KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN KAITANNYA DENGAN KORUPSI DI DPRD
KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN KAITANNYA DENGAN KORUPSI DI DPRD SUMATRA UTARA DALAM PERSPEKTIF GOOD GOVERNANCE Fajri Miftahuddin (41715728)
PENDAHULUAN ◦ Latar Belakang Masalah Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa bernegara. Dalam rangka itu diperlukan pengembangan dan penerapan system pertanggung jawaban yang tepat, jelas dan legitimasi sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Berhubungan dengan penerapan good governance, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dengan kerangka Konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi.
Lanjut ◦ Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara, ◦ Nilai dasar dari desentralisasi diwujudkan dengan dalamnya yang bersifat negara, pembentukan daerah otonomi dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui sebagai domain rumah tangga daerah tersebut. Desentralisasi mempunyai berbagai macam tujuan, yaitu peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.
Lanjut Dalam rangka menciptakan kesejahteraan rakyat, Pemerintah Daerah mengelola keuangan dan keakayaan daerah, diantaranya dengan melakukan upaya-upaya yang berhubungan dengan penerimaan daerah, yang kemudian berfungsi sebagai budgeting untuk pembangunan, bantuan masyarakat dan kegiatan usaha daerah serta investasi daerah. Terjadinya korupsi didaerah menghambat atau dapat menggagalkan tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat. Pada akhir bulan januari 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 14 anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara (Sumut) periode 2009 -2014 dan 2014 -2019 sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pelaksanaan fungsi dan kewenangan anggota DPRD, yang merupakan hasil pengembangan perkara yang dilakukan penyidik. yang sebelumnya di tahun 2015, KPK telah memproses 50 unsur pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Sumut periode 2004 -2009 dan 2014 -2019.
METODE Metode penulisan yang digunakan dalam artikel ilmiah ini menggunakan pendekatan penulisan deskriptif. Teknik Pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah studi dokumen kepustakaan yang ditelaah dari buku-buku, literatur-literatur, jurnal, dan perundang-undangan dan media massa yang aktual dan bisa dipercaya.
PEMBAHASAN Otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif. Dengan munculnya "kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan. Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Timbulnya korupsi dikarenakan adanya monopoli, kekuasaan, dan diskresi yang begitu besar dan Rendahnya integritas para calon legislatif membuat kasus suap menyuap mudah untuk di organisir oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan.
Lanjut Kasus korupsi penerima suap 64 anggota DPRD Sumatra Utra dari Gurbenur Sumatra Utara terkait dengan 1. Persetujuan laporan pertanggung jawaban Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut tahun anggaran 2012 -2014; 2. Persetujuan perubahan APBD Sumut tahun anggaran 2013 -2014; 3. Pengesahan APBD Sumut tahun anggaran 2014 -2015; dan 4. Penolakan penggunaan hak interpelasi pada 2015. Hal ini dapat diartikan sebagai kurangnya moral penyelenggaraan negara yang baik dan bersih di Sumatra Utara hingga melakukan kegiatan yang merugikan masyarakatnya sendiri. Dengan kejadian tersebut DPRD Sumatra Utara belum menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan dengan sepenuh hati sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 UU No 28 Tahun 1999, tidak tercapainya asas-asas penyelenggaraan negara yang baik bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
DISKUSI ONLINE
Kesimpulan & Saran ◦ Kesimpulan ◦ Saran Tidak adanya transparansi atau keterbukaan kepada masyarakat atau publik terhadap perubahan ABPD menimbulkan minimnya akses bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana perjalanan roda pemerintahan Sumatra Utara, selain itu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, azas penyelenggaraan negara menurut Pasal tersebut belum memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah perlu diperketat dan ditingkatkan dan Keterbukaan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dharapkan bisa di realisasi dan disosialisasikan dengan transparan dan akses yang mudah
- Slides: 9