IJTIHAD Pengertian Dasar Hukum Kedudukan Fungsi Obyek Macammacam
IJTIHAD Pengertian, Dasar Hukum, Kedudukan, Fungsi, Obyek, Macam-macam, Syaratsyarat Dan Tingkatan Ijtihad
PENGERTIAN IJTIHAD • Etimologi : Ijtihad berasal dari kata; – al-Jahdu yang berarti al-masyaqqah (kesulitan atau kesusahan). – Al-juhdu yang berarti ath-thaqat (kesanggupan atau kemampuan). – Dengan demikian, ijtihad berarti usaha meksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu.
• Terminologi: – Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istimbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at. – Pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
• Akal: – Sekiranya ijtihad tidak dibolehkan maka Alquran dan sunnah Nabi saw. sebagai dasar hukum Islam yang terbatas itu tidak dapat berlaku di semua tempat dan segala zaman, karena kejadian-kejadian baru yang dihadapi manusia silih berganti sesuai dengan perkembangan zaman.
KEDUDUKAN IJTIHAD • Ketetapan adanya ijtihad merupakan salah satu pokok syara’, ia merupakan dasar ketiga dari sumber hukum Islam setelah Alquran dan Sunnah.
FUNGSI IJTIHAD • Memperkuat dan mempertegas hukum yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah. • Menerangkan dan menjelaskan rincian makna yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah yang dianggap masih mujmal dan mutlaq. • Menetapkan hukum yang tidak terdapat hukumnya dalam Alquran dan Sunnah.
OBYEK IJTIHAD • Hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat Zhanni, baik maksud petunjuknya (dalalahnya) maupun eksistensinya (tsubutnya); • Hukum-hukum yang belum ada nashnya; • Hukum-hukum yang berasal dari ijma ulama.
MACAM-MACAM IJTIHAD • Dawalibi: 1. Ijtihad al-Batani yakni ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang bersumber dari nash. 2. Ijtihad al-Qiyasi, yakni ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah dengan menggunakan metode ijtihad. 3. Ijtihad al-Istishlah, yakni ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
• Al-Hakim: 1. Ijtihal Aqli. Yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tanpa menggunakan dalil syara’. 2. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’
SYARAT-SYARAT IJTIHAD 1. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dalam segala seginya. 2. Mengetahui dengan baik isi Alquran, terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum amaliyah. 3. Mengetahui dengan baik Sunnah Rasul yang berhukubungan dengan hukum. 4. Mengetahui masalah-masalah hukum yang telah menjadi ijma’ para ulama sebelumnya. 5. Mengetahui ushul fikhi.
6. 7. 8. 9. Mengetahui kaidah-kaidah fikhiyah. Mengetahui maksud-maksud syara’. Mengetahui rahasia-rahasia syara’ Orang yang melakukan ijtihad bersifat adil, jujur dan berakhlak terpuji. 10. Orang yang melakukan ijtihad mempunyai niat yang suci dan I’tikad yang benar. 11. Memiliki pengetahuan umum dengan segala cabangnya.
TINGKATAN IJTIHAD Ø Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, menyusun fikhinya sendiri yang berbeda dengan mazhab lain. Ø Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, yaitu mujtahid yang memiliki kriteria seperti Mujtahid Mustaqil namun ia tidak menciptakan kaidah-kaidahnya sendiri dan mengikuti metode salah satu imam mazhab. Ø Mujtahid Muqayyad/Mukharrij, yaitu mujtahid yang terikat oleh mazhab imamnya.
Ø Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang derajatnya di bawah Mukharrij tetapi dia sangat faqih. Ø Mujtahid Fatwa, yaitu orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam mazhab, menguasai permasalahan, baik yang sudah jelas maupun yang sulit, namun masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
METODE IJTIHAD Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, ‘Urf, Sadduzzari’ah, Qaul Shahabah dan Syar’u Man Qablana
ISTIHSAN • Menurut Bahasa: “menganggap sesuatu itu baik”. • Menurut istilah: – Ulama Hanafiyah: “Beralih pandangan dari dalil qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat”, atau “mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat”. – Ulama Malikiyah: “Mengutamakan meninggalkan pengertian suatu dalil dengan cara pengecualian dan berdasarkan pada keringanan agama, karena adanya hal yang bertentangan dengan sebagian pegertian dalil tadi”.
– Ulama Hanabilah: “Beralih pada penetapan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya, karena adanya dalil syara’ yang lebih khusus”.
MACAM-MACAM ISTIHSAN • Menurut sandarannya: – – Yang sandarannya qiyas Khafi; Yang sandarannya Nash; Yang sandarannya ‘Urf; Yang sandarannya Dharurat. • Menurut Perpindahannya: – Istihsan dari qiyas jali ke qiyas khafi; – Istihsan dari Nash umum ke hukum yang khusus; – Istihsan dari hukum kully ke hukum istisna’.
KEHUJJAHAN ISTIHSAN • Ulama Malikiah dan Hanabilah menetapkan bahwa istihsan salah satu dalil syar’i yang dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum terhadap qiyas dan keumumam nash. • Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan karena sama dengan qiyas khafy atau istislah. • Ulama Syafi’iyah menganggap istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i karena hanya ditetapkan berdasarkan hawa nafsu.
MASLAHAH MURSALAH • Menurut bahasa: istislah berarti mencari kemaslahatan. • Menurut istilah: istislah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma terhadapnya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata. • Wujud dan hakikat kemaslahatan itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia, sejalan dengan syara’ dalam menetapkan hukum.
OBYEK MASLAHAH MURSALAH • Maslahah Mursalah tidak berlaku pada masalah ibadah dan bidang muamalah yang sudah ada ketentuan nashnya. • Maslahah Mursalah terfokus pada lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Alquran dan Hadis, maupun ijma dan qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
KEHUJJAHAN MASLAHAH MURSALAH • Imam Malik dan Ahmad bin Hambal: Maslahah Mursalah adalah suatu jalan menetapkan hukum yang tidak ada nashnya dan tidak pula ada ijma’ terhadapnya. • Ath-Thufy: Maslahah Mursalah dalil syara’ dalam bidang mu’amalah, baik yang ada nash maupun yang tidak ada nashnya jika kemaslahatan menghendaki. • Imam Syafi’i: menolak Maslahah Mursalah sebagai hujjah karena sama dengan istihsan.
SYARAT-SYARAT BERHUJJAH DENGAN MASLAHAH MURSALAH 1. Kemaslahatan yang dicapai adalah kemaslahatan yang hakiki. 2. Kemaslahatan yang dicapai itu harus kemaslahatan umum, bukan perorangan. 3. Kemaslahatan yang dicapai itu tidak bertentangan dengan nash syara’ dan atau ijma’.
ISTISHAB • Menurut Bahasa, Istishab berarti: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”. • Menurut istilah ahli ushul: “Membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau, selama belum ada dalil lain yang merubahnya”. Atau “Melanjutkan ketetapan suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu hukum yang sejak semula tidak ada”.
MACAM-MACAM ISTISHAB 1. Istishab Bara’ah Ashliyah yaitu: istishab yang menganggap seseorang bebas dari beban hukum sebelum ada dalil atau petunjuk yang menetapkan belakunya beban hukum atas orang tersebut. 2. Istishab yang ditunjuk oleh syara’ atau akal yaitu: sesuatu yang ditunjuk oleh syara’ atau akal tentang tetap dan berlakunya suatu hukum sampai ada dalil yang menentukan lain dari hukum tersebut.
3. Istishab hukmi yaitu: mengukuhkan berlakunya hukum yang telah ditetapkan melalu ijma ulama, tapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula itu telah mengalami perubahan. 4. Istishab Sifati yaitu: mengukuhkan belakunya suatu sifat yang didalamnya berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh maupun melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubahnya hukum.
KEHUJJAHAN ISTISHAB • Menurut Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah: Istishab dapat dijadikan hujjah baik dalam menetapkan maupun menafikan hukum. • Sebagian Ulama Hanafiyah menolaknya sebagai hujjah dengan alasan bahwa kasus masa lalu dan sekarang masing memerlukan hukum tersendiri. • Sebagian Ulama berpendapat, bahwa istishab dapat menjadi hujjah untuk nafyu bukan untuk itsbat.
• Sebagian lagi berpendapat bahwa istishab hanya menjadi hujjah dalam perdebatan dan untuk diri-sendiri. • Ada yang mengatakan, bahwa istishab hanya menjadi hujjah untuk “menolak” bukan untuk “menuntut hak”.
‘URF (ADAT) • Secara etimologis, U’rf berarti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima akal sehat. • Secara terminologis, ’Urf adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan dijadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan dan perbuatan maupun sikap melaksanakan dan atau meninggalkan sesuatu.
MACAM-MACAM ‘URF • Dilihat dari bentuknya: – ‘Urf Qauly, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata atau ucapan. seperti kata “ ”ﻟﺤﻢ untuk arti “daging” di luar daging ikan. Kata “ ”ﻭﻟﺪ untuk arti “anak laki-laki”. – ‘Urf ‘Amaly, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Seperti kebiasaan jualbeli tanpa adanya sighat jual-beli.
• Ditinjau dari segi nilainya: – ‘Urf shahih, yaitu ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan nash syara’, sopan santun dan budaya yang luhur. Seperti halal bi halal saat hari raya. – ‘Urf Fasid, kebiasaan yang berlaku, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Seperti, pesta minuman keras untuk merayakan tahun baru, kumpul kebo dan sebagainya.
• Ditinjau dari segi cakupannya: – ‘Urf Umum ( )ﻋﺮﻑ ﻋﺎﻡ yaitu kebiasaan yang berlaku untuk semua tempat. Seperti kebiasaan “mengangguk” kepala sebagai tanda setuju dan “menggelengkan” kepala sebagai tanda menolak. – ‘Urf khusus ( )ﻋﺮﻑ ﺧﺎﺹ yaitu yang dilakukan oleh sekelompok orang di tempat tertentu dan di sembarang waktu. Seperti sistem keturunan matrilineal di Minangkabau dan patrilineal di Batak; orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari ayah dan tidak untuk kakak dari ayah.
KEHUJJAHAN ‘URF • ‘Urf yang shahih dapat dijadikan dasar pertimbangan para mujtahid dan para Hakim untuk menetapkan keputusan hukum. • Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum dengan berdasar pada tradisi penduduk Madinah yang tidak bertentangan dengan syari’ah. • Ulama Syafi’iyah terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya, karena melihat praktek yang berlaku dalam masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan.
SADDUZ ZARI’AH • Menurut bahasa, Sadduz Zari’ah berarti, “menghambat ataumenyumbat sesuatu yang menjadi perantara”. • Menurut istilah Ahli Ushul, Sadduz Zari’ah ialah “mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri maupun untuk menyumbat jalan atau sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan.
MACAM-MACAM ZARI’AH • Zari’ah dari segi kualitas kemafsadatannya: – Perbuatan yang sudah pasti mafsadatnya. Seperti, menggali lobang di depan rumah orang lain pada waktu malam. – Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung mafsadah, misalnya menjual makanan yang tidak mengandung kerusakan. – Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan, misalnya menjual senjata pada musuh atau orang terindikasi akan melakukan pembunuhan.
– Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengndung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan, misalnya jual-beli yang melebihi dari harga pasaran. • Zari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan: – Perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan, seperti larangan meminuman keras yang membuat mabuk.
– Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, misalnya nikah “cina buta”.
• Atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi membawa kepada kerusakan. • Kriteria suatu perbuatan yang dilarang: – Perbuatan yang tadinya boleh itu mengandung kerusakan; – Mafsadahnya lebih kuat dari pada maslahatnya. – Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur mafsadah.
• Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah dapat menerima sadd al-Zari’ah hanya dalam masalah-masalah tertentu saja, dalam hal ini hanya jika ada uzur dan atau apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau kemungkinan besar akan terjadi. • Golongan Zahiriyah tidak menerima kehujjahan Sadd al-Zari’ah sebagai dalil syara’, karena prinsip mereka hanya menggunakan nash secara harfiyah dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.
QAUL SHAHABI • Yang dimaksud dengan Qaul Shabi ialah fatwa sahabat secara perorangan. • Dari definisi tersebut dapat diurai sbb: – Fatwa yang disampaikan itu merupakan keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. – Yang menyampaikan fatwa adalah seorang sahabat nabi, yakni yang pernah bertemu dengan nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang panyang. – Fatwa itu disampaikan oleh sahabat secara perorangan.
KEHUJJAHAN QAUL SAHABI • Qaul sahabi dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal, dengan ketentuan bahwa pendapat tersebut tidak berntentangan dengan pendapat sahabat lain.
SYAR’U MAN QABLANA • Secara etimologis, Syar’u Man Qablana adalah hukum yang disyariatkan oleh Allah Swt. bagi orang-orang (umat) sebelum kita. • Secara terminologis, Syar’u Man Qablana adalah syari’at yang diturunkan oleh Allah Swt. melalui Nabi -nabi atau Rasul-rasul. Nya sebelum Nabi Muhammad saw.
PEMBAGIAN SYAR’U MAN QABLANA • Yang tetap berlaku sampai sekarang berdasarkan nash Alquran, seperti yang tersebut dalam QS. Al-Baqarah ayat 183. • Yang hanya berlaku bagi umat terdahulu saja, karena sudah dinasakh oleh Alquran maupun sunnah, seperti yang tersebut dalam QS. Al-An’am ayat 146.
. ﺇ ﺍ ﺍ ، ﺍ ﺇﻻ ﺍ ﺍ ﺍﺍ ـ ﺍﺍ ﺍ ، ﻯ ﻯ ﺍﻳ ﺍﻭﺍ ﺍ Dan kepada orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar.
• Yang disebutkan oleh nash Alquran dan Sunnah, tetapi ketegasan berlakunya tidak disebutkan dan tidak pula dinasakh, seperti Firman Allah dalam QS. Al-Maidah : 45. . ﺍ ﺍﻟﻠ ﺃ ﺍﻟ ﺍ ، ــﺍ ﺍ ﺃ ﺍﻟ ﺍﻟ ﺍ ـﺎ ﺍﻷ ـﺎﻷ ﺍﻟ ــﺎﻟ ﺍ ﺍ Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
KEDUDUKAN SYAR’U MAN QABLANA • Sebagian ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa syar’u man qablana adalah syari’at untuk kita. Kita wajib menerapkannya selama hukum itu telah diceritakan kepada kita dan tidak terdapat hukum yang menasakhnya. • Sebagian berpendapat bahwa kehadiran syari’at kita telah menghapus syar’u man qablana, kecuali terdapat suatu dalil yang menetapkannya.
- Slides: 47