DasarAlasan Penghapus Pidana Pengertian Halhal atau keadaan yang

  • Slides: 41
Download presentation
Dasar/Alasan Penghapus Pidana

Dasar/Alasan Penghapus Pidana

Pengertian Hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan tidak dijatuhkanya pidana pada seseorang yang telah

Pengertian Hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan tidak dijatuhkanya pidana pada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang & diancam dengan sanksi pidana oleh UU

 • Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden): menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yg

• Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden): menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yg benar • Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden): menghapus sifat kesalahan terdakwa meski perbuatannya bersifat melawan hukum tapi tidak pidana

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Ditinjau dari Keberlakuan Dasar Penghapus Umum • Dasar 2 penghapus

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Ditinjau dari Keberlakuan Dasar Penghapus Umum • Dasar 2 penghapus pidana yang dapat berlaku bagi setiap delik dan setiap orang Dasar Penghapus Khusus • Dasar 2 penghapus pidana yang hanya berlaku pada delik 2 tertentu dan orang 2 tertentu.

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Dalam KUHP (berdasarkan Kebelakuan) • • • Dasar Penghapus Umum

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Dalam KUHP (berdasarkan Kebelakuan) • • • Dasar Penghapus Umum Pasal 44 KUHP Pasal 48 KUHP Pasal 49 KUHP Pasal 50 KUHP Pasal 51 KUHP Dasar Penghapus Khusus 1. Pasal 166 KUHP 2. Pasal 221 KUHP

Alasan Penghapus Pidana Alasan Pemaaf (sisi sobyektif) pelakunya Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44) Daya

Alasan Penghapus Pidana Alasan Pemaaf (sisi sobyektif) pelakunya Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44) Daya paksa (overmacht) dalam Pasal 48 (setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat (noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1)) Alasan Pembenar (sisi obyektif) perbuatannya n n Menjalankan peraturan undang -undang (Pasal 50) Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer) dalam Pasal 49 ayat (1) 6

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin (Berdasarkan unsur yang dihapus) Dasar Pembenar: • Melawan

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin (Berdasarkan unsur yang dihapus) Dasar Pembenar: • Melawan hukum dihapuskan • Kesalahan dihapuskan Dasar Pemaaf: • Melawan hukum tetap ada • Kesalahan dihapuskan

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin Dasar Pembenar: • Melawan hukum dihapuskan • Kesalahan

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin Dasar Pembenar: • Melawan hukum dihapuskan • Kesalahan dihapuskan • Dalam hal ini perbuatannya dianggap tidak melawan hukum, walaupun perbuatannya itu dilarang dan diancam hukuman oleh UU/KUHP. Jadi dalam hal ini perbuatan pelaku dibenarkan/dibolehkan: • a. Pasal 48 KUHP: Noodtoestand/Keadaan Darurat • b. Pasal 49 ayat (1): Noodweer/Bela Paksa • c. Pasal 50: Melaksanakan perintah UU • d. Pasal 51 ayat (1): Perintah jabatan yang sah, dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang. • e. Tiada sifat melawan hukum dalam arti materil

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin Dasar Pemaaf: • Melawan hukum tetap ada •

Pembagian Dasar Penghapus Pidana Menurut Doktrin Dasar Pemaaf: • Melawan hukum tetap ada • Kesalahan dihapuskan • Dalam hal ini perbuatan pelaku tetap dianggap melawan hukum, namun unsur kesalahannya dihapuskan (dimaafkan): • a. Pasal 44 KUHP: ketidakmampuan utk bertanggung jawab krn sakit jiwa/idiot/imbisil. • b. Pasal 48 KUHP: Overmacht/Daya Paksa dalam arti sempit-relatif • c. Pasal 49 ayat (2) KUHP: pembelaan terpaksa yang melampaui batas • d. Pasal 51 ayat (2): Melakukan perintah jabatan yg tidak sah, namun yg diperintah dgn itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah. • e. tiada kesalahan dalam arti materil

Pasal 44 KUHP (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena

Pasal 44 KUHP (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, maka tidak dipidana (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan (3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri

Pasal 44 KUHP • Ada 2 penyebab tidak dapat dipidananya seseorang karena tidak mampu

Pasal 44 KUHP • Ada 2 penyebab tidak dapat dipidananya seseorang karena tidak mampu bertanggung jawab: 1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan 2. terganggu jiwanya karena penyakit

Apa yang dimaksud dengan Tidak Mampu Bertanggungjawab? • Mv. T KUHP: Tidak mampu bertanggung

Apa yang dimaksud dengan Tidak Mampu Bertanggungjawab? • Mv. T KUHP: Tidak mampu bertanggung adalah: • Apabila si pembuat tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-Undang; dan • Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya

Konsep Kemampuan Bertanggungjawab • Dapat diminta pertanggungjawaban pidana (Van Hamel): 1. Memahami arah tujuan

Konsep Kemampuan Bertanggungjawab • Dapat diminta pertanggungjawaban pidana (Van Hamel): 1. Memahami arah tujuan faktual dari tindakannya 2. Menyadari bahwa tindakan tsb. Secara sosial dilarang 3. Tindakan tsb. Dilakukan tanpa tekanan/paksaan dari orang lain (dilakukan berdasarkan kehendak bebasnya)

Pasal 44 KUHP • Jiwanya cacat dalam pertumbuhan adalah suatu cacat jiwa (abnormal) yang

Pasal 44 KUHP • Jiwanya cacat dalam pertumbuhan adalah suatu cacat jiwa (abnormal) yang melekat pada seseorang sejak lahir. Misalnya: imbisil, idiot, bisu tuli sejak lahir • Terganggu jiwanya karena penyakit: keadaan jiwa yang abnormal diderita bukan sejak lahir. Misalnya: gila, epilepsi. • Gangguan jiwa dapat bersifat fisik maupun psikis. Misalnya kecelakaan mobil karena serangan diabetes mendadak; atau akibat tak terduga dari reaksi terlambat dari obat tidur

Pasal 44 KUHP • Pompe: Jiwa cacat dalam tumbuhnya dan terganggu jiwa karena penyakit

Pasal 44 KUHP • Pompe: Jiwa cacat dalam tumbuhnya dan terganggu jiwa karena penyakit adalah bukan pengertian dari sudut kedokteran, tetapi dari pengertian hukum Hal yang harus ditinjau: (Adami Chazawi) Bukan semata-mata pada keadaan jiwa si pembuat, tetapi bagaimana hubungan jiwa si pembuat dengan perbuatan yang dilakukan

 • Untuk menetapkan ada atau tidaknya hubungan keadaan jiwa dengan perbuatan yang dilakukan

• Untuk menetapkan ada atau tidaknya hubungan keadaan jiwa dengan perbuatan yang dilakukan adalah wewenang hakim, dan bukan ahli jiwa

Pasal 44 KUHP • Hal yang harus diteliti dan diputuskan oleh hakim: 1. Apakah

Pasal 44 KUHP • Hal yang harus diteliti dan diputuskan oleh hakim: 1. Apakah pelaku menunjukkan perkembangan kejiwaan yang tidak sempurna atau mengalami gangguan kejiwaan? 2. Apakah tindak pidana yang dilakukannya merupakan akibat dari hal dalam no. 1; adakah hubungan kausal antara penyakit dan tindakan? 3. Apakah atas dasar hal-hal tsb. di atas, pertanggungjawaban pidana pelaku atas TP yang dilakukannya harus dikesampingkan?

Simons • Seorang ahli jiwa harus memberikan suatu keterangan tentang ada atau tidak adanya

Simons • Seorang ahli jiwa harus memberikan suatu keterangan tentang ada atau tidak adanya suatu pertumbuhan yang tidak sempurna atau suatu gangguan penyakit pada kemampuan akal sehat seseorang. Akan tetapi, hakim mempunyai kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti nasihat yang telah ia terima dari seorang ahli semacam itu

Pasal 48 KUHP • Overmacht (daya paksa dalam arti relatif/sempit) • Noodtoestand (perluasan daya

Pasal 48 KUHP • Overmacht (daya paksa dalam arti relatif/sempit) • Noodtoestand (perluasan daya paksa; disebut keadaan darurat)

Overmacht • Dorongan/kekuatan/paksaan yg tidak bisa dilawan, baik psikis maupun fisik dari manusia •

Overmacht • Dorongan/kekuatan/paksaan yg tidak bisa dilawan, baik psikis maupun fisik dari manusia • Paksaan: a. Vis Absoluta (paksaan absolut- manus ministra, pelaku hanya sebagai alat belaka) b. Vis Compulsiva (paksaan relatif ) diatur dalam Psl. 48 KUHP. Harus memenuhi asas: Subsidaritas & Proporsionalitas

Dua Asas Penting • Subsidiaritas Tiada jalan lain, tindakan tsb adalah satunya jalan •

Dua Asas Penting • Subsidiaritas Tiada jalan lain, tindakan tsb adalah satunya jalan • Proporsionalitas Keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan yang dikorbankan.

Noodtoestand (Keadaan Darurat) Dorongan/paksaan/kekuatan dari luar yang membuat seseorang terjepit, sehingga terpaksa melakukan suatu

Noodtoestand (Keadaan Darurat) Dorongan/paksaan/kekuatan dari luar yang membuat seseorang terjepit, sehingga terpaksa melakukan suatu delik. • Pada Noodtoestand pun harus dipenuhi asas subsidiaritas dan proporsionalitas

Daya Paksa dan Keadaan Darurat yang Putatief (Putatief Overmacht dan Putatief Noodtoestand) • Daya

Daya Paksa dan Keadaan Darurat yang Putatief (Putatief Overmacht dan Putatief Noodtoestand) • Daya Paksa yang Putatief: Mengira dirinya berada dalam keadaan Daya Paksa. Pelaku mengira dirinya berada dalam keadaan overmacht: mengira ada paksaan, dorongan, kekuatan yang membuatnya terpaksa melakukan delik Contoh: Ditodong “Pistol” (yang ternyata bukan pistol sesungguhnya), sehingga membuatnya melakukan tindak pidana • Keadaan darurat yang putatief: Mengira dirinya berada dalam keadaan Darurat Contoh: Untuk dapat segera keluar dari gedung bioskop yang terbakar, A merusak pintu; padahal banyak pintu darurat.

Pasal 49 KUHP • Pasal 49 ayat (1) Noodweer – Pembelaan terpaksa • Pasal

Pasal 49 KUHP • Pasal 49 ayat (1) Noodweer – Pembelaan terpaksa • Pasal 49 ayat (2) Noodweer Excess – Pembelaan terpaksa yang melampaui Batas

Pasal 49 ayat (1) KUHP Noodweer - Bela Paksa • Syarat ancaman serangan/serangan: 1.

Pasal 49 ayat (1) KUHP Noodweer - Bela Paksa • Syarat ancaman serangan/serangan: 1. 2. 3. 4. Melawan hukum Seketika/langsung Ditujukan pada diri sendiri/orang lain Terhadap: badan/tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda • Syarat pembelaan: 1. Seketika/langsung 2. Memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas

Serangan/ancaman serangan • Serangan berasal dari manusia. • Serangan nyata terhadap badan, kehormatan, kebendaan.

Serangan/ancaman serangan • Serangan berasal dari manusia. • Serangan nyata terhadap badan, kehormatan, kebendaan. • Acaman serangan: perbuatan yang menimbulkan ancaman seketika/langsung terhadap badan, kehormatan, kebendaan.

Seketika • Kapan terjadi serangan? • Kapan pembelaan dapat dilakukan? • Lamintang: Seketika diartikan

Seketika • Kapan terjadi serangan? • Kapan pembelaan dapat dilakukan? • Lamintang: Seketika diartikan serangan sudah dimulai, dan belum selesai; Noyon-Langemeijer: Ukuran dari kata “seketika”: (1) sifat bahaya yang telah mengancam secara langsung (2) pembatalan dari perbuatan tersebut tidak dapat diharapkan akan dilakukan oleh si penyerang

Pasal 49 ayat (2) KUHP Noodweer Excess – Pembelaan terpaksa yang melampaui batas •

Pasal 49 ayat (2) KUHP Noodweer Excess – Pembelaan terpaksa yang melampaui batas • Pembelaan tidak memenuhi asas subsidaritas dan proporsionalitas • Asas subsidaritas dan/atau proporsionalitas dilampaui • Yang harus dibuktikan: 1. Pembelaan lampau batas terjadi karena goncangan jiwa 2. Goncangan jiwa itu terjadi karena serangan Unsur: • Melampaui batas yang perlu • Adanya hubungan kausal antara pelampauan batas tersebut dengan serangan yang dilakukan.

Pasal 50 KUHP • Melaksanakan perintah UU contoh: algojo, eksekutor hukuman mati, dsb.

Pasal 50 KUHP • Melaksanakan perintah UU contoh: algojo, eksekutor hukuman mati, dsb.

Pasal 50 KUHP • • Ketentuan Per. UUan: Mencakup setiap ketentuan yang mengatur atau

Pasal 50 KUHP • • Ketentuan Per. UUan: Mencakup setiap ketentuan yang mengatur atau memberikan kewenangan tertentu, yang diterbitkan oleh penguasa yang memiliki kewenangan legislatif berdasarkan UU atau UUD Persyaratan: 1. Harus dengan tindakan –tindakan yang (secara logika) memang dianggap perlu 2. Ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan sarana-sarana yang dipakai untuk pencapaian tujuan

…. . lanjutan • Tugas yang dibebankan oleh ketentuan UU , tidak serta membenarkan

…. . lanjutan • Tugas yang dibebankan oleh ketentuan UU , tidak serta membenarkan semua tindakan yang dianggap perlu dalam rangka menyelesaikan tugas tersebut. • Contoh: Polisi yang bertugas menangkap, menahan dan memeriksa, maka kewenangan polisi hanya untuk menggunakan sarana yang layak dan tepat guna

Pasal 51 KUHP • Pasal 51 ayat (1) KUHP : Perintah yg dikeluarkan oleh

Pasal 51 KUHP • Pasal 51 ayat (1) KUHP : Perintah yg dikeluarkan oleh pejabat yg sah dan berwenang. Perintahnya adalah perintah yang sah. contoh: juru sita pengadilan, penangkapan/penyitaan/penahanan yang sah yang dilakukan oleh polisi

Pasal 51 KUHP • Pasal 51 ayat (2) KUHP: Perintah yg dikeluarkan oleh pejabat/atasan

Pasal 51 KUHP • Pasal 51 ayat (2) KUHP: Perintah yg dikeluarkan oleh pejabat/atasan yg tidak berwenang, jadi perintahnya tidak sah: 1. Yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah yang dikeluarkan adalah perintah yang tidak sah 2. Dalam batas-batas lingkungan yg diperintah 3. Ada hubungan antara atasan dan bawahan

2 Syarat Penggunaan Pasal 51 ayat (2) • Syarat Subyektif: Dengan itikad baik dia

2 Syarat Penggunaan Pasal 51 ayat (2) • Syarat Subyektif: Dengan itikad baik dia mengira bahwa perintah itu adalah sah • Syarat Obyektif: Pada kenyataannya pelaksanaan perintah itu masuk dalam bidang tugas pekerjaannya Kedua syarat ini bersifat kumulatif.

Syarat Subyektif • Terletak pada sikap batin penerima perintah, yaitu mengira bahwa perintah itu

Syarat Subyektif • Terletak pada sikap batin penerima perintah, yaitu mengira bahwa perintah itu sah • Alasan sikap batin tersebut harus berdasarkan hal-hal yang masuk akal • Untuk dapat diterima bahwa ia mengira perintah itu sah, harus dipenuhi 2 syarat: - Pejabat yang memberi perintah itu disadarinya adalah benar dan berhak - Hal yang diperintahkan disadarinya memang masuk lingkup kewenangan yang memberi perintah

Syarat Obyektif • Hal yang diperintahkan harus menjadi bidang pelaksanaan tugasnya • Ada hubungan

Syarat Obyektif • Hal yang diperintahkan harus menjadi bidang pelaksanaan tugasnya • Ada hubungan antara jabatannya dan tugas pekerjaan suatu jabatan

……lanjutan • Contoh: Pejabat Penyidik Pembantu Atas dasar perintah penyidik dia berwenang melakukan penangkapan,

……lanjutan • Contoh: Pejabat Penyidik Pembantu Atas dasar perintah penyidik dia berwenang melakukan penangkapan, yang sekaligus merupakan kewajiban untuk melaksanakan perintah tsb.

Permasalahan • Apakah perintah harus dalam bentuk konkrit tertentu? Harus tertulis? • Arrest Hoge

Permasalahan • Apakah perintah harus dalam bentuk konkrit tertentu? Harus tertulis? • Arrest Hoge Raad (7 -12 -1899): Pasal 51 tidak perlu perintah konkrit, tetapi termasuk juga instruksi umum • Perintah tidak perlu langsung diterima oleh pelaksana perintah (bisa melalui sarana komunikasi) • Berwenang: artinya luas, mencakup kompetensi yang memberi perintah dan keabsahan seluruh perintah

ALASAN PENGHAPUS PIDANA TIDAK TERTULIS Alasan Pembenar • Tiada Melawan Hukum Materil • Hak

ALASAN PENGHAPUS PIDANA TIDAK TERTULIS Alasan Pembenar • Tiada Melawan Hukum Materil • Hak Mendidik • Tindakan Medis • Persetujuan

ALASAN PENGHAPUS PIDANA TIDAK TERTULIS Dasar Pemaaf • AVAS (Afwezigheid Van Alle Schuld): -

ALASAN PENGHAPUS PIDANA TIDAK TERTULIS Dasar Pemaaf • AVAS (Afwezigheid Van Alle Schuld): - Error facti (kesesatan mengenai fakta) - Error juris (kesesatan mengenai hukum)

Pembedaan Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf terkait dgn masalah : • Penyertaan: salah satu

Pembedaan Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf terkait dgn masalah : • Penyertaan: salah satu peserta memiliki dasar pembenar maka perbuatan peserta lain juga dibenarkan (kolektif), namun alasan pemaaf hanya dimiliki peserta yg punya dasar pemaaf (individual) • Bunyi putusan hakim: lepas atau bebas