HUKUM SYARA SEPUTAR VAKSINASI Oleh KH M Shiddiq

  • Slides: 53
Download presentation
HUKUM SYARA’ SEPUTAR VAKSINASI Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S. Si, MSI

HUKUM SYARA’ SEPUTAR VAKSINASI Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S. Si, MSI Pimpinan PP Hamfara Yogyakarta

POKOK BAHASAN ®(1) Pendahuluan ®(2) Pengertian Vaksinasi ®(3) Hukum Berobat (at tadaawi ‘ /

POKOK BAHASAN ®(1) Pendahuluan ®(2) Pengertian Vaksinasi ®(3) Hukum Berobat (at tadaawi ‘ / al mudaawah) ®(4) Hukum Berobat Dengan Zat Najis dan Zat Berbahaya ®(5) Hukum Vaksinasi ®(6) Pencegahan Penyakit, Termasuk Berobat?

1. PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN

Pendahuluan Hukum Vaksinasi ® Untuk memberi hukum syara’ pada vaksinasi, perlu ditempuh 3 tahapan

Pendahuluan Hukum Vaksinasi ® Untuk memberi hukum syara’ pada vaksinasi, perlu ditempuh 3 tahapan sbb : ® Pertama, memahami fakta vaksinasi (fahmul waaqi’ / tahqiiq al manaath), ® Kedua, memahami hukum syara’ yang terkait berobat. ® Ketiga, menerapkan hukum berobat pada fakta vaksinasi.

2. PENGERTIAN VAKSINASI

2. PENGERTIAN VAKSINASI

Vaksinasi ® Vaksin adalah bakteri dan virus yang telah dilemahkan. ® Vaksinasi adalah proses

Vaksinasi ® Vaksin adalah bakteri dan virus yang telah dilemahkan. ® Vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin ke tubuh manusia dengan tujuan untuk mendapatkan efek kekebalan terhadap penyakit tertentu ® Imunisasi adalah proses untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. ® duniaiptek. com/perbedaan-vaksinasidan-imunisasi/

Vaksinasi ® Vaksinasi dpt disebut juga imunisasi. ® Tapi imunisasi lebih umum daripada vaksinasi,

Vaksinasi ® Vaksinasi dpt disebut juga imunisasi. ® Tapi imunisasi lebih umum daripada vaksinasi, karena imunisasi dapat juga diperoleh tanpa vaksinasi. ® Misalnya : memberikan ASI pada bayi karena ASI juga membantu meningkatkan kekebalan (imun) pada bayi. ® Vaksinasi bagian dari imunisasi, sedang imunisasi belum tentu vaksinasi karena imunisasi banyak macamnya. ® duniaiptek. com/perbedaan-vaksinasi-danimunisasi/

3. HUKUM BEROBAT (at tadaawi / al mudaawah)

3. HUKUM BEROBAT (at tadaawi / al mudaawah)

Hukum Berobat ® Para ulama berbeda pendapat dalam hal hukum berobat, menjadi 5 (lima)

Hukum Berobat ® Para ulama berbeda pendapat dalam hal hukum berobat, menjadi 5 (lima) pendapat; ® (1) Wajib ® (2) Sunnah ® (3) Mubah ® (4) Makruh ® (5) Lebih baik ditinggalkan jika kuat tawakkalnya.

Hukum Berobat ® Pendapat pertama, mengatakan berobat hukumnya wajib, dengan perintah Rasululloh SAW untuk

Hukum Berobat ® Pendapat pertama, mengatakan berobat hukumnya wajib, dengan perintah Rasululloh SAW untuk berobat dan asal hukum perintah adalah wajib. ® Ini adalah satu pendapat madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan madzhab Hanabilah.

Hukum Berobat ® Pendapat kedua, mengatakan sunnah/ mustahab, ® sebab ada perintah Rasulullah SAW

Hukum Berobat ® Pendapat kedua, mengatakan sunnah/ mustahab, ® sebab ada perintah Rasulullah SAW untuk berobat dan dibawa kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain Rasululloh SAW memerintahkan bersabar, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.

Hukum Berobat ® Pendapat ketiga, mengatakan mubah/ boleh secara mutlak, ® karena terdapat keterangan

Hukum Berobat ® Pendapat ketiga, mengatakan mubah/ boleh secara mutlak, ® karena terdapat keterangan dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan sebagian lagi boleh memilih. Ini adalah madzhab Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab Malikiyah).

Hukum Berobat ® Pendapat keempat mengatakan makruh, ® alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya,

Hukum Berobat ® Pendapat keempat mengatakan makruh, ® alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya, Imam Qurtubi rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Darda radhiyallahu ‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.

Hukum Berobat ® Pendapat kelima, mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat tawakkalnya dan

Hukum Berobat ® Pendapat kelima, mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat tawakkalnya dan lebih baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, ® Perincian ini dari kalangan madzhab Syafi’iyah. ® (Lihat : https: //maktabahabiyahya. wordpress. com/ 2012/05/30/berobat-dalam-islam/)

Hukum Berobat ® Pendapat rajih (yang lebih kuat dan terpilih) : ® Berobat hukumnya

Hukum Berobat ® Pendapat rajih (yang lebih kuat dan terpilih) : ® Berobat hukumnya sunnah / mustahab, karena terdapat perintah Rasulullah SAW untuk berobat, ® namun ada qarinah (indikasi / petunjuk) yang menunjukkan perintah tersebut adalah perintah sunnah bukan perintah wajib.

Hukum Berobat ®Dalil sunnahnya berobat : ®Ada perintah berobat sesuai sabda Rasulullah SAW :

Hukum Berobat ®Dalil sunnahnya berobat : ®Ada perintah berobat sesuai sabda Rasulullah SAW : ، « ﺍﺍ ، ﺍ ﺍﻟ ﺍﻟ » ® ®“Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah pun menciptakan obatnya, maka berobatlah. ” (HR. Ahmad)

Hukum Berobat ® (2) Dari Usamah bin Syarik RA, ia berkata: ® “Saya mengunjungi

Hukum Berobat ® (2) Dari Usamah bin Syarik RA, ia berkata: ® “Saya mengunjungi Nabi SAW dan para sahabatnya, dan di atas kepala mereka seakan-akan ada burung, maka aku memberi salam lalu duduk, lalu datanglah orang-orang Arab Badui dari arah ini dan arah itu, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami mesti berobat? ” Rasulullah SAW menjawab:

Hukum Berobat ® “Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu

Hukum Berobat ® “Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula obatnya, kecuali satu penyakit ketuaan, yakni kematian. ” (HR Abu Dawud)

Hukum Berobat ® Kedua hadits di atas, menunjukkan adanya perintah (thalabul fi’li, amr) untuk

Hukum Berobat ® Kedua hadits di atas, menunjukkan adanya perintah (thalabul fi’li, amr) untuk berobat. Yaitu sabda Rasulullah SAW : ® ﺍﺍ ® “Maka berobatlah kamu” (HR Ahmad). ® Juga sabda Rasulullah SAW : ﺍ ﺍ ﺍ ، ﺍ ﺍ ﺍ ﺍﻟ ® ﺍﺍ

Hukum Berobat ® “Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu

Hukum Berobat ® “Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula obatnya, kecuali satu penyakit ketuaan, yakni kematian. ” (HR Abu Dawud)

Hukum Berobat ® Tapi perintah berobat (thalabul fi’li) pada dua hadits di atas, adalah

Hukum Berobat ® Tapi perintah berobat (thalabul fi’li) pada dua hadits di atas, adalah perintah sunnah (ghairu jaazim) bukan perintah wajib, karena ada beberapa qarinah (petunjuk) yang menunjukkan bolehnya tidak berobat, di antaranya: ، ﻱ : ﺍ ﺍﻟﻠ ﻯ ﺍﻟ ، ﺍ ﺍﻟ … : ﺍ ﺍ ﻋﻦ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ® ﻭﺭﻭﻯ ﻻ ﻱ ﺍﻟ ﺍ ، ﻱ : ﺍ ، : ﺍ « ﺍ ﺍﻟ ، ﺍﻟ » : ﺍ ، ﻱ ﺍﻟ ﺍ ، ﻱ «… ﺍ » ﺍ ،

Hukum Berobat ® Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas r. a. , ia berkata:

Hukum Berobat ® Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas r. a. , ia berkata: ® “Wanita berkulit hitam ini, ia pernah menemui Nabi SAW sambil berkata: “Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku. ” Nabi SAW bersabda:

Hukum Berobat ® “Jika kamu berkenan, bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu berkenan,

Hukum Berobat ® “Jika kamu berkenan, bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu. ” Ia berkata: “Baiklah aku akan bersabar. ” Wanita itu berkata lagi; “Namun berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap. ” Maka Nabi SAW mendoakan untuknya. ” (HR Bukhari) ® Hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.

Hukum Berobat ® Kesimpulannya, perintah Nabi SAW untuk berobat bukanlah perintah wajib / tegas

Hukum Berobat ® Kesimpulannya, perintah Nabi SAW untuk berobat bukanlah perintah wajib / tegas (jaazim), tetapi perintah sunnah (anjuran) (ghairu jaazim). ® Karena ada qarinah (petunjuk) yang menunjukkan bolehnya tidak berobat. ® Maka hukum berobat adalah sunnah atau mustahab, tidak wajib.

4. HUKUM BEROBAT DENGAN ZAT NAJIS DAN ZAT BERBAHAYA

4. HUKUM BEROBAT DENGAN ZAT NAJIS DAN ZAT BERBAHAYA

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Para ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Para ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya berobat dengan suatu zat yang najis atau yang haram. ® (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut : Darul Fikr], 1990, Juz I hal. 384). ® Dalam masalah ini ada 3 (tiga) pendapat :

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Pendapat pertama, Jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Pendapat pertama, Jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, kecuali dalam keadaan darurat. ® (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz I hal. 492; Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, [Damaskus : Darul Fikr], 1996, Juz IX hal. 662; Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz XIII hal. 166).

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Pendapat kedua, sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Pendapat kedua, sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafiiyah (bermazhab Syafii) menghukumi boleh (jawaz) berobat dengan zat-zat yang najis. ® (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al Ahkam, [Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah], 1999, Juz II hal. 6; Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz VI hal. 100).

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Pendapat ketiga, sebagian ulama lainnya, seperti Taqiyuddin an

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Pendapat ketiga, sebagian ulama lainnya, seperti Taqiyuddin an Nabhani, menyatakan makruh hukumnya berobat dengan zat yang najis atau yang haram. ® (Taqiyuddin al Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz III hal. 116).

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Pendapat rajih (yang lebih kuat dan terpilih) :

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Pendapat rajih (yang lebih kuat dan terpilih) : ® Berobat dengan zat najis hukumnya makruh, karena terdapat larangan dari Rasulullah SAW untuk berobat dengan zat najis, ® namun ada qarinah (indikasi / petunjuk) yang menunjukkan larangan tersebut adalah larangan makruh bukan larangan haram.

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Dalil-dalil makruhnya berobat dengan zat yang najis /

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Dalil-dalil makruhnya berobat dengan zat yang najis / haram : ® Ada larangan berobat dengan zat yang najis / haram, sabda Nabi SAW : ﺍ ﺍﺍ ﻻ ﺍﺍ ، ﺍ ﺍ ﺍﻟﺪﺍ ﺍﻟ ﻥ ® ® "Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram. " (HR Abu Dawud, no 3376).

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Ada larangan berobat lainnya dengan zat yang najis

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Ada larangan berobat lainnya dengan zat yang najis / haram, sesuai sabda Nabi SAW : ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﺮﻡ ﻓﻴﻤﺎ ﺷﻔﺎﺋﻜﻢ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻢ ﺍﻟ ﻥ ® ® "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa-apa yang telah Allah haramkan atas kalian. (HR Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Thabrani).

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Namun, ada beberapa qarinah berupa hadis-hadis yang menunjukkan

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Namun, ada beberapa qarinah berupa hadis-hadis yang menunjukkan larangan itu bukan larangan jazim (tegas) atau haram, tapi larangan makruh, di antaranya: ® (1) Dalam Shahih Bukhari terdapat hadis, orang-orang suku 'Ukl dan Urainah datang ke kota Madinah menemui Nabi SAW lalu masuk Islam. Namun mereka kemudian sakit karena tidak cocok dengan makanan Madinah.

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Nabi SAW lalu memerintahkan mereka untuk meminum air

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Nabi SAW lalu memerintahkan mereka untuk meminum air susu unta dan air kencing unta. . . (Shahih Bukhari, no 231; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 1/367). ® Hadits ini menunjukkan bolehnya berobat dengan zat najis, karena air kencing itu najis.

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® (2) Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi SAW pernah

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® (2) Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi SAW pernah memberi rukhshah (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit. (HR Ahmad, no. 13178). ® Hadis di atas menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu haram digunakan oleh laki-laki (sutera). (Fahad bin Abdullah Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Ath-Thabib, hal. 7475).

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® (3) Dalam Sunan Abu Dawud, Nabi SAW pernah

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® (3) Dalam Sunan Abu Dawud, Nabi SAW pernah memberi rukhshah (keringanan) kepada Arfajah bin As’ad untuk memakai hidung palsu dari emas, karena hidung Arfajah terputus saat Perang Kulab. Awalnya Arfajah membuat hidung palsu dari besi tapi kemudian hidungnya membusuk, kemudian Nabi SAW memerintahkan Arfajah memakai hidung palsu dari emas. (HR Abu Dawud, no. 4232). ® Hadis di atas menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu haram digunakan oleh laki-laki (emas).

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Ketiga hadis di atas menjadi qarinah (petunjuk, indikasi)

Hukum Berobat Dengan Zat Najis ® Ketiga hadis di atas menjadi qarinah (petunjuk, indikasi) bahwa larangan berobat dengan yang najis atau haram bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh. ® Kesimpulannya, berobat dengan obat yang zatnya najis atau zatnya haram digunakan hukumnya makruh, bukan haram.

Hukum Berobat Dengan Zat Berbahaya ® Berobat dengan zat yang menimbulkan bahaya (dharar) hukumnya

Hukum Berobat Dengan Zat Berbahaya ® Berobat dengan zat yang menimbulkan bahaya (dharar) hukumnya haram. ® Sabda Rasulullah SAW : ﺿﺮﺍﺭ ﻭﻻ ﺿﺮﺭ ®ﻻ ® “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain. ” ® (HR Ahmad).

5. HUKUM VAKSINASI

5. HUKUM VAKSINASI

Hukum Vaksinasi ®Seperti dijelaskan di muka, untuk memberi hukum syara’ pada vaksinasi, perlu ditempuh

Hukum Vaksinasi ®Seperti dijelaskan di muka, untuk memberi hukum syara’ pada vaksinasi, perlu ditempuh 3 tahapan sbb : ®Pertama, memahami fakta vaksinasi (fahmul waaqi’ / tahqiiq al manaath), ®Kedua, memahami hukum syara’ yang terkait berobat. ®Ketiga, menerapkan hukum berobat pada vaksinasi.

Hukum Vaksinasi ®Maka dari itu, hukum vaksinasi sbb : ®Hukumnya sunnah, jika vaksinnya tidak

Hukum Vaksinasi ®Maka dari itu, hukum vaksinasi sbb : ®Hukumnya sunnah, jika vaksinnya tidak mengandung zat yang najis. ®Hukumnya makruh, jika mengandung zat yang najis. ®Hukumnya haram, jika mengakibatkan terjadinya bahaya (mudharat).

Hukum Vaksinasi ® Jika ada keraguan, apakah vaksin yang digunakan menggunakan zat najis atau

Hukum Vaksinasi ® Jika ada keraguan, apakah vaksin yang digunakan menggunakan zat najis atau tidak, maka dikuatkan pendapat “tidak menggunakan zat najis” sebagai hukum asal. ® Kaidah fiqih menyebutkan : ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﺩﻟﻴﻞ ﻳﺮﺩ ﻟﻢ ﻣﺎ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺍﻷﺸﻴﺎﺀ ﻓﻲ ®ﺍﻷﺼﻞ ® Hukum asal benda-benda adalah dibolehkan, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.

Hukum Vaksinasi ® Kaidah fiqih lain menyebutkan : ﻋﺎﺭﺿﺔ ﻭﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﺍﻷﻌﻴﺎﻥ ﻓﻲ ®

Hukum Vaksinasi ® Kaidah fiqih lain menyebutkan : ﻋﺎﺭﺿﺔ ﻭﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﺍﻷﻌﻴﺎﻥ ﻓﻲ ® ﺍﻷﺼﻞ ® Hukum asal benda-benda adalah suci, sedangkan kenajian bukanlah sifat asli benda (yang memerlukan dalil tentang kenajisannya). ® (M. Bakar Ismail, Al Qawa’id Al Fiqhiyyah Bayna Al Ashaalah wa At Taujiih, hlm. 353; M. Az Zuhaili, Al Qawa’id Al Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al Madzahib Al Arba’ah, hlm. 112)

Hukum Vaksinasi ® Jika ada pihak yang menyatakan suatu vaksin tertentu mengandung zat najis,

Hukum Vaksinasi ® Jika ada pihak yang menyatakan suatu vaksin tertentu mengandung zat najis, dia berkewajiban membuktikan klaimnya tersebut. ® Sabda Rasulullah SAW : ﺍﻟﻤﺪﻋﻲ ﻋﻠﻰ ®ﺍﻟﺒﻴﻨﻯﺔ ® “Bukti wajib diberikan oleh pihak yang mendakwa (mengklaim). . . ” (HR Tirmidzi)

Hukum Vaksinasi ® Menyebarkan teori konspirasi bahwa vaksinasi tertentu membahayakan umat Islam di tempat

Hukum Vaksinasi ® Menyebarkan teori konspirasi bahwa vaksinasi tertentu membahayakan umat Islam di tempat tertentu pada waktu tertentu, tanpa memberikan bukti berupa data dan fakta konkret, makruh. ® Sabda Rasulullah SAW : ﺍﻟﺴﺆﺎﻝ ﻭﻛﺜﺮﺓ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻭﺇﺿﺎﻋﺔ ، ﻭﻗﺎﻝ ﻗﻴﻞ : ﺛﻼﺛﺎ ﻟﻜﻢ ﻛﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ® ﺇﻥ ® “Sesungguhnya Allah membenci bagi kalian tiga perkara, menyebarkan berita katanya, menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta. ” (HR Bukhari).

6. PENCEGAHAN PENYAKIT, TERMASUK BEROBAT?

6. PENCEGAHAN PENYAKIT, TERMASUK BEROBAT?

Pencegahan Penyakit ® Diriwayatkan hadits dari Shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Nabi Shallallahu

Pencegahan Penyakit ® Diriwayatkan hadits dari Shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah bersabda. ﻻ ﺍ ، ﺍ ﻳﻮﻡ ﻛﻞ ® ® “Barangsiapa setiap pagi mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir” (HR Bukhari, no 5130).

Pencegahan Penyakit ® Hadits ini menunjukkan bahwa mencegah terjadinya penyakit juga merupakan aktivitas berobat

Pencegahan Penyakit ® Hadits ini menunjukkan bahwa mencegah terjadinya penyakit juga merupakan aktivitas berobat (at tadaawi / al mudaawah) yang disyariatkan. ® Dengan demikian, vaksinasi juga termasuk berobat, walaupun penyakitnya sendiri belum terjadi. ® Wallahu a’lam.

TERIMA KASIH WASSALAM

TERIMA KASIH WASSALAM

BIODATA ® ® ® Nama : M. Shiddiq Al Jawi Tmpt/Tgl Lahir : Grobogan,

BIODATA ® ® ® Nama : M. Shiddiq Al Jawi Tmpt/Tgl Lahir : Grobogan, 31 Mei 1969 Pekerjaan : ® Dosen Tetap STEI Hamfara Jogja ® Mudir Ma’had STEI Hamfara Jogja Pendidikan Umum : ® S 1 Fakultas MIPA IPB Bogor (lulus 1997) ® S 2 Magister Studi Islam UII Jogja (lulus 2009) ® S 3 Kajian Islam Kontemporer UIN Sunan Ampel Surabaya (mulai 2016) Pendidikan Agama : ® Pondok Pesantren Nurul Imdad Bogor (1990 -1992) ® Pondok Pesantren Al Azhhar Bogor (1992 -1994) Pengalaman Org. : ® ® Ketua Umum BKI IPB 1990 -1991. MUI DIY : (1) Komisi Dakwah (2012 -2017), (2) Komisi Fatwa (2017 -2022)

KARYA-KARYA ® Telah menulis 6 (enam) buku, menerjemahkan 13 (tiga belas) kitab berbahasa Arab,

KARYA-KARYA ® Telah menulis 6 (enam) buku, menerjemahkan 13 (tiga belas) kitab berbahasa Arab, dan menulis sekitar 550 artikel keislaman. ® Dari 550 artikel keislaman tersebut, sekitar 450 judul di antaranya adalah tema-tema tentang Fiqih Islam. ® Artikel-artikel fiqih Islam tsb sedang dalam proses editing menjadi buku. ® Dapat dicari dengan Google dengan cara : tulis tema tertentu (misal KPR, leasing, asuransi syariah) dan tulis al jawi.

E-mail : shiddiq_aljawi@protonmail. com Mobile/WA/Telegram : 081 -3287 -44133

E-mail : shiddiq_aljawi@protonmail. com Mobile/WA/Telegram : 081 -3287 -44133