Antropologi Pertahanan Kebijakan Pertahanan di Perbatasan Maritim Oleh
Antropologi Pertahanan Kebijakan Pertahanan di Perbatasan Maritim Oleh H. M Soerya Respationo Rizal Noviandi 170510140026 Departemen Antropologi
• Tulian ini ditulis oleh orang nomor dua di Kepulauan Riau yaitu H. M. Soerya Respationo (wakil Gubrenur Provinsi Kepulauan Riau). Beliau menulis makalah ini berawal dari sebuah refleksi atas daerah yang ia tinggali dan timbul sebuah keprihatinan atas segala hal ihwal tempat yang mana beliau bersapa riang dengan teman dan sanak keluarga. • Penulis yakin orang yang membaca makalah yang termuat dalam jurnal antropologi pertahanan ini akan terbuka mata hatinya, dan membawa kita intermezzo seolah-olah kita merasakannya scara langsung—dan realitanya kita merasakan secara langsung hanya saja kita pura-pura diam atau pura-pura tidak tahu.
Pendahuluan • Indonesia menganut asas Archipelago atau asas negara kepulauan berdasarkan Deklarasi Djuanda. Ya, memang benar kita adalah satu negara dengan kepulauan terbesar di dunia. Dari Sabang samapi Merauke berjajar rapih gugusan pulau-pulau, tidak kurang dari 17. 000 pulau yang ada di Indonesia beserta garis pantai tropikalnya yang terpanjang di dunia kurang lebih sekitar 81. 000 km. Dari keadaan yang menakjubkan ini, tentunya timbul suatu pertanyaan yang mengaung ditelinga. Apakah pembangunan yang selama ini dilakukan telah menggunakan pendekatan letak geografi kita sebagai negara kepulauan? . Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentunya dibutuhkan refleksi yang mendalam dan harus melihat realita dengan kaca mata objektif.
• Indonesia sebagai negara maritim tentunya akan mengahadapi politik negara tetangga yang berbatasan secara langsung. Hal ini merupakan suatu konsekuensi dari negara maritim, dan yang pasti permasalahan di laut itu lebih rumit, kompleks, dan variatif ketimbang di perbatasan wilayah darat. Pada kesempatan kali ini, saya akan membatasi topik kajian perbatasan maritim yang terjadi atau yang ada di Kepri. Topik ini merupakan topik yang sangat menarik untuk dikaji secara tuntas, karena wilayah ini berada di garda terdepan perbatasan maritim yang berhubungan langsung dengan Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Membaca Peta Makna dan Sejarah • Kepulauan Riau yang notabene berada di selat Malaka, tentunya memiliki letak yang sangat strategis. Ya, daerah ini sebagai wilayah “perempatan jalan” dari zaman dulu samapai zaman sekarang ini. Dari zaman kejayaan kerajaan adidaya Majapahit dan Sriwijaya, dari zaman koloinal samapai zaman kemerdekaan, wilayah ini masih sangat eksotik sebagai jalur perniagaan atau perekonomian.
Dengan penuh kesadaran dalam membaca peta makna dan sejarah Kepri, semoga kita dapat mendapatkan petikan hikmah akan arti penting wilayah perdagangan atas bukti historis. Sejarah mencatat bangsa asing yang pertama datang ke Indonesia (Portugis) tempat yang pertama kali mereka singgahi dan kembangkan adalah wilayah ini (Kepri). Mereka sadar akan potensi yang dimilki wilayah yang dianggap kepulauan terluar sekarang ini. Bahkan perebutan atas wilayah ini pernah terjadi pada tahun 1606 ketika Belanda menyerang benteng Portugis walaupun tidak berhasil. Hal ini semakin meyakinkan kita akan arti penting wilayah perbatasan maritim di Kepri sebagai soko guru kemajuan bangsa suatu refleksi kejayaan zaman dulu untuk kejayaan zaman sekarang.
Pertahanan dan keamanan di Perbatasan Kepulauan Riau • Pada masa lalu dan masa sekarang, dearah perbatasan tak ubahnya sering diasumsikan sebagai kawasan yang rawan, sarang pemberontak, pusat kegiatan ilegal, terbelakang, dan menjadi halaman belakang semata sehingga kurang menarik bagi kegiatan investasi dan ekonomi. Dalam hal ini, hal yang dilihat tentunya dari satu pendekatan yaitu pendekatan keamanan (Security). Implikasinya daerah perbatasan seakan menjadi daerah yang terisolasi, tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan nihilnya para investor di wilayah perbatasan. Stigma buruk ini seakan menjadi pukulan telak bagi wilayah perbatasan, bagaimana tidak wilayah ini sering di justifikasi sebagai daerah penyelundupan. Apalagi pada masa dulu belum ada lembaga yang kompeten dan mengkoordinasikan wilayah perbatasan.
Pengelolaan Wilayah Perbatasan • Secara juridis pemerintah pusat telah sadar akan arti penting wilayah perbatasan. Hal itu tercermin dari terbitnya UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang kemudian ditindak lanjuti dengan terbitnya Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), yang membawa jiwa dan spirit baru mengenai pandangan terhadap masalah daerah perbatasan. Penanganannya pun dibilang intensif, komprehensif, dan terpadu, guna mengejewantahkan visi BNPP yang ingin menciptakana perbatasan sebagai beranda depan NKRI yang aman, tertib, dan maju.
Kesimpulan • Kalau istilah gaulnya “Jas merah” jangan sekali-sekali melupakan searah begitulah pepatah yang sangat fenomenal dan di kopi ribuan kali oleh para penulis. Hal yang demikian itu merupakan suatu realita yang ada dipertahanan kita yang seolah tidak mau belajar dari pengalamna sejarah kelam di masa lalu. Ketika daerah pertahanan dikuasai bangsa asing, harga diri bangsa ini terasa sanngat diinjak-inajak. Kita hanya mempunyai satu pilihan, yaitu sebagai antropolog kita harus mempunyai peran dalam mempertahankan wilayah pertahanan ini agar pertahanan dan keamanan serta kedaulatan NKRI tetap terjaga.
• Jales veva jaya mahe pepatah yang serring diartikan sebagai dilautan kita berjaya, tetapi kondisi objektif justru menunjukan di laut kita bangkrut, di darat kita melarat, dan di udara kita merana, wabil khusus di daerah perbatasan negara. Kondisi yang carut marut ini hendaknya jangan didiamkan begitu saja, kita sebagai antropolog dituntut untuk mampu mengubah keadan ini, dengan manifestasinya turun ke lapangan untuk mencari kekuatan dan kelemahna megenai wilayah perbatasan, terutama yang menyangkut keadan geografi, sosikultural, serta petakan dengan tepat dan benar agar wilayah perbatasan dapat segera bangkit dan terus berkembang menjadi beranda terdepan NKRI. • Sejarah mencatat tentang zaman keemasan para nenek moyang mampu menjaga dan mengembangkan wilayah perbatasannya. Di darat terjaga di laut mereka juara, kekuatan maritim pada saat itu sangat andal dan disegani dunia. Tinta sejarah juga mencatat, ketika nenek moyang bangsa kita mulai lupa akan daerah perbatasannya dari sinilah bangsa asing masuk dan dengan mudahnya mengauasai wilayah yang startegis ini.
• Perubahan paradigma yang dulu menyatakan pulau terluar sebagai sampul belaknag sedangkan sekarang sebagai beranda terdepan bangsa ini alangkah baiknya apabila cepat diimplementasikan, guna mencapai kemajuan wabil khusus di wilayah Kepri. Eksistensi BNPP sangat diharapkan untuk menjadikan pisau yang tajam dalam membangun daerah perbatasan, serta dapat mensinergikan seluruh elemen (bersama rakyat). • Meskipun paradigma terhadap daerah perbatasan telah berubah, akan tetapi dalam praktiknya masih menggunakan tradisi sentralistik masih terlihat untuk rakyat (bukan bersama rakyat). Padahal dalam pembangunan itu harus berdasarkan kesadaran dan aspiratif masyarakat pendukung. Karena tidak selamanya pembanguan adalah kemajuan bagi setiap orang. Sudah saatnya dalam perencanaan dan pengejewantahan pembanguna di wiliyah perbatasan dengan menggunakan desentralistik (otonomi daerah) dengan pemerintah pusat sebagai dewan penasihat. Jika hal itu sudah terjadi dan berjalan sesuai dengan fungsinya, maka kemajuan bukan hal yang mustahil untuk dicapai.
• Secara juridis, wilayah perbatasan di atur dalam undang-undang No. 44 Tahun 2007 dan PP No. 46 yang direvisi menjadi PP No. 5 Tahun 2011, dan PP No. 48 tahun 2007 tentang kawasan perdagan bebas dan pelabuhan bebas di Batam, Bintan, dan Karimun dapat menjadi suatu keuntungan baik dari segi finasial maupun percepatan pembangunan di wilayah Kepulauan Riau. • Tercapai atau tidaknya keberhasilan pembangunan di wilayah perbatasan menunjukan suatu refleksi, sejauh mana kita semua bertanggung jawab atau tidaknya selaku pemegang amanah dan abdi negara dalam mengelola wilayah perbatasan negara.
Daftar Rujukan • Diamar, Son. Penataan Ruang Berbasis Geografi Negara Kepulauan: Beberapa Catatan. Badan Pusat Satistik (BPS) tahun 2010. • Respationo, Soerya. 2012. Kebijakan Pertahanan di Pervatasan Maritim. Dalam Jurnal Antropologi Pertahanan. Hlm 134 -143
- Slides: 13