ASAS RUKUN DAN SYARAT HUKUM PERKAWINAN ISLAM Hukum

  • Slides: 55
Download presentation
ASAS RUKUN DAN SYARAT HUKUM PERKAWINAN ISLAM Hukum Perdata Islam 18 September 2013 FHUI,

ASAS RUKUN DAN SYARAT HUKUM PERKAWINAN ISLAM Hukum Perdata Islam 18 September 2013 FHUI, Depok

ASAS HUKUM PERKAWINAN ISLAM

ASAS HUKUM PERKAWINAN ISLAM

ASAS-ASAS HUKUM PERKAWINAN ISLAM 1. Asas kesukarelaan 2. Asas persetujuan 3. Asas kebebasan 4.

ASAS-ASAS HUKUM PERKAWINAN ISLAM 1. Asas kesukarelaan 2. Asas persetujuan 3. Asas kebebasan 4. Asas kemitraan suami-isteri 5. Asas untuk selama-lamanya 6. Asas kebolehan atau mubah 7. Asas kemaslahatan hidup 8. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat 9. Asas kepastian hukum 10. Asas personalitas keislaman 11. Asas monogami terbuka

1. Asas kesukarelaan l. Merupakan asas terpenting perkawinan Islam. l. Kesukarelaan antara kedua calon

1. Asas kesukarelaan l. Merupakan asas terpenting perkawinan Islam. l. Kesukarelaan antara kedua calon suami isteri, juga antara kedua orang tua kedua belah pihak.

2. Asas persetujuan l Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas kesukarelaan.

2. Asas persetujuan l Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas kesukarelaan. l Tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. l Pasal 16 -17 KHI: ¡Perkawinan atas persetujuan calon mempelai. ¡Dapat berupa: pernyataan tegas dan nyata. dgn tulisan, lisan atau isyarat yg mudah dimengerti atau diam. ¡Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. ¡Bila tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

3. Asas kebebasan l. Asas kebebasan memilih pasangan dengan tetap memperhatikan larangan perkawinan. l.

3. Asas kebebasan l. Asas kebebasan memilih pasangan dengan tetap memperhatikan larangan perkawinan. l. Pasal 18 (tidak terdapat halangan perkawinan), 39 -44 KHI (larangan perkawinan).

4. Asas kemitraan suami-isteri l Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat hak dan

4. Asas kemitraan suami-isteri l Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat hak dan kewajiban Suami Isteri: (Pasal 77 KHI) l Suami-isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan). (Q. S. an-Nisa (4) : 43 dan al-Baqarah (2) ayat 187. l Kemitraan menyebabkan kedudukan suami-isteri dalam beberapa hal sama, dan dalam hal yang lain berbeda. l Suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga. (Pasal 79 KHI).

5. Asas untuk selama-lamanya. l Menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina

5. Asas untuk selama-lamanya. l Menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q. S. ar-Rum (30) : 21). l Pasal 2 KHI akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan menjalankan ibadah.

6. Asas kebolehan atau mubah • Asal hukum melakukan perkawinan jika di hubungkan dengan

6. Asas kebolehan atau mubah • Asal hukum melakukan perkawinan jika di hubungkan dengan al-ahkam al-khamsah adalah kebolehan atau ibahah. • Q. S. An-Nisa (4): Ayat (1) Ayat (3): Ayat (24) • Namun kebolehan ini dapat berubah menjadi sunnah, meningkat menjadi wajib atau dapat juga turun menjadi makruh ataupun haram. Perubahan ini dapat terjadi karena berubahnya illah.

7. Asas kemaslahatan hidup l Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan suatu keluarga dalam rumah

7. Asas kemaslahatan hidup l Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan suatu keluarga dalam rumah tangga yang ma’ruf (baik), sakinah (tentram), mawaddah (saling mencintai), dan rahmah (saling mengasihi). l Q. S An Nisa: 1 l Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

8. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat l Tujuan perkawinan adalah mencegah melakukan perbuatan

8. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat l Tujuan perkawinan adalah mencegah melakukan perbuatan yang keji dan munkar. l Ada pencegahan perkawinan (Pasal 60 -69 KHI) dan pembatalan perkawinan (Pasal 70 -76 KHI)

9. Asas Kepastian Hukum l Hadits Rasul: Perkawinan harus diumumkan dengan mengadakan walimah l

9. Asas Kepastian Hukum l Hadits Rasul: Perkawinan harus diumumkan dengan mengadakan walimah l Pasal 5 -10 KHI l Perkawinan harus dicatat dan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah l Isbath Nikah di Pengadilan Agama l Rujuk dibuktikan dgn kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dari Pegawai Pencatat Nikah. l Putusnya perkawinan karena perceraian dibuktikan dengan putusan Pengadilan

10. Asas Personalitas Keislaman l Q. II : 221 Q. V : 5 Larangan

10. Asas Personalitas Keislaman l Q. II : 221 Q. V : 5 Larangan Perkawinan l KHI Pasal 40 huruf c wanita non-muslim dilarang dinikahi oleh laki-laki muslim l KHI Pasal 44: Wanita Muslim dilarang melangsungkan perkawinan dgn pria yang tidak beragama Islam

11. Asas monogami terbuka l Q. S. an-Nisa’ (4) ayat 3: “Dan jika kamu

11. Asas monogami terbuka l Q. S. an-Nisa’ (4) ayat 3: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat tapi jika kamu khawatir tidak akan berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. l Q. S. 4: 127: ”Dan mereka meminta fatwa kepadamu ttg perempuan. Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu ttg mereka dan apa yg dibacakan kepadamu dalam al Qur’an (juga memfatwakan) ttg para perempuan yatim yg tidak kamu memberikan sesuatu (mas kawin) yg ditetapkan utk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka dan (ttg) anak 2 yg masih dipandang lemah. Dan Allah menyuruh kamu agar mengurus anak 2 yatim secara adil dan kebajikan apapun yg kamu kerjakan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.

Asas monogami terbuka… l Q. S. An Nisa 129: “Dan kamu tidak akan dapat

Asas monogami terbuka… l Q. S. An Nisa 129: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri 2 mu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yg kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu melakukan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan maka sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. l Pasal 55 -59 KHI: Syarat poligami: ¡ terbatas hanya sampai empat isteri. ¡ suami harus mampu berlaku adil ¡ mendapat izin dari Pengadilan Agama, krn isteri : l tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; l mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan l tidak dapat melahirkan keturunan. ¡ sesuai Pasal 5 UU 1/1974 (Persetujuan isteri dan kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup isteri dan anak).

Persyaratan dan pembatasan Poligami: 1. Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari

Persyaratan dan pembatasan Poligami: 1. Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari empat orang (Q. S. 4 : 3 dan hadits nabi riwayat An. Nasai): nabi menyuruh Gailan bin Salamah al Tasqafi, seorang musyrik Mekah yang baru masuk Islam dan beristeri sepuluh orang, agar menceraikan isteri-isterinya yang lebih dari empat orang dan hanya boleh meneruskan hubungan perkawinannya dengan empat orang saja. 2. Sanggup berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya. Barangsiapa belum mampu berbuat adil, dia tidak boleh mengawini wanita lebih dari satu orang (Q. S. 4: 129). Keadilan yang diisyaratkan dalam ayat ini mencakup keadilan dalam tempat kediaman, nafkah lahir batin, serta kasih sayang.

Persyaratan dan pembatasan Poligami: 3. Wanita yang akan dikawini lagi seyogyanya perempuan yang ada

Persyaratan dan pembatasan Poligami: 3. Wanita yang akan dikawini lagi seyogyanya perempuan yang ada hubungannya dengan pemeliharaan anak yatim, yaitu wanita yang mempunyai anak yatim, agar anak yatim itu berada di bawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut dan supaya ia dapat berlaku adil terhadap anak yatim dan harta anak yatim tersebut (Q. S. 4: 3 jo Q. S. 4: 127). 4. Tidak boleh dengan wanita yang mempunyai hubungan saudara atau dengan wanita yang mempunyai hubungan sepersusuan dengan isteri (Q. S. 4: 23). 5. Tidak bermaksud hendak mempermainkan atau menganiaya wanita yang akan dikawini itu (Q. S. 4: 24)

Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun

Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 v Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan Indonesia menganut asas Monogami (Pasal 3 ayat 1). v Namun seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan ini. v Syarat-syarat berpoligami Pasal 3 ayat (2) beserta penjelasannya : a) Harus ada izin dari Pengadilan Agama, b) Bila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dan c) Hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya.

Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun

Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 v Izin dari pengadilan, khusus bagi yang beragama Islam wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggal pemohon (Pasal 4 ayat (1) UUP jo. Pasal 40 PP No. 9/1975). v Harus dipenuhi syarat dan alasan tertentu yang dapat dibenarkan Undang-Undang Perkawinan Pasal 4 ayat (2) UUP jo. Pasal 41 a PP No. 9/1975 yang ditentukan secara limitatif, : a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun

Poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 v Ketika memajukan permohonan izin berpoligami, harus pula memenuhi seluruh syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUP, yaitu: a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri terdahulu, b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL JO PP NO 45 TAHUN 1990 TTG PERUBAHAN PP 10/1983 l Perkawinan pertama wajib diberitahukan secara tertulis kepada Pejabat di atasnya: Pasal 2(1). l Perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dulu dari Pejabat: Pasal 3 (1) PP 45/1990 l PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Pasal 4(1) PP 45/1990 l PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari PNS: Pasal 4 (2) PP 45/1990 l Diajukan tertulis dengan alasan yang lengkap: Pasal 4 (3 -4) PP 45/1990

Poligami dalam Kompilasi Hukum Islam (INPRES NO. 1 Tahun 1991) v Bab IX Pasal

Poligami dalam Kompilasi Hukum Islam (INPRES NO. 1 Tahun 1991) v Bab IX Pasal 55 - 59. v Isi dari pasal-pasal ini sesuai dengan UUP dan PP No. 9/1975. v Syarat berpoligami: 1. Jumlah isteri maksimal 4 orang isteri; 2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Merupakan syarat utama yang wajib dipenuhi; 3. Suami harus mendapat ijin dari PA. 4. Apabila isteri tidak setuju, maka PA dapat menetapkan pemberian izin poligami setelah mendengar dan memeriksa isteri tsb di persidangan. Terhadap putusan ini dapat diajukan banding atau kasasi.

Asas-asas Perkawinan menurut UU No. 1 Thn 1974 (penjelasan butir 4) a. Tujuan perkawinan

Asas-asas Perkawinan menurut UU No. 1 Thn 1974 (penjelasan butir 4) a. Tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal b. Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, perkawinan harus (wajib) dicatat menurut peraturan per. UUan yg berlaku. c. Monogami, namun bila dikehendaki krn hukum agama, suami dapat beristri lebih dari seorang.

Asas-asas Perkawinan menurut UU No. 1 Th 1974 (penjelasan butir 4) d. Suami isteri

Asas-asas Perkawinan menurut UU No. 1 Th 1974 (penjelasan butir 4) d. Suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan. e. Mempersukar perceraian. f. Hak dan kedudukan istri seimbang dgn hak dan kedudukan suami dlm kehidupan rumah tangga, dalam pergaulan masyarakat g. Perkawinan berikut segala sesuatu yg berhubungan dgn perkawinan yg terjadi sebelum UU ini berlaku adlh sah

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN Hukum Perorangan & Kekeluargaan Islam

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN Hukum Perorangan & Kekeluargaan Islam

Perkawinan l Dalam melaksanakan perkawinan harus memenuhi ketentuan rukun dan syarat perkawinan l Tidak

Perkawinan l Dalam melaksanakan perkawinan harus memenuhi ketentuan rukun dan syarat perkawinan l Tidak terpenuhinya ketentuan rukun dan syarat perkawinan mengakibatkan tidak sahnya suatu perkawinan l Dasar hukum yang digunakan adalah syari’ah, UU Perkawinan, dan KHI

Rukun Perkawinan v. Rukun ialah unsur pokok (tiang) v. Syarat merupakan unsur pelengkap dalam

Rukun Perkawinan v. Rukun ialah unsur pokok (tiang) v. Syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. v. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat perkawinan, artinya bila salah satu rukun nikah tidak terpenuhi maka tidak terjadi suatu perkawinan.

Rukun Perkawinan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI): l Calon suami dan isteri l

Rukun Perkawinan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI): l Calon suami dan isteri l Wali l Saksi l Ijab Qabul

Syarat Perkawinan v Menurut hukum Islam rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu

Syarat Perkawinan v Menurut hukum Islam rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah. v Syarat Perkawinan terdiri dari dua bagian yaitu Syarat Umum dan Syarat Khusus. A. Syarat Umum Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam al-Qur’an yang termuat dalam Q. S. al-Baqarah (2) : 221 tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama, Q. S. an-Nisaa (4) : 22, 23, 24 tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.

SYARAT KHUSUS 1. Calon Suami dan Isteri l Beragama Islam l Menyetujui perkawinan tersebut.

SYARAT KHUSUS 1. Calon Suami dan Isteri l Beragama Islam l Menyetujui perkawinan tersebut. Calon mempelai harus bebas dalam menyatakan persetujuannya, tidak dipaksa oleh pihak lain. Persetujuan menyatakan kehendak ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berfikir, dewasa atau akil baligh. (Pasal 16 -17 KHI) l Dewasa jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan (Pasal 15 KHI) l Tidak terdapat halangan dan larangan perkawinan: ¡ Bukan mahram pasangannya ¡ Tidak sedang dalam ihram haji atau umroh.

Syarat Calon Suami dan Isteri Syarat bagi calon suami: a. Terang laki-lakinya (bukan banci)

Syarat Calon Suami dan Isteri Syarat bagi calon suami: a. Terang laki-lakinya (bukan banci) b. Sekurang-kurangnya berusia 19 tahun c. Tidak beristeri lebih dari empat. d. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan bakal isterinya. e. Mengetahui bakal isterinya tidak haram dinikahinya. Syarat bagi calon isteri: a. Terang perempuannya (bukan banci). b. Sekurang-kurangnya berusia 16 tahun c. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya. d. Tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah. e. Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suaminya

2. Syarat Perkawinan: Wali l Hadis Rasulullah ¡“Barangsiapa di antara perempuan yang menikah tidak

2. Syarat Perkawinan: Wali l Hadis Rasulullah ¡“Barangsiapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal” l Hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni ¡“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”

Syarat Perkawinan: Wali l Mazhab Syafi’i berdasarkan hadits Rasul yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim

Syarat Perkawinan: Wali l Mazhab Syafi’i berdasarkan hadits Rasul yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, bahwa Rasul pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. l Mazhab Hanafi: wanita dewasa tidak perlu wali bila akan menikah. l Calon isteri harus mempunyai wali yang bertindak untuk menikahkannya (Pasal 19 KHI) l Syarat-syarat wali adalah (Ps 20 ayat (1) KHI): ¡Muslim ¡Aqil ¡Baligh ¡Tidak tuli, bisu, atau uzur (Ps 22 KHI) ¡Laki-laki, ¡Adil ¡dan tidak sedang ihram atau umroh.

Macam-macam Wali 1. Wali Nasab (Ps 21 KHI) ¡Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke

Macam-macam Wali 1. Wali Nasab (Ps 21 KHI) ¡Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya ¡Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka ¡Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki -laki mereka ¡Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki mereka

Macam-macam Wali 2. Wali Hakim (Pasal 23 KHI) ¡Wali hakim adalah penguasa atau wakil

Macam-macam Wali 2. Wali Hakim (Pasal 23 KHI) ¡Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama. ¡Wali hakim baru dapat menjadi wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau adlal (enggan) ¡Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila ada penetapan Pengadilan Agama

Macam-macam Wali 3. Hakam adalah seseorang yang masih termasuk anggota keluarga calon mempelai perempuan

Macam-macam Wali 3. Hakam adalah seseorang yang masih termasuk anggota keluarga calon mempelai perempuan namun bukan wali nasab dan mempunyai pengetahuan agama sebagai wali yang cukup. 4. Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga calon mempelai perempuan dan bukan dari penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan agama yang baik dan dapat menjadi wali perkawinan.

3. Syarat Perkawinan: Saksi l Hadis riwayat Ahmad ¡“Tidak sah nikah kecuali dengan wali

3. Syarat Perkawinan: Saksi l Hadis riwayat Ahmad ¡“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” l Syarat-syarat menjadi saksi (Ps 25 KHI) ¡Laki-laki ¡Muslim ¡Adil ¡Aqil Baligh ¡Tidak terganggu ingatan ¡Tidak tuli ¡Tidak menjadi wali. l Dua saksi laki-laki (Pasal 25 KHI). Apabila tidak ada laki-laki maka seorang laki-laki digantikan dengan dua orang perempuan untuk menjadi saksi.

4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul l Ijab : ¡penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk

4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul l Ijab : ¡penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami ¡suatu pernyataan penyerahan dilakukan oleh wali nikah (Pasal 28 KHI) l Qabul: ¡penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang dilakukan pihak laki-laki. ¡suatu pernyataan penerimaan dilakukan oleh calon suami (Pasal 29 ayat 1 KHI) ¡Dapat diwakilkan kpd pria lain adal calon mempelai pria memberi kuasa yg tegas dan tertulis dan mempelai perempuan tidak keberatan (Pasal 29 ayat 2 -3)

4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul l Pelaksanaan antara pengucapan ijab dan kabul tidak boleh

4. Syarat Perkawinan: Ijab Qabul l Pelaksanaan antara pengucapan ijab dan kabul tidak boleh ada antara waktu, harus segera dijawab. (Pasal 27 KHI) l Hadis riwayat Muslim: ¡“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah”

Mahar l Dalam perkawinan harus ada Mahar atau sadaq. l Dasar Hukum: An Nisa

Mahar l Dalam perkawinan harus ada Mahar atau sadaq. l Dasar Hukum: An Nisa ayat 4: ¡ “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” l An Nisa ayat 20: ¡ “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya kembali. ” l An Nisa ayat 25: ¡ “Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman maka dihalalkan menikahi perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu sebagian dari kamu adalah sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam/Hawa). Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan baerikanlah mereka mas kawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan 2 yang memelihara diri, bukan pezina…”

l Mahar wajib diberikan oleh calon suami kepada calon isteri (Pasal 30 KHI) l

l Mahar wajib diberikan oleh calon suami kepada calon isteri (Pasal 30 KHI) l Jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua pihak dengan anjuran kesederhanaan dan kemudahan dalam mewujudkannya (Pasal 31 KHI) l Biasanya diberikan pada waktu akad nikah dilangsungkan, sebagai perlambang suami dengan sukarela mengorbankan hartanya untuk menafkahi isterinya l Mahar boleh dibayar tunai atau ditangguhkan sebagian atau seluruhnya asal disetujui oleh calon isteri dan menjadi utang calon suami (Pasal 33 KHI) l Kewajiban menyerahkan mahar bukan rukun perkawinan. Kelalaian menyebut jumlah dan jenis mahar tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Mahar berhutang tidak mengurangi sahnya perkawinan (Pasal 34 KHI)

Macam Mahar l Mahar Musamma ¡Mahar yang telah disepakati oleh calon suami dan calon

Macam Mahar l Mahar Musamma ¡Mahar yang telah disepakati oleh calon suami dan calon istri l Mahar Mitsil ¡Mahar yang belum ditentukan jumlah dan bentuknya pada saat ijab kabul

Ketentuan pembayaran mahar Al Baqarah ayat 237 l “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu

Ketentuan pembayaran mahar Al Baqarah ayat 237 l “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya itu, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu” Pasal 35 KHI l Suami yang mentalak isterinya dalam keadaan qobla dukhul, ia wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah l Suami yang meninggal dunia dalam keadaan qobla dukhul, seluruh mahar menjadi hak isterinya l Perceraian terjadi qobla dukhul dan mahar belum ditetapkan, suami wajib membayar mahar mitsil.

Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan • Pasal 2

Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan • Pasal 2 ayat (1): perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing agamanya dan kepercayaannya itu. • Penjelasan Pasal 2: tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. • Berarti untuk Orang Islam maka yg berlaku adalah hukum perkawinan Islam.

Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 1. Persetujuan kedua

Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 1. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6). 2. Harus berusia 16 (enam belas) tahun bagi wanita dan berusia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria (Pasal 7). 3. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal yang diizinkan (Pasal 9). 4. Bagi yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat (2)). 5. Tidak merupakan pihak-pihak yang dilarang untuk menikah seperti tercantum dalam Pasal 8, 9, 10.

Pencatatan Perkawinan

Pencatatan Perkawinan

Menurut Hukum Islam l Tidak ada ketentuan yang jelas di al Qur’an dan Hadits

Menurut Hukum Islam l Tidak ada ketentuan yang jelas di al Qur’an dan Hadits Rasul tentang pencatatan perkawinan l Tidak diatur secara tegas kewajiban mencatat perkawinan (nikah) dalam kitab fikih; l Q. S. al-Baqarah (2): 282 menjelaskan tentang bermuamalah secara : “…. Jika kamu bermuamalah, maka catat dan hadirkan 2 orang saksi…. . ”

Menurut Hukum Islam l Menurut M. Idris Ramulyo bukti autentik terjadinya perkawinan sesuai dengan

Menurut Hukum Islam l Menurut M. Idris Ramulyo bukti autentik terjadinya perkawinan sesuai dengan analogi (qiyas) ketentuan dalam Q. S. 2: 282. l Namun sebagian ahli berpendapat bahwa ayat ini hanya untuk utang piutang. l Perjanjian utang piutang yang bersifat sementara saja diatur apalagi akad nikah yang seumur hidup. l Menurut hukum Islam pencatatan perkawinan hanya proses administrasi saja, tidak mempengaruhi sahnya perkawinan.

Menurut Hukum Islam l Hadits Rasul, yang diriwayatkan oleh al. Tirmidzy berasal dari Siti

Menurut Hukum Islam l Hadits Rasul, yang diriwayatkan oleh al. Tirmidzy berasal dari Siti Aisyah: “I’lanun nikaaha wadhribu alaihi bil gaarbaali”, artinya: “umumkanlah perkawinan itu dan pukullah gendang dalam hubungan dengan pengumuman itu” l Manfaatnya untuk memberi tahu masyarakat bahwa telah terjadi perkawinan sehingga dapat terhindar dari fitnah.

UU Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk l UU No. 22 tahun 1946 yang mulai

UU Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk l UU No. 22 tahun 1946 yang mulai berlaku di seluruh Indonesia pada tanggal 2 Nov. 1954 melalui UU No. 32 tahun 1954: l Pasal 1 ayat (1): nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang diangkat oleh menteri agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. l Pasal 3 ayat (1): yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan PPN atau wakilnya, dihukum denda.

SK Mahkamah Islam Tinggi tahun 1953 No. 23 l Bila rukun nikah telah lengkap,

SK Mahkamah Islam Tinggi tahun 1953 No. 23 l Bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar maka nikah tersebut adalah sah, sedang yang bersangkutan dikenakan denda karena nikah tidak didaftar

UU PERKAWINAN l Pasal 2 ayat( 2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang

UU PERKAWINAN l Pasal 2 ayat( 2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. l Penjelasan Umum UU Perkawinan: ¡Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. ¡Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.

UU PERKAWINAN l Pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya

UU PERKAWINAN l Pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. l Namun UU Perkawinan menempatkan pencatatan suatu perkawinan pada tempat (kedudukan) yang penting sebagai pembuktian telah diadakan perkawinan

Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 -7 menjelaskan bahwa: �Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat

Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 -7 menjelaskan bahwa: �Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat �Pencatatan perkawinan dilakukan oleh PPN sebagaimana diatur dalam UU No 22 tahun 1946 jo. UU No 32 tahun 1954 l Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan di bawah pengawasan PPN l Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum. l Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN

Wassalam Terimakasih

Wassalam Terimakasih