Kearifan dalam Kebijakan Publik Oleh Dr Abdul Kadir
Kearifan dalam Kebijakan Publik Oleh : Dr. Abdul Kadir, M. Si.
Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir menampakkan tiga kecenderungan utama. 1. Meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat. 2. Meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintahan. 3. Meningkatnya kekuatan politis bagi para eksekutif dalam jajaran pemerintahan.
Meningkatnya kekuatan politis para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Di sebagian besar negara industri terlihat pula bahwa para eksekutif pemerintah senantiasa menjadi sorotan publik berkenaan dengan kebijakan-kebijakan penting yang diambilnya.
Bahwa sekarang ini kita tengah menyaksikan zaman eksekutif dalam pemerintahan (executive era of goverment). Maka akan sangat relevan jika dibahas landasan-landasan etis bagi para pengambil keputusan publik tersebut.
Apabila orang mempertanyakan landasan etis bagi kebijakan-kebijakan yang diambil seorang pejabat pemerintah, yang pertama-tama dibicarakan adalah legitimasi kekuatan pemaksa (coercive power) untuk mengatur sebagian dari hak-hak warga negara.
Keharusan bagi setiap warga negara untuk memiliki akta kelahiran, untuk memiliki kartu tanda penduduk, memiliki sertifikat bagi tanah yang didiaminya, membayar pajak sesuai peraturan yang ditetapkan, kewajiban belajar bagi setiap anak usia sekolah, izin usaha dagang bagi para pedagang atau pengusaha, dan sebagainya.
Sifat arif (wise) dalam pemerintah karena kedudukannya yang akan menentukan keputusan yang membatasi orang lain. Permasalahan yang dihadapi para pejabat memang seringkali begitu rumit, karena mereka tidak hanya diwajibkan untuk mengatasi segi-segi teknis, tetapi juga segi-segi manajerial yang menyangkut hubungan antarmanusia.
Setiap keputusan yang dibuat harus sesuai dengan tuntutan rasa keadilan, tidak menjatuhkan harga diri orang lain, dan membawa perkembangan ke arah yang baik bagi organisasi pemerintah sendiri. Keputusan seperti itu jelas hanya akan dapat dibuat oleh pribadi-pribadi yang memiliki kearifan.
Makin tinggi kedudukan seorang pejabat, makin dituntut syarat kearifan itu karena ia akan banyak terlibat dalam bidang manajerial ketimbang bidang teknis. Logikanya ialah bahwa semakin tinggi jabatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pejabat tersebut, sehingga semakin besar resiko ketidakpuasan di antara para bawahan atau masyarakat. Pejabat yang arif ialah pejabat yang mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar orang dengan landasan kebenaran yang hakiki.
Utamanya sikap arif dalam mengambil kebijakan ialah bahwa para pejabat memiliki kewajiban berkenaan dengan sumber daya atau sumber keuangan negara. Dan jika membicarakan sumber daya atau sumber keuangan negara, berarti membicarakan milik rakyat.
Roda pemerintahan hanya dapat berputar bila keuangan negara terisi, dan untuk sebagian besar sumber keuangan itu berasal dari pajak yang ditarik dari rakyat. Oleh karena itu, setiap pejabat harus menyadari bahwa uang pemerintah pada dasarnya adalah uang rakyat sehingga setiap penggunaan uang pemerintah harus dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya.
Kaidah etika jelas tidak mengizinkan pejabat menggunakan uang pemerintah untuk kepentingan pribadi sebab hal itu berarti mengganggu jalannya pemerintahan dan menyalahgunakan kepercayaan rakyat. Pejabat yang menggunakan uang pemerintah untuk diri sendiri berarti telah merusak etika sosialnya sebab ia menggunakan rakyat untuk kepentingan pribadi.
Kesadaran mengenai landasan etika ini perlu direnungkan lagi oleh para pejabat yang ditugasi mengurus proyek-proyek yang menggunakan uang negara. Banyak aparat pimpinan proyek yang merasa bahwa uang yang diserahkan kepadanya merupakan uang ekstra atau bahkan uang pribadi sehingga mereka seolah-olah bebas menggunakannya tanpa disertai pertimbangan-pertimbangan rasional untuk proyek yang sedang digarap.
Tanggung jawab seorang pejabat pemerintah dengan demikian bukan hanya kepada organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja tetapi juga kepada warga negara yang secara langsung atau tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.
Tanggung jawab terhadap keputusan bagi para manajer atau pejabat pemerintah memang berbeda dari yang ada para manajer swasta. Cakupan konsekuensi dari kebijakan publik hampir tidak terbatas.
Jika seorang pejabat pemerintah mengambil suatu kebijakan, dia tidak hanya menentukan kelompok sasaran yang akan memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut tetapi juga kelompok yang akan melaksanakan keputusan tersebut dalam aktivitas-aktivitas teknisnya.
Seorang Pimpinan Proyek yang menentukan kelayakan suatu proyek perumahan rakyat, misalnya, disamping harus memutuskan siapa saja yang boleh menempati fasilitas rumah-rumah yang dibangun juga harus memutuskan bagaimana kriteria untuk memenangkan tender. Proyek secara objektif dan siapa pelaksana proyek fisiknya.
Seorang Bupati yang merencanakan program pengadaan air bersih selain harus mempertimbangkan kelompok rakyat yang paling membutuhkan prasarana tersebut juga harus menentukan pihak yang menjadi pelaksana proyek tersebut dan bagaimana reputasi mereka. Objektivitas dalam menilai reputasi pelaksana proyek itu sendiri jelas membutuhkan pemikiran dan kearifan yang matang.
Metode-metode yang dipakai dalam pembuatan kebijakan bisa beranekaragam, dan masing-masing mengandung konsekuensi yang harus diterima. Seorang pejabat dapat saja menggunakan ancaman untuk mengambil keputusan, tetapi ketidakpuasan publik yang merasa tidak dihargai pendapatnya merupakan hal yang harus dipertimbangkan.
Sebaliknya, kebijakan-kebijakan partisipatif mungkin akan lebih memberikan kepuasan bagi keinginan publik untuk berpendapat sendiri, tetapi pengambilan keputusan jelas membutuhkan waktu lebih lama. Kepura-puraan atau kesungguhan seorang pejabat terhadap pemecahan masalah-masalah rakyat juga dapat diketahui dari kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Dasarnya kebijakan publik adalah kebijakan kolektif, kebijakan yang melibatkan dan berpengaruh pada banyak pihak.
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya terhadap gagasan tertentu, individu maupun kelompok secara positif maupun negatif.
Dalam esensi kebijakan yang diambilnya dia dapat melibatkan atau tidak melibatkan kelompok maupun objek tertentu dalam proses kebijakan. Keputusan berarti memilih satu alternatif dan melepaskan alternatif yang lain.
Seorang walikota mungkin lebih memilih untuk membangun taman kota untuk menambah kerapian dan keindahan kota. Akan tetapi, dengan demikian dia berarti telah mengurangi anggaran untuk memberi santunan kesejahteraan sosial. Atau sebaliknya, dia mungkin mengambil prioritas untuk membangun perumahan kumuh bagi gelandangan atau melaksanakan rehabilitasi sosial.
Di dalam setiap kebijakan publik selalu terdapat ambiguitas. Akan tetapi, pedoman yang harus tetap dipegang ialah bahwa acuan utamanya adalah kepentingan umum, atau kesejahteraaan bagi sebanyak mungkin warga negara.
Pejabat publik juga perlu menyadari bahwa setiap prosedur selalu mengandung paradoks. Setiap prosedur harus dibakukan dalam rangka menjamin kepastian layanan, namun kekakuan terhadap prosedur seringkali justru melemahkan daya tanggap organisasi pemerintahan.
Untuk menerapkan kekuasaan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggung jawab, menentukan alternatif keputusan secara objektif , dan menerapkan prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan, yaitu sebagai berikut. Peluang untuk memecahkan persoalan akan selalu ada. Optimisme dimaksudkan untuk menunjuk pada sikap administrator untuk melihat urusan pemerintahan sebagai urusan yang harus dilaksanakan dengan iktikad baik, kejujuran, dan kompetensi.
Tanpa optimisme seperti ini, pemerintahan akan mengaburkan tugas-tugas yang menyangkut kepentingan umum, dan kepentingan perorangan akan cenderung dominan. Kejujuran yang melandasi optimisme itu akan menghindarkan kecemburuan sosial akan sumber daya kolektif, dan politik menjadi persaingan di antara individu, lembaga, atau kelompok-kelompok kepentingan untuk memperoleh kekuasaan dan sumber daya.
Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme.
Apabila seseorang ditugaskan untuk melayani masyarakat, ia harus mampu menimbang kepantasan bagi setiap individu masyarakat tersebut. Aparatur pemerintahan yang tidak melengakapi pelaksanaan aturan dan prosedur dengan nilai kemanusiaan akan menciptakan birokrasi mirip robot yang mengasingkan rakyat dari pemerintahannya sendiri.
Pada dasarnya kebijakan publik terdiri dari serangkaian proses pemilikan dan penentuan prioritas. Lahirnya landasan ilmu yang mendukung rasionalitas pengambilan keputusan, baik itu ilmu psikologi, antropologi, politik, ekonomi, maupun sosiologi, sesungguhnya juga merupakan hasil dari proses pemilihan. Tindakan manusia merupakan hasil dari pilihan manusia.
Sudah barang tentu kaidah etis mengandaikan bahwa para pembuat kebijakan publik akan meletakkan preferensi pada kemakmuran dan kebaikan masyarakat luas, dan meletakkan harapannya pada kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, untuk membuat keputusan yang tepat seorang pejabat harus pula memiliki kapasitas intelektual yang memadai.
Terima Kasih
- Slides: 33