MEREPOSISI PERAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI
MEREPOSISI PERAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA: SUATU KETERLEMPARAN (GOWERFEN-SEIN) DALAM MITOS MODERNITAS Rocky Marbun Fakultas Hukum Universitas Pancasila rocky_marbun@univpancasila. ac. id
MITOS MODERNITAS Hal-hal yang diandaikan begitu saja sebagai suatu kebenaran, kebenaran tersebut dikonstruksikan melalui hegemoni—melalui jalur teoretis dan ilmiah, dan dominasi—melalui jalur kekuasaan dan hukum, sehingga hal tersebut menjadi sesuatu yang bersifat common sense dan ideologis yang tumbuh dan berkembang tanpa kritik. Mitos tersebut dipertahankan untuk menjaga status quo, sehingga, mitos itu bersifat ahistoris dan universal. Pencetus ide ini dari Mahzab Frankfurt yang mendirikan Teori Kritis, dengan tokoh-tokohnya antara lain Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Antonio Gramsci, Michel Foulcault, dan Jürgen Habermas. Menurut mereka, teori yang dibangun pada era modern dipandang seolah-olah mencerahkan, namun sesungguhnya melakukan penindasan kepada masyarakat.
MITOS DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA FIKSI HUKUM SISTEM PERADILAN PIDANA Masy wajib mengetahui undang -undang agar berperilaku yang ajeg Masy tidak egaliter thd APH Hak korban bukan kewajiban bagi institusi APH utk mengakomodir, tidak berlaku fiksi hukum bagi APH Terjadi Objektivikasi dan Reifikasi thd Masy Sbg Korban Intervensi Masy hanya dipandang sbg unsur yang mengacaukan sistem
Hak Korban Dalam Politik Perundang-Undangan 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia [UU No. 26/2000] 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang [UU No. 21/2007] 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak [UU No. 11/2012] 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban [UU No. 31/2014] 5. Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [UU No. 35/2014] 6. Peraturan Pemerintah Nomor 02 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi [PP No. 02/2002] 7. Peraturan Pemerintah Nomor 03 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat [PP No. 03/2002] 8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Saksi dan Korban [PP No. 44/2008]. 9. Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana [SE Kapolri No. 08/2018]
Hak Korban Dalam Politik Penegakan Hukum Peninjauan Kembali Putusan MK No. . 33/PUU-XIV/2016 Tingkat Kasasi Tingkat Banding Tingkat Pertama Permohonan Restitusi
Simpulan Munculnya LPSK dan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 hanyalah merupakan logika petitio principii, untuk menjaga ke-ajeg-an sistem yang sudah ada. Maka sebenarnya, APH masih menganut paradigma PENGUASA, PENGUASA sedangkan dalan konteks welfare state, paradigma yang digunakan seharusnya sebagai PENGAYOM
- Slides: 6