FATWA FATWA PERBANKAN SYARIAH DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI
FATWA – FATWA PERBANKAN SYARIAH DEWAN SYARIAH NASIONAL MUI DI INDONESIA Dr H Mohamad Hidayat MBA MH SHARIA NATIONAL BOARD INDONESIAN COUNCIL OF ULAMA
Institusi Keuangan & Bisnis Syariah 1. 2. Bank Syariah Institusi Keuangan Non Bank (IKNB) A. B. C. D. E. F. G. 3. Pasar Modal A. B. C. D. 4. 5. Asuransi/Re asuransi Multi Finance Penjaminan Dana Pensiun Pegadaian Modal Ventura LKM Syariah Saham Sukuk Obligasi Reksadana Lembaga Keuangan Mikro Pariwisata Syariah A. Travel B. Perhotelan C. 6. Restoran Bisnis & Jasa 1. 2. MLM Broker, dll
Jatuhnya Performance Dunia Usaha KRISIS MONETER KRISIS PERBANKAN Kebijakan bunga tinggi Negative spread Non Performing Loan Krisis likuiditas
Syariah VS Konvensional BANK SYARIAH Vs BANK KONVENSIONAL Peraturan Per UU Landasan Hukum Pengawasan Perseroan Dewan Komisaris Funding – Landing : Rp Bunga Return Accrual Basis Laporan Keuangan Disharmoni DPK – End User • Prinsip Transaksi Uang sbg komoditi • Bunga mhd/dps/lppi/2015 SYARIAH • Sumber hukum Syariah : Al. Quran Sunnah, Fatwa DSN • Peraturan Per UU - Dewan Pengawas Syariah - Dewan Komisaris Funding : Bagi hasil, Bonus Financing : Margin, Bagi hasil, Biaya Sewa, Service : Fee/Ujrah Cash Basis, Accrual Harmoni • Uang sbg alat bayar • Bagi hasil, Jual beli, Sewa, fee 4
Peran bank sebagai lembaga intermediasi DEPOSIT Surplus unit KREDIT BANK Bunga deposit Deficit unit Bunga Kredit Bank Debitur Nasabah Kreditur Debitur 10/15/2021 5
Peran Bank Syariah Sebagai Lembaga Intermediasi -Titipan - Investasi Surplus unit (shahibul mal) Bagi hasil / bonus - Jual-beli BANK Deficit unit Bagi Hasil/Margin/Fee Bank Syariah tidak menghadapi negative spread
Profit and Lost Sharing (Direct Mudharabah) M Nabi Muhammad (Mudharib) Siti Khadijah (Shahibul Maal) 60% 100% Keuntungan/ Pendapatan MODAL 7 40% Investasi Tijarah
AL MUDHARIB YUDHARIB (Two Tiers MUDHARABAH) Shahibul Maal GIRO TABUNGAN DEPOSITO DLL 8 Al Mudharib Yudharib FUND MANAGER (BANK) 10/15/2021 Al Mudharib Ats Tsani Musytary Musyarik, dll
Skema Operasi Bank Syariah Giro (Titipan/Wadi’ah) Bank Tabungan (Wadi’ah/Mudharabah) Syariah Deposito (Mudharabah) Investasi Khusus (Mudharaba) 9 Jual Beli Bagi Hasil Sewa/Fee Investasi
Skema Operasi BANK SYARIAH GIRO (Titipan/Wadiah) BONUS TABUNGAN (Wadiah/Mudharabah) KEUNTUNGAN JUAL BELI KEUNTUNGAN BAGI HASIL BANK SYARIAH DEPOSITO (Mudaharabah) Investasi Khusus (Mudharabah)) 10 KEUNTUNGAN SEWA INVESTASI
PRODUK DAN JASA PERBANKAN SYARI’AH PENYALURAN DANA PENGHIMPUNAN DANA PEMBIAYAAN JASA PINJAMAN WAKALAH GIRO DEPOSITO TABUNGAN KAFALAH JUAL BELI SEWA BAGI HASIL HAWALAH RAHN WADI’AH MUDHARABAH MURABAHAH MUDHARABAH IJARAH MUDHARABAH WADI’AH SALAM ISTISHNA’ QARDH IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK MUSYARAKAH
Asas Kontrak Bisnis Islami 1. 2. 3. 4. 5. 6. Al Hurriyyah (freedom of making contract) Al Musaawah (equality) Al Adalah (justice) Al Ridha (willingness) As Shidqu (faithful) Al Kitabah (documentation)
POINTERS TEMUAN UJI PETIK DPS 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14. TERMINOLOGI PERBANKAN SYARIAH BASIS AKAD TRANSAKSI AKTA PERJANJIAN YANG MELANGGAR SYARIAH & HUKUM POSITIP TERM & CONDITIONS PELANGGARAN TERHADAP FATWA DSN PELANGGARAN TERHADAP PBI PENYIMPANGAN ASPEK FUNDING (fixed rate, equivalent rate, return tdk relevan) PENYIMPANGAN ASPEK FINANCING (side streaming, bagi hasil berdasarkan proyeksi bukan riil, penggunaan dana talangan, PENYIMPANGAN ASPEK MARKETING MEKANISME PENANGANAN PEMBIAYAAN “DEFAULT” PENGENAAN PINALTY COVER ASURANSI PROSES DAN PEMILIHAN LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA mhd/dps/lppi/2015 PENGGUNAAN DANA ZAKAT & DANA SOSIAL
RESIKO LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 1. 2. 3. 4. 5. 6. Risiko likuiditas Risiko operasional Risiko pasar Resiko Investasi Resiko Pembiayaan Risiko hukum 7. Risiko Syariah (Investasi dan Imbal Hasil) 8. Risiko reputasi Risiko strategis Risiko kepatuhan 9. 10.
SIAPA YANG BERKOMPETENSI MEMBUAT PERNYATAAN HUKUM SYARIAH DAN MENGAWASI PRAKTEK PENGELOLAAN DAN OPERASIONAL PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA ?
PERATURAN PER UU YANG MENGATUR DPS 1. UU no 40 thn 2007 tentang Perseroan Terbatas (pasal 109) 2. UU no 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 3. PBI 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip Syariah 4. PBI no. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional 5. PBI 11/3/2009 tgl 29 Januari 2009 tentang Bank Umum Syariah 6. PBI 11/10/2009 tgl 19 maret 2009 tentang Unit Usaha Syariah 7. PBI 11/33/2009 tgl 7 Desember 2009 tentang Pelaksanaan GCG BUS & UUS 8. SE BI no 12/13/DPBS 20010 tentang Pelaksanaan CCG Bank Syariah 9. PBI 13/2/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank umum 10. PBI 13/23/2011 tentang managemen resiko bagi BUS & UUS 11. Keputusan DSN MUI no 2 tahun 2002 tentang Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga DSN MUI 12. Keputusan DSN MUI no 3 tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Lembaga Keuanagn mhd/dps/lppi/2015 16 Syariah (LKS)
UU no 40 thn 2007 tentang Perseroan Terbatas(pasal 109) Perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah selain memiliki dewan komisaris, wajib memiliki Dewan Pengawas syariah (1) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bertugas memberikan saran dan nasehat pada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah (3)
UU no 21 thn 2008 tentang Perbankan Syariah (pasal 32) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (1) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Peraturan Bank Indonesia (4) 18 mhd/dps/lppi/2015
“ DEWAN PENGAWAS SYARIAH ADALAH DEWAN YANG BERSIFAT INDEPENDEN, YANG DIBENTUK OLEH DEWAN SYARIAH NASIONAL DAN DITEMPATKAN PADA BANK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH, DENGAN TUGAS YANG DIATUR OLEH DEWAN SYARIAH NASIONAL “. SK DIR. Bank Indonesia 32/34/kep/Dir 1999 pasal 1 (j)
Persyaratan Anggota DPS n n Integritas 1. Akhlak, moral baik 2. Komitmen atas ketentuan dan pengembangan BS 3. Tidak termasuk dlm daftar tidak lulus Kompetensi 1. Pengetahuan dan pengalaman syariah mu’amalah dan pengetahuan bidang perbankan/keuangan Reputasi Keuangan 1. Tidak termasuk dlm kredit macet 2. Tidak dinyatakan pailit Lulus Fit Proper ¨ ¨ DSN MUI Otoritas Jasa Keuangan RI
Tugas dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) 1. Mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
2. Dalam Struktur Internal Perseroan : Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor canang syariah mengenai hal -hal yang terkait dengan aspek syariah. b) Sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. a)
DPS di beberapa Bank Syariah Dunia Jumlah anggota Bank Pengawas Syariah AL-baraka Islamic Investment bank Shariah Committee 3 Bank Islam Malaysia berhad Shariah Supervisory council 6 Beit Ettamwill tounsi Saudi, Tunisia Shariah adviser 1 Dubai Islamic bank Shariah Supervisory Board 3 El-Gharb Islamic bank of Sudan Shariah Supervisory Board 3 Faisal Islamic Bank of Kibris Ltd Religious Supervisory Board 3 Faysal Islamic Bank of Bahrain Religious Supervisory Board 4 Islami Bank Bangladesh Limited Shariah Council 10 Islamic Bank of Bahrain Religious Control Commitee 6 Islamic Co-op Dev. Bank of Sudan Shariah Supervisory Board 2 Jordan Islamic Bank Shariah Advisory Commitee 3 Kuwait Finance House Fatwa and Shariah Supervisory 6 Authority Board Qatar Internasional Islamic Bank Tadamon Islamic Bank of Sudan 23 mhd/dps/lppi/2015 Religious Supervisory Committee 3 Fatwa and Research Department -
APA DAN BAGAIMANA DEWAN SYARIAH NASIONAL
(Kep DSN MUI no 1 thn 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional MUI) Dewan Syariah Nasional dibentuk oleh MUI dengan tugas mengawasi dan mengarahkan lembaga-lembaga keuangan syariah untuk mendorong penerapan nilai-nilai ajaran Islam dalam kegiatan perekonomian dan keuangan (Menimbang poin (a)) DSN berwenang (Bag IV poin 2 ): 1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing LKS dan menjadai dasar tindakan hukum pihak terkait 2. Mengeluarkan Fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia 3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada LKS 4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah termasuk otoritas meneter /lembaga keuangan dalam maupun luar negeri 5. Memberikan peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN 6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan yang telah dikeluarkan tidak diindahkan
Tugas dan Wewenang 1. Dewan Syariah Nasional bertugas : . Mengeluarkan fatwa atas semua jenis-jenis kegiatan keuangan. b) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang , seperti. Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. c) Mengawasi penerapan fatwa yang telah di keluarkan a)
Bagaimana Fatwa dikeluarkan? n n DSN mengeluarkan fatwa mengenai suatu produk, jasa, dan ketentuan setelah mendapatkan suatu permohonan fatw dari otoritas moneter atau LKS. BPH-DSN melakukan pengkajian seara mendalam mengenai persoalan yang diminta fatwanya dengan melakukan rapat intensif dan workshop. BPH-DSN merumuskan draft fatwa untuk dibahas lebih lanjut dalam rapat pleno DSN. Jika dalam rapat pleno DSN telah menyetujui draft fatwa, maka draft fatwa tersebut telah sah menjadi fatwa.
Proses Keluarnya Fatwa Otoritas Keuangan/ LKS Meminta Fatwa DSN (1) (2) Fatwa (4) BPH-DSN Pleno menyetujui draft fatwa Rapat pleno DSN Pendalaman masalah dan perumusan fatwa dilakukan oleh BPH (3) BPH melakukan workshop dan pengkajian workshop dandan pengkajian secara intensif dan melibatkan jasa para pakar di bidang terkait
Hubungan antara DSN dan Otoritas Keuangan Dewan Syarian Nasional (DSN) Mengeluarkan Fatwa Meminta Fatwa Lembaga Keuangan Syariah LKS Produk dan jasa Lembaga Keuangan Syariah Otoritas Keuangan (BI dan Dep. Keu a. Ketentuan operasional kegiatan usaha b. Dasar kesyariahan suatu produk dan jasa
MUI, DSN dan DPS Majelis Ulama Indonesia Dewan Syariah Nasional Dewan Pengawas Syariah
FATWA-FATWA DSN MUI TAHUN 2000 S/D 2017 31
Fatwa mengenai Perbankan syariah (73) Fatwa mengenai Asuransi Syariah (6) Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (116) Fatwa mengenai Pasar Modal Syariah (18) Fatwa mengenai berbagai hal pada keuangan Syariah (19) 32 32
q Fatwa No 1 tentang Giro q Fatwa No 2 tentang Tabungan q Fatwa No 3 tentang Deposito q Fatwa No 4 tentang Murabahah q Fatwa No 5 tentang Jual Beli Salam q Fatwa No 6 tentang Jual Beli Istishna’ q Fatwa No 7 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) q Fatwa No 8 tentang Pembiayaan Musyarakah q Fatwa No 9 tentang Pembiayaan Ijarah 33
q Fatwa No 10 tentang Wakalah q Fatwa No 11 tentang Kafalah q Fatwa No 12 tentang Hawalah q Fatwa No 13 tentang Uang Muka dalam Murabahah q Fatwa No 14 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS q Fatwa No 15 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS q Fatwa No 16 tentang Diskon dalam Murabahah q Fatwa No 17 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
q. Fatwa No 18 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS q. Fatwa No 19 tentang al-Qardh q. Fatwa No 20 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah q. Fatwa No 21 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah q. Fatwa No 22 tentang Jual Beli Istishna’ Paralel q. Fatwa No 23 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah q. Fatwa No 24 tentang Safe Deposit Box q. Fatwa No 25 tentang Rahn q. Fatwa No 26 tentang Rahn Emas 35
q. Fatwa No 27 tentang Al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik q. Fatwa No 28 tentang Jual Beli Mata Uang (Sharf) q. Fatwa No 29 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji LKS q. Fatwa No 30 tentang Pembiayaan Rekening Koran Syariah q. Fatwa No 31 tentang Pengalihan Hutang q. Fatwa No 32 tentang Obligasi Syariah 36
q Fatwa No 33 tentang Obligasi Syariah Mudharabah q Fatwa No 34 tentang L/C Impor Syariah q Fatwa No 35 tentang L/C Ekspor Syariah q Fatwa No 36 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) q Fatwa No 37 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS) q Fatwa No 38 tentang Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank q Fatwa No 39 tentang Asuransi Haji
q Fatwa No 40 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal q Fatwa No 41 tentang Obligasi Syariah Ijarah q Fatwa No 42 tentang Syariah Charge Card q Fatwa No 43 tentang Ganti Rugi (Ta’widh) q Fatwa No 44 tentang Pembiayaan Multijasa q Fatwa No 45 tentang Line Facility (al-Tashilat) q Fatwa No 46 tentang Potongan Tagihan Murabahah q Fatwa No 47 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tidak Mampu Bayar
q. Fatwa No 48 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah q. Fatwa No 49 tentang Konversi Akad Murabahah q. Fatwa No 50 tentang Mudharabah Musytarakah q. Fatwa No 51 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah q. Fatwa No 52 tentang Akad Wakalah bil-Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah q. Fatwa No 53 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah q. Fatwa No 54 tentang Syariah Card ( ﺑﻄﺎﻗﺔ ﺍﻹﺋﺘﻤﺎﻥ 39
q Fatwa No 55 tentang PRKS Musyarakah q Fatwa No 56 tentang Ketentuan Review Ujrah pada LKS q Fatwa No 57 tentang L/C dengan Akad Kafalah bil Ujrah q Fatwa No 58 tentang Hawalah bil Ujrah q Fatwa No 59 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi q Fatwa No 60 tentang Penyelesaian Piutang dalam Ekspor q Fatwa No 61 tentang Penyelesaian Utang dalam Impor
q Fatwa No 62 tentang Akad Ju'alah q Fatwa No 63 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) q Fatwa No 64 tentang SBIS Ju'alah q Fatwa No 65 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu q Fatwa No 66 tentang Waran q Fatwa No 67 tentang Anjak Piutang q Fatwa No 68 tentang Rahn Tasjili q Fatwa No 69 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) 41
q. Fatwa No 70 tentang Metode Penerbitan SBSN q. Fatwa No 71 tentang Sale and Lease Back q. Fatwa No 72 tentang SBSN Ijarah Sale and Lease Back q. Fatwa No 73 tentang Musyarakah Mutanaqisah q. Fatwa No 74 tentang Penjaminan Syariah q. Fatwa No 75 tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) q. Fatwa No 76 tentang SBSN Ijarah Asset To
q Fatwa No 78 tentang Mekanisme dan Instrumen Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah q Fatwa No 79 tentang Qardh dengan Menggunakan Dana Nasabah q Fatwa No 80 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek q Fatwa No 81 tentang Pengembalian Kontribusi Tabarru’ bagi Peserta Asuransi yang Berhenti Sebelum Masa Perjanjian Berakhir
q Fatwa No 82 tentang Perdagangan Komoditi berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa Komoditi q Fatwa No 83 Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah q Fatwa No 84 Metode Pengakuan Keuntungan Al-Tamwil Bi Al-Murabahah (Pembiayaan Murabahah) di Lembaga Keuangan Syariah q Fatwa No 85 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah q Fatwa No 86 tentang Hadiah dalam Penghimpunan Dana Lembaga Keuangan Syariah
q Fatwa No 87 tentang Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga q Fatwa No 88 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Program Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah q Fatwa No 89 tentang Pembiayaan Ulang (Refinancing) Syariah q Fatwa No 90 tentang Pengalihan Pembiayaan Murabahah Antar Lembaga Keuangan Syariah (LKS) q Fatwa No 91 tentang Pembiayaan Sindikasi (al -Tamwil al-Mashrifi al-Mujamma’)
q Fatwa No 92 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn (al-Tamwil al-Mautsuq bi al. Rahn) q Fatwa No 93 tentang Keperantaraan (Wasathah) dalam Bisnis Properti q Fatwa No 94 tentang Repo Surat Berharga Syariah (SBS) Berdasarkan Prinsip Syariah q Fatwa No 95 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Wakalah q Fatwa No 96 tentang Tranaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth AL-Islami / Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar
q Fatwa No 97 tentang Sertifikat Deposito Syariah q Fatwa No 98 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah q Fatwa No 99 tentang Anuitas Syariah untuk Program Pensiun q Fatwa No 100 Pedoman Transaksi Voucher Multi Manfaat Syariah q Fatwa No 101 tentang Akad Al-Ijarah Al. Maushufah fi Al-Dzimmah
q Fatwa No 102 tentang Akad Al-Ijarah Al. Maushufah fi Al-Dzimmah untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Indent q Fatwa No 103 tentang Novasi Subjektif Berdasarkan Prinsip Syariah q Fatwa No 104 tentang Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah q Fatwa No 105 tentang Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah dan Wakalah bil Istitmar
q Fatwa No 106 tentang Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah q Fatwa No 107 tentang Pedoman Penyelenggraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah q Fatwa No 108 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah q Fatwa No 109 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah
q. Fatwa No 110 tentang Akad Jual Beli q. Fatwa No 111 tentang Akad Jual Beli Murabahah q. Fatwa No 112 tentang Akad Ijarah q. Fatwa No 113 tentang Akad Wakalah bi Al -Ujrah q. Fatwa No 114 tentang Akad Syirkah q. Fatwa No 115 tentang Akad Mudharabah q. Fatwa No 116 tentang Uang Elektronik Syariah
Peran bank sebagai lembaga intermediasi DEPOSIT Surplus unit KREDIT BANK Bunga deposit Deficit unit Bunga Kredit Bank Debitur Nasabah Kreditur Debitur 10/15/2021 51
Produk Penghimpunan Dana n No: 01/DSN-MUI/IV/2000 - GIRO Giro yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaiutu giro yang berdasarkan perhitungan bunga. - Gito yang dibenarkan secara syari’ah. Yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. - n No: 02/DSN-MUI/IV/2000 - TABUNGAN n No: 03/DSN-MUI/IV/2000 - DEPOSITO -Deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu Deposito yang berdasakan dperhitungan bunga. -Deposito yang dibenarkan, yaitu Deposito yang berdasarkan prinsip Mudharabah. -Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga. -Tabugan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wai’dah.
Peran Bank Syariah Sebagai Lembaga Intermediasi -Titipan - Investasi Surplus unit (shahibul mal) Bagi hasil / bonus - Jual-beli BANK Deficit unit Bagi Hasil/Margin/Fee Bank Syariah tidak menghadapi negative spread
SE BI No. 10/14/DPb. S Maret 2008 n Giro dan Tabungan Wadi’ah : a. b. c. d. e. f. Bank bertindak sebagi penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai penitip dana. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah. Bank tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembuaan dan penggunaan produk Giro atau Tabungan atas dasar Akad Wadi’ah, dalam bentuk perjanjian tertulis. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya – biaya yang terkait langsung denan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya kartu ATM, buku/cek/bilyet giro, biaya meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah dan Dana titipan dapat diambil setiap saat oleh nasabah.
SE BI No. 10/14/DPb. S Maret 2008 n Giru Mudharabah : a. b. c. d. e. f. Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan Nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal); Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah; Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Giro atas dasar Akad Mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya – biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya cek/bilyet giro, biaya meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan danpenutupan rekening. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah.
SE BI No. 10/14/DPb. S Maret 2008 n Tabugan dan Deposito Mudharabah : a. b. c. d. e. f. g. h. i. Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal). Pengelolaan dana oleh Bank dapat dilakukan sesuai batasan yang ditetapkan oleh pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau dilakukan dengan tanpa batasan – batasan dari pemilik dana (mudharabah mutlaqah). Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pemukaan dan penggunaan prodk Tabugan dan Deposito atas dasar Akad Mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam Akad Mudharabah Muqayyadah harus dinyatakan secara jelas syarat-syarat dan batasan tertentu yang ditentukan oleh nasabah. Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati. Penarikan dana oleh nasabah hanya dapat dilakukan sesuai waktu yang disepakati. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening. Bank tidak di perbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.
Produk Jasa n n n No: 10/DSN-MUI/IV/2000 WAKALAH No: 11/DSN-MUI/IV/2000 KAFALAH No: 12/DSN-MUI/IV/2000 HAWALAH No: 19/DSN-MUI/IV/2000 AL-QARDH No: 25/DSN-MUI/IV/2000 RAHN No: 28/DSN-MUI/IV/2000 AL-SHARF
Kafalah n n Akad Pemberian jaminan (makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihalk lain dimana Bank sebagai pemberi jaminan (kafiil) bertanggung jawab atas pembayaran kembai suatu hutang yang menjadi hak Nasabah sebagai penerima jaminan (makful). Penjamin dapat menerima Imbalan sepanjang tidak memberatkan. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan sepihak. Untk jasa Bank Garansi, Surat Referensi.
SE BI No. 10/14/DPb. S Maret 2008 n Jasa pemberian jaminan atas dasar akad Kafalah merupakan suatu pelayanan Bank Syariah dimana Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga. Obyek penjaminan dalam kafalah merupakan kewajiban pihak/orang yang meminta jaminan dengan nilai, jumlah, dan spesifikasi yang jelas serta tidak bertentangan dengan syariah (tidak diharamkan). Dalam pelaksanaan pemberian jaminan tersebut Bank Syariah dapat meminta jaminan berupa Cash Collateral atau bentuk jaminan lainnya atas nilai penjaminan dan Bank dapat memperoleh imbalan atau fee atas jasa pemberian jaminan tersebut.
Hawalah n n n Akad pengalihan hutang dari Nasabah sebagai pihak yang berhutang kepada Bank sebagai pihak lain yang wajib menanggung (membayar). Bank sebagai muhil (pihak yang berhutang sekaligus berpiutang), Nasabah #1 sebagai Muhal (pihak yang berpiutang), Nasabah #2 sebagai muhal’alaih (pihak yang berhutang). Untuk jasa anjak piutang.
SE BI No. 10/14/DPb. S Maret 2008 n Pemberian Jasa pengalihan Utang atas dasar Hawalah terdiri dari Hawalah Mutlaqah dan Hawalah Muqayyadah. Hawalah Mutlaqah ialah transaksi yang berfungsi utnuk pengalihan utang para pihak yang menimbulkan adanya dana keluar (cash out) Bank. Hawalah Muqayyadah ialah transaksi yang berfungsi untuk melakukan set-off utangpiutang diantara 3 (tiga) pihak yang memiliki hubungan muamalat (utang piutang) melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan adanya dana keluar (cash out).
Qardh n n n Akad pinjaman uang dari Bank (muqridh) kepada Nasabah (muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan yang jumlah sama sesuai pinjaman pada waktu yang telah disepakati bersama. Biaya administrasi dapat dibebeankan kepada Nasabah. Bank dapat meminta jaminan kpd Nasabah bilamana dipandang perlu. Nasabah dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela selama tidak diperjanjikan dalam akad. Untuk jada bridging financing.
SE BI No. 10/14/DPb. S Maret 2008 n Pembiayaan atas dasar Akad Qardh a. b. c. d. e. f. g. h. Bank bertindak sebagai penyedia dana utnuk memberikan pinjaman ( Qardh) kepada nasabah berdasarkan kesepakatan. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Qardh, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah. Bank wajib melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas dasar Qardh kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Characet). Bank dilarang dengan alasan apapun tuntuk meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai akad. Beank dilarang untuk membebankan biaya apapun atas penyaluran Pembiayaan atas dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Qardh. Pengembalian jumlah pembiayaan atas dasar Qard, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah di sepakati. Dalam hal nasabah digolongkan mampu namun tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu telah disepaktai, maka Bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah.
Rahn n n Akad penyerahan barang/harta (marhun) milik Nasabah (rahin) kepada Bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutangnya. Pinjaman uang (hutang) dari Bank berdasarkan akad Qardh. Biaya administrasi, pemeliharaan, dan penyimpanan barang/harta dibebankan kepada Nasabah berdasarkan akad Ijarah. Besarnya biaya administrasi, pemeliharaan, dan penyimpanan barang/harta tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman uang. Untuk jasa gadai syariah.
Sharf n Prinsip transaksi jual-beli mata uang sesuai Syariah : Ø Tidak untuk spekulasi Ø Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga – jaga. Ø Bila mata uang sejenis, maka nialainya harus sama dan pertukaran secara tunai. Ø Bila mata uang berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan
SE BI No. 10/14/DPb. S Maret 2008 n Jasa pertukaran Mata Uang atas dasar akad Sharf merupakan pelayanan jasa Bank Syariah dimana Bank dapat bertindak baik sebagai pihak yang menerima penukaran maupun pihak yang menukarkan uang dari atau kepada nasabah. Transaksi pertukaran uang tuntuk mata uang berlainan jenis (valuta asing) Hanya dapat dilakukan secara tuai dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan (spot).
SAFE DEPOSIT BOX Jika dilihat dari praktik safe deposit box, sifat dan karakter dari safe deposit box identik dengan akad Ijarah (sewa). Dalam konteks ini, pihak bank sebagai pihak yang menyewakan (muajjir), sedangkan nasabah sebagai penyewa (Musta’jir). Obyek sewa (manfaat) adalah jasa safe deposit box, dan nasabah diwajibkan untuk membayar upah atas jasa yang di terima. Rukun dan syara Ijarah dalam praktek Safe deposit box merujuk pada Penjelasan Fatsa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah. Barang – barang yang disimpan dalam safe deposit box adalah barang berharga yang tidak diharamkan oleh syariah dan tidak dilarang oleh negara. Besar biaya sewa ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Selain itu, hak dan kewajiban pemberi sewa dan penyewa ditentukan berdasarkan kesepakatan sepanjang tidak bertentangan dengan rukun dan syarat ijarah.
Pembiayaan Rekening Koran Syariah Musyarakah Fatwa DSN Nomor: 55/DSN-MUI/V/2007 Pendahuluan Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah fasilitas pembiayaan rekening koran, yaitu fasilitas pinjaman atau pembiayaan dari rekening koran dengan ketentuan yang disepakati. Bahwa fatwa yang telah diterbitkan mengenai pembiayaan rekening koran syari’ah belum meliputi akad Musyarakah. Bahwa oleh karena itu, Dewan Syari’ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang pembiayaan rekening koran Sya’ri’ah berdasarkan akad Musyarakah untuk dijadikan pedoman.
Pembiayaan Rekening Koran Syariah Musyarakah Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan a. b. c. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembiayaan rekening koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah. Wa’d adalah kesepakatan atau janji dari satu pihak (LKS) kepada pihak lain (nasabah) untuk melaksanakan sesuatu. Akad adalah transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan kewajiban. Mbiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) Musyarakah dilakukan berdasarkan akad musayarakah dan boleh disertai dengan wa’d. LKS dan nasabah bertindak selaku mitra (syarik), yang masing-masing berkewajiban menyediakan modal dan kerja. LKS boleh mewakilkan kepada nasabah dalam melaksanakan usaha sepanjang disepakai pada saat akad. Nisbah bagi hasil untuk masing-masing pihak disepakati pada saat akad. Dasar perhitungan bagi hasil boleh menggunakan jumlah dana yang telah terpakai dan keuntungan yang diperoleh dari usaha. LKS boleh memberikan sebagian keuntungan yang di perolehnya kepada nasabah. Ketentuan tentang wa’d dan akad merujuk kepada fatwa No. 30/DSN-MUI/VI/2002 tentang PRK Syariah dan fatwa No. 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility. Fatwa DSN nomor: 8/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah berlaku pula dalam pelaksanaan pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) Musyarakah.
Ketentuan Review Ujrah pada LKS Fatwa DSN Nomor: 56/DSN-MUI/V/2007 Pendahuluan a. b. c. d. Bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad Ijarah. Bahwa kebutuhan akan ijarah kini dapat dilayani oleh lembaga keuangan syari’ah (LKS) melalui akad pembiayaan ijarah. Bahwa ujrah dalam ijarah harus disepakati pada saat akad. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu terkadang salah satu atau para pihak memandang perlu untuk melakukan revies atas besaran ujrah yang telah disepakati tersebut. Bahwa agar review atas ujrah dilakukan sesuai dengan prinsip syar’iah, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang review ujrah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Ketentuan Review Ujrah pada LKS Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan a. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. b. Review Ujrah adalah peninjauan kembali terhadap besarnya ujrah dalam akad ijarah antara LKS dengan nasabah setelah periode tertentu.
Ketentuan Review Ujrah pada LKS Ketentuan Hukum 1. Review Ujrah boleh dilakukan antara pihak yang melakukan akad ijarah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. b. c. Terjadi perubahan periode adak ijarah. Ada indikasi sangat kuat bahwa bila tidak dilakukan review, maka akan timbul kerugian bagi salah satu pihak. Disepakati oleh kedua belah pihak. 2. Review atas besaran ujrah setelah periode tertentu: a. b. c. d. Ujrah yang telah disepakati untuk suatu periode akad Ijarah tidak boleh dinaikkan. Besaran ujrah boleh ditinjau ulan guntuk periode berikutnya dengan cara yangg diketahui dengan jelas (Formula tertentu) oleh kedua belah pihak. Peninjauan kembali besaran ujrah setelah jangka waktu tertentu harus disepakati kedua pihak sebelumnya dan disebutkan dalam akad. Dalam keadaan seewa yang berubah-ubah, sewa untuk periode akad pertama harus dijelaskan jumlahnya. Untuk periode akad berikutnya boleh berdasarkan rumusan yang jelas dengan ketentuan tidak menimbulkan perselisihan.
Letter of Credit Akad Kafalah bil Ujroh Fatwa DSN Nomor: 57/DSN-MUI/V/2007 Pendahuluan a. Bahwa salah satu bentuk jasa Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) adalah penyediaan fasilitas penjaminan transaksi perdagangan luar negeri yang di lakukan oleh nasabah, yang dikenal dengan istilah Letter of Credit (L/C). b. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan transaksi L/C tersebut, LKS berkewajiban untuk menyediakan skema panjaminan yang berdasarkan prinsip-prinsip syar’iah. c. Bahwa di antara prinsip syari’ah dalam menjalankan transaksi tersebut adalah penggunaan akad kafalah. d. Bahwa agar kegiatan L/C tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syari’ah, DSN memeandang perlu menetapkan fatwa tentang Letter Of Credic (L/C) dengan Akad Kafalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Letter of Credit Akad Kafalah bil Ujroh a. b. 1. 2. 3. Kafalah adalah akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil). L/C Akad Kafalah Nil Ujrah adalah transaksi perdagangan ekspor impor yang menggunakan jasa LKS berdasarkan akad Kafalah, dan atas jasa tersebut LKS memperoleh fee (ujrah). Seluruh rukun dan syarat akad Kafalah Bil Ujrah dalam fatwa ini merujuk pada fatwa No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah. Penerapan akad Kafalah dalam transaksi L/C ekspor maupun impor merujuk kepada fatwa No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) impor Syariah dan fatwa No. 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah. Fee atas transaksi akad afalah harus disepakati dan dituangkan di dalam akad.
Hawalah bil Ujroh Fatwa DSN Nomor: 58/DSN-MUI/V/2007 Pendahuluan a. Bahwa fatwa DSN no. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah belum mengatur hawalah muthlaqah dan ketentuan ujrah/fee dalam hawalah. b. Bahwa akad Hawalah bil ujrah diperlukan oleh LKS guna memenuhi kebutuhan objektif dalam rangka memberikan pelayanan terhadap nasabah. c. Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang Hawalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman. a. b. c. d. Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain, terdiri atas hawalah muqayyadah dan hawalah muthlaqah. Hawalah muqayyadah adalah hawalah dimana muhil adalah orang yang berutang sekaligus berpiutang kedapa muhal’alaih sebagaimana dimaksud dalam fatwa No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah muthlaqah adalah hawalah dimana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal’alaih. Hawalah bil ujrah adalah hawalah dengan pengenaan ujrah/fee.
Hawalah bil Ujroh Ketentuan Akad 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Hawalah bil ujrah hanya berlaku pada hawalah muthlawah Dalam hawalah muthlawah, muhal’alaih boleh menerima ujrah/fee atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak. Pertanyaan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara – cara komunikasi modern. Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang terkait. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal berpindah kepada muhal’alaih. LKS yang melakukan akad Hawalah bil Ujrah boleh memberikan sebagian fee hawalah kepada shahibull mal.
Penyelesaian Piutang Dalam Ekspor Fatwa DSN Nomor: 60/DSN-MUI/V/2007 Pendahuluan a. Bahwa fatwa DSN No. 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor belum meliputi ketentuan tentang penyelesaian piutang yang timbul dari transaksi ekspor. b. Bahwa ketentuan tentang penyelesaian piutang dalam transaksi ekspor diperlukan oleh LKS guna memenuhi kebutuhan objektif dalam rangka memberikan pelayanan terhadap nasabah. c. Bahwa agar penyelesaian piutang dalam transaksi ekspor dilakukan sesuai dengan prinsip syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional memandang menetapkan fatwa tentang hal tersebut untuk dijadikan pedoman. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Penyelesaian piutang dalam Ekspor adalah pengalihan Penyelesaian piutang dari pihak yang berpiutang kepada LKS, kemudian LKS menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang.
Penyelesaian Piutang Dalam Ekspor Fatwa DSN Nomor: 60/DSN-MUI/V/2007 Pendahuluan a. Bahwa fatwa DSN No. 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor belum meliputi ketentuan tentang penyelesaian piutang yang timbul dari transaksi ekspor. b. Bahwa ketentuan tentang penyelesaian piutang dalam transaksi ekspor diperlukan oleh LKS guna memenuhi kebutuhan objektif dalam rangka memberikan pelayanan terhadap nasabah. c. Bahwa agar penyelesaian piutang dalam transaksi ekspor dilakukan sesuai dengan prinsip syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional memandang menetapkan fatwa tentang hal tersebut untuk dijadikan pedoman. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Penyelesaian piutang dalam Ekspor adalah pengalihan Penyelesaian piutang dari pihak yang berpiutang kepada LKS, kemudian LKS menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang.
Penyelesaian Piutang Dalam Ekspor Ketentuan Akad 1. Akad yang dapat digunakan dalam Anjak Piutang Ekpor adalah Wakalah bil Ujrah yang dapat disertai dengan Qardh. 2. Pihak yang berpiutang mewakilkan kepada pihak LKS untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor dan menagih piutang kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang. 3. LKS melakukan penagihan (collection) kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang. 4. LKS dapat memberikan dana talangan (Qardh) kepada pihak yang berpiutang sebesar nilai piutang. 5. Atas jasanya untuk melakukan pengurusan dokumen – dokumen ekspor dan menagih piutang tersebut, LKS dapat memperoleh ujrah/fee 6. Besar ujrah harus disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase yang dihitung dari pokok piutang. 7. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam akad. 8. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq)
Penyelesaian Piutang Dalam Impor Fatwa DSN Nomor: 61/DSN-MUI/V/2007 Pendahuluan a. Bahwa fatwa DSN No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C impor belum meliputi ketentuan penyelesaian utang yang timbul dari transaksi impor. b. Bahwa ketentuan penyelesaian utang dalam transaksi impor diperlukan oleh LKS guna memenuhi kebutuhan objektif dalam rangka memberikan pelayanan terhadap nasabah. c. Bahwa agar penyelesaian utang dalam transaksi impor dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang hal tersebut untuk dijadikan pedoman. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan Penyelesaian Utang Impor adalah pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada LKS, kemudian LKS membayar utang tersebut kepada pihak yang berpiutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berpiutang.
Penyelesaian Piutang Dalam Impor Ketentuan Fatwa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Akad yang dapat digunakan dalam penyelesaian utang impor adalah Hawalah bil Ujrah. LKS sebagai muhal alaih menerima pengalihan utang dari pihak yang berutang senilai utang impor. Pengalihan utang harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang terkait LKS sebagai muhal alaih boleh mengenakan ujrah/fee atas pengalihan utang. Besar ujrah harus disepakati secara jelas, teteap dan pasti pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase yang dihitung dari pokok utang. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara – cara komunikasi modern. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal berpindah kepada muhal’alaih.
Anjak Piutang Syariah Fatwa DSN Nomor: 67/DSN-MUI/V/2008 Pendahuluan a. Bahwa salah satu kegiatan usaha yang diperlukan masyarakat adalah kegiatan pembelian piutang dagang jangka pendek, atau yang biasa disebut anjak piutang. b. Bahwa kegiatan anjak piutang yang ada saat ini tidak sesuai dengan syariah karena kegiatan tersebut mengandung riba, gharar dan termasuk jual beli barang yang pada saat itu tidak dapat diserahterimakan (ghair maqdur altaslim). c. Bahwa agar transaksi anjak piutang dapat dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Syari’ah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang anjak Piutang Syariah untuk dijadikan pedoman. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Anjak Piutang Secara Syariah adalah pengalihan penyelesaian piutan atau tagihan jangka pendek dari pihak yang berpiutang kepada pihak lain yang kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak yang ditunjuk oleh pihak yang berutang sesuai prinsip syariah.
Anjak Piutang Syariah Ketentuan Umum 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Akad yang dapat digunakan dalam Anjak Piutang Secara Syariah adalah Wakalah bil Ujrah. Pihak yang berpiutang mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen penjualan kemudian menagih piutang kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang. Pihak yang ditunjuk menjadi wakil dari yang berpiutang untuk melakukan penagihan (collection) kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang untuk mebayar. Pihak yang ditunjuk menjadi wakil dapat memberikan dana talangan (Qardh) kepada pihak yang berpiutang sebesar nilai piutang. Atas jasanya untuk melakukan penagihan piutang tersebut, pihak yang ditunjuk menjadi wakil dapat meperoleh ujrah/fee. Besar ujrah harus disepakati pada saat akad dandinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk pronstase yang dihitung dari pokok piutang. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan atau sesuai kesepakatan dalam akad. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan ( ta’alluq)
Rahn Tasjily Fatwa DSN Nomor: 68/DSN-MUI/III/2008 Pendahuluan a. Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman atau transaksi lain yang menimbulkan utang piutang dengan memberikan jaminan barang dengan ketentuan barang tersebut masih dikuasai dan digunakan oleh pihak berutang. b. Bahwa pihak berpiutang berhak dengan mudah untuk melakukan eksekusi atas barang agunan yang masih dikuasai oleh peminjam jika terjadi wanprestasi. c. Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Rahn Tasjily untuk dijadikan pedoman. Rahn Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada murtahin.
Rahn Tasjily Ketentuan Fatwa DSN Nmor: 68/DSN-MUI/III/2008 Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn Tasjily dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Rahin menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada murtahin. b. Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke Murtahin. Dan apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya, Marhun dapat dijual paksa/dieksekusi langsung baik melalui lelang atau dijual ke pihak lain sesuai prinsip syariah. c. Rahin memberikan wewenang kepada Murtahin utnuk mengekseskusi barang tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya. d. Pemanfaatan barang marhun oleh rahin harus dalam batas kewajaran sesuai kesepakatan. e. Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaaan dan penyimpanan barang marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) yang ditanggung oleh rahin. f. Besaran biaya pemeliharaaan dan penyimpangan barang marhun tidak boleh dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan. g. Besaran biaya sebagaimana dimaksud huruf e tersebut didasarkan pada pengeluaran yang riil dan beban lainya berdasarkan akad Ijarah. h. Biaya asuransi pembiayaan Rahn Tasjily ditanggung oleh rahin.
Sale and Lease Back Fatwa DSN Nmor: 71/DSN-MUI/VI/2008 Pendahuluan a. Bahwa dalam masyarakat berkembang suatu kebutuhan jual beli suatu aset untuk kemudian pembeli menyewakan kembali aset kepada penjual, yang disebut dengan Sale and lease back. b. Bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, diperlukan aturan Sale and Lease Back yang sesuai dengan prinsip syariah. c. Bahwa berdasarkan pertimbangan, sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentans Sale and Lease Back untuk dijadikan pedoman. Sale and Lease Back adalah jual beli suatu aset yang kemudian pembeli menyewakan aset tersebut kepada penjual.
Sale and Lease Back Fatwa DSN Nomor: 71/DSN-MUI/VI/2008 Ketentuan Fatwa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Akad yang digunakan adalah Bai’dan Ijarah yang dilaksanakan secara terpisah. Dalam akad Bai’, pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual kembali kepadanya aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan. Akad Ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset yang akan dijadikan sebagai obyek Ijarah. Obyek Ijarah adalah barang yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis. Rukun dan syarat Ijarah dalam fatwa Sale and Lease Back ini harus memperhatikan substansi ketentuan terkait dalam fatwa DSN-MUI nomor : 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad. Biaya-biaya yang timbul dalam pemeliharaan Obyek Sale and Lease Back diatur dalam akad.
Musyarakah Mutanaqishah Fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 Pendahuluan a. Bahwa pembiayaan musyarakah memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, sehingga dapat menjadi alternatif dalam proses kepemilikan aset (barang) atau modal. b. Bahwa kepemilikan aset (barang) atau modal sebagaimana dimaksud dalam butir A dapat dilakukan dengan cara menggunakan akad musyarakah mutanaqisah. c. Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip – prinsip syari’ah, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah mutanaqisah untuk dijadikan pedoman.
Musyarakah Mutanaqishah Fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 Ketentuan Umum a. Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. b. Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah) c. Hishshah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat musya’ d. Musya’ adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik.
Musyarakah Mutanaqishah Fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 Ketentuan Akad 1. Akad Musyarakah Mutanaqisah terdiri dari akad Musyarakah/Syirkah dan Bai’ (jual-beli). 2. Dalam Musyarakah Mutanaqisah berlaku hukum sebagaimana yang diatur dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah, yang para mitranya memiliki hak dan kewajiban, diantaranya : A. Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad. B. Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad. C. Menanggung kerugian sesuai proporsi modal. 3. Dalam Akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya. 4. Jual Beli sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan sesuai kesepakatan. 5. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada syarik lainnya (nasabah).
Musyarakah Mutanaqishah Fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 Ketentuan Khusus 1. Aset Musyarakah Mutanaqisah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain. 2. Apabila aset Musyarakah menjadi obyek ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati. 3. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah terseut dibagi sesuai dengan nisbah proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik. 4. Kadar/Ukuran bagian/porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad. 5. Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.
- Slides: 91