Hubungan DPR dengan Presiden Dalam Pembentukan UndangUndang Mhd
Hubungan DPR dengan Presiden Dalam Pembentukan Undang-Undang Mhd Yusrizal Adi S, SH. MH Fakultas Hukum Universitas Medan Area Medan 2021
Keduduk an DPR Dalam Pembent ukan Undang Antara DPR dengan Presiden terdapat hubungan yang erat dalam pembentukan Undang-Undang, baik sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945. Sebelum dilakukannya Amandemen UUD 1945, Presiden memilliki kekuasaan untuk membentuk UU dengan persetujuan DPR. Dengan demikian, kedudukan Presiden lebih kuat dibandingkan dengan DPR. Kuatnya kedudukan Presiden terhadap DPR dalam pembentukan UU tidak terlepas dari sistem yang dianut oleh UUD 1945, dengan menganut sistem eropa kontinental. Penyelenggaraan negara didasarkan bukan pada pemisahan kekuasaan, tetapi mengacu pada pembagian fungsi bahkan difusi (diffusion of powers).
(diffusion of power) adalah bahwa pembentukan UU dilakukan bersama oleh badan Eksekutif dan Badan Legislatif. Secara teoritis adanya fusi pembentukan UU ini tidak dibenarkan adanya organ yang lebih penting daripada organ yang lain. Karena dalam sistem difusi tetap tidak menghilangkan karakteristik masing badan. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif. Badan eksekutif maupun badan legislatif sama-sama mempunyai hak untuk mengusulkan dan membahas UU. Tetapi dalam membentuk UU ini fungsi tersebut
dinyatakan bahwa adanya diffusion of powers tidak menghilangkan karakteristik dan arti penting satu badan dengan badan lain, namun dalam praktik ketatanegaraan tidak dapat diabaikan bahwa peran eksekutif lebih dominan dari DPR dalam pembentukan UU. Ada kecenderungan di negara maju sekalipun, eksekutif makin kuat termasuk dalam pembentukan UU sehingga tidak mengherankan RUU lebih banyak berasal dari eksekutif bila
Pada masa Orde Baru, kedudukan Presiden yang begitu kuat dalam pembentukan UU menjadikan DPR sebagai lembaga stempel dari RUU yang berasal dari Pemerintah. Hal tersebut dikarenakan aturan dasar (Konstitusi) yang mengatur dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan : “ Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR” Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (Sebelum Amandemen) “tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”
Pasca Amandemen UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: “ Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR” Pasal 20 UUD 1945 (1) DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh lagi diajukan dalam persidangan DPR Masa itu (4) Presiden mengesahkan Rancangan Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (5) Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
Pergeseran kekuasaan legislatif Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) setelah diubah, maka terlihat bahwa kekuasaan legislatif telah terjadi pergeseran secara mendasar dalam fungsi legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR. Hanya saja proses pembentukan UU tetap melibatkan dua organ (DPR dgn Presiden) dan memerlukan persetujuan bersama keduanya. Artinya dalam pembentukan UU tidak dapat hanya dilakukan oleh DPR atau sebaliknya
Realitas Pergeseran Kekuasaan Legislatif pasca Amandemen UUD 1945 Pergeseran kekuasaan legislatif sebagaiman yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 20 UUD 1945 dalam realitasnya, Presiden selaku penyelenggara pemerintahan, tetap jauh lebih menguasai dan memiliki sarana dan prasarana yang lengkap berkaitan dengan dana, data, dan tenaga ahli dalam pembentukan UU. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif tersebut harus diikuti dengan penataan struktur alat kelengkapan DPR disertai dengan dukungan dana dan tenaga ahli. Dengan demikian, adanya pergeseran kekuasaan legislatif ini akan lebih bermakna dalam memberdayakan DPR sebagai wakil rakyat dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan adalah satu amandemen UUD 1945. Kedudukan DPR terhadap DPD dalam Pembentukan UU Pembentukan DPD bertujuan untuk memperkuat peran daerah dalam proses penyelenggaraan negara yang merupakan salah satu elemen penting dalam pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya DPD diharapkan dapat mengimbangi keberadaan DPR sebagai perwakilan politik yang beranggotakan partai-partai politik melalui pemilihan umum. Arah pembentukan DPD adalah menciptakan sistem bikameral dalam parlemen Indonesia
Kedudukan DPD diatur dalam Pasal 22 C ayat (1), (2), (3), dan (4) dan Pasal 22 D ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD 1945 DPD dipilih melalui Pemilihan Umum (Psl 22 C ayat 1) Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 anggota DPR; DPD bersidang sedikitnya 5 tahun dlm setahun;
Realitas Keberadaan DPD Berdasarkan Pasal 22 C dan Pasal 22 D UUD 1945 yang mengatur tentang DPD memperlihatkan bahwa DPD dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia dalam realitasnya setengah hati untuk keberadaan DPD hanya ditempatkan sebagai lembaga pelengkap DPR. Kehadiran DPD sama sekali tidak mencerminkan gagasan sistem badan perwakilan (badan legislati) dua kamar (bicameral). Dalam Konteks Pembentukan UU, DPD seolah-olah mempunyai peran dalam ikut membahas RUU. Akan tetapi kenyataannya bahwa DPD tidak mempunyai hak inisiatif dan mandiri dalam membentuk UU (sekalipun dibidang yang berkaitan dengan persoalan daerah).
Ketentuan Frase bahwa “DPD ikut membahas” secara hukum berarti hanya DPR lah yang memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang dan hanya DPR yang memiliki hak inisiatif. DPD tidak memiliki original power dalam pembentukan UU atau kekuasaan legislatif lainnya. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya ketentuan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU , dan setiap RUU dibahas bersama-sama untuk mendapatkan persertujuannya antara DPR dengan Presiden
Mekanisme Pengajuan RUU terkait Daerah dengan adanya DPD: 1. DPD menyusun RUU; 2. RUU diajukan ke DPR; 3. DPD akan memutuskan apakah RUU tersebut diterima atau tidak diterima, atau diterima dengan perubahan; 4. RUU yang diterima oleh DPR dengan atau tanpa perubahan diajukan kepada Pemerintah untuk dibahas; 5. Pembahasan dilakukan DPR bersama Pemerintah tanpa keikutisertaan DPD.
Kedudukan DPR terhadap DPD adalah sebatas menjaring, menampung, dan memperjuangkan aspirasi DPD dalam proses pembentukan UU. Keberadaan DPD terhadap DPR, tidak berlebihan jika DPD menjadi alat pendamping dalam pembentukan UU terkait dengan daerah karena keberadaannya yang lemah dan tidak seimbang dengan DPR.
SEKIAN & TERIMA KASIH
- Slides: 15