others).
Focus Group Discussion n n Teknik ini salah satu alternatif metode penggumpulan data primer yang sering digunakan khususnya untuk menelitian ekploratoris. Peneliti memilih informan terpilih, misalnya 8 sampai 12 orang, kemudian mengarahkan diskusi atas topik yang telah dipilih, guna memperoleh tanggapan, pemahaman dan pendapat informan. Dengan demikian paling tidak ada dua tujuan dalam FGD ini. Pertama, untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ingin diketahui peneliti (berstruktur) biasanya sifat pertanyaannya lebih spesifik. Kedua, ingin memperoleh tanggapan dalam upaya memahami cara berfikir peserta (tak berstrukur) biasanya sifat pertanyaannya bersifat umum.
Manfaat FGD untuk Penelitian Ilmuilmu Sosial n n Untuk mengeksplorasi topik penelitian baru yang belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga dapat menghasilkan seperangkat konsep dan pertanyaan penelitian. Sifat interaksi di dalam FGD yang dinamis dan multi-arah dapat memberikan stimulasi pada ingatan pada peserta akan peristiwa dan fakta yang spesifik yang berkaitan dengan topik penelitian yang akan diteliti FGD dapat memberikan sarana diskusi yang lebih dinamis dan tidak membuat para peserta cepat jenuh dan lelah. FGD dapat memberikan kesempatan bagi para peserta untuk memberikan tanggapan yang saling memperjelas pendapat mereka sehingga dapat menghasilkan data penelitian yang lebih kaya bagi pihak peneliti (Francisia, 2005: 8).
- Slides: 17