ALIRAN DALAM ILMU KALAM KLASIK MUTAZILAH Mata Kuliah

  • Slides: 14
Download presentation
ALIRAN DALAM ILMU KALAM KLASIK (MU’TAZILAH) Mata Kuliah : Ilmu Kalam Prameswara Dosen Pembimbing

ALIRAN DALAM ILMU KALAM KLASIK (MU’TAZILAH) Mata Kuliah : Ilmu Kalam Prameswara Dosen Pembimbing : Cecep Hilman, M. Pd. by: Eneng Sofa Hanipa

Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Makalah • Bagaimana latar belakang • Mengetahui latar belakang •

Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Makalah • Bagaimana latar belakang • Mengetahui latar belakang • Apa saja ajaran-ajaran • Mengetahui ajaran-ajaran • Siapa saja tokoh pendiri • Mengetahui tokoh-tokoh pendiri munculnya Mu’tazilah? munculnya Mu’tazilah.

Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti “berpisah”

Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri”. Aliran Muktazilah (memisahkan diri) muncul di Basra, Irak, pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700 -750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Wasil bin Atha' berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.

Nama Mu’tazilah diberikan karena: a. Orang-orang Mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian besar ummat karena mereka

Nama Mu’tazilah diberikan karena: a. Orang-orang Mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian besar ummat karena mereka (orang-orang Mu’tazilah) mengatakan bahwa orang fasik, yaitu orang yang melakukan dosa besar, tidak mu’min tidak pula kafir. b. Wasilbin Ata’, pendiri aliran Mu’tazilah berbeda pendapat dengan gurunya yaitu Hasan Basri, dalam soal tersebut diatas, karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya dan berdiri sendiri kemudian mendapat pengikut banyak. Kemudian Hasan Basri berkata “Wasil telah memisahkan diri dari kami”, sejak saat itu maka wasil dan teman-temanya disebut “golongan yang memisahkan diri” (Mu’tazilah) c. Ahmad Amin dalam bukunya (Fajar Islam 1/344) berpendapat bahwa mula-mula memberikan nama “Mu’tazilah” adalah orang-orang Yahudi, pada abad ke empat atau ketiga sebelum lahir Isa timbulah golongan Yahudi “PHARISSE”yang artinya “memisahkan diri” (dari bahasa Ibrani, parash; to separate). Sebutan ini dipakai untuk orang Mu’tazilah, bahwa pharisse mirip dengan golongan mu’tazilah, yaitu bahwa semua perbuatan bukan Tuhan yang mengadakanya. Akan tetapi pendapat ini kurang tepat, karena motif berdirinya golongan pharisse berlainan dengan motif berdirinya golongan mu’tazilah.

Golongan-golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah : a. John of Damascus (676 -749) b. Tsabit

Golongan-golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah : a. John of Damascus (676 -749) b. Tsabit Bin Qurroh Teori ini mengatakan bahwa Tuhan zat yang baik, menjadi sumber segala kebaikan dan tidak dapat mengerjakan keburukan. Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang bisa menimbulkan pengertian bilangan, gambaran-gambaran yang dilakukan oleh kitab suci ketika membicarakan Tuhan hanyalah sebagai lambang semata, agar manusia dapat mudah memahaminya, manusia bebas berbuat dan memilih yang karenanya ia diminta pertanggungan jawab. Diambil dari teori pemujaan kekuatan akal, dengan akal pikiran semata-mata manusia mengetahui adanya Tuhan, dengan akal pikiran pula ia dapat mengetahui baik dan buruk, dan dari Tsabit pula diambil pula cara-cara pembenaran agama dengan alasan-alasan fikiran.

Ajaran aliran Mu’tazilah 1. At-Tauhid At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dalam intisari ajaran

Ajaran aliran Mu’tazilah 1. At-Tauhid At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dalam intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya. Namun mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin ata, seperti dikutip oleh Asy. Syahrastani mengatakan, “siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan. ” Ini tidak dapat diterima karna merupakan perbuatan syirik.

2. Al-adl Ajaran dasar mu’tazilah adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha Adil ini merupakan

2. Al-adl Ajaran dasar mu’tazilah adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha Sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (Ash-shalah) dan terbaik (Al-ashlah) dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janji-Nya. Dengan demikian, Tuhan terikat dengan janji-Nya.

Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal antara lain: a). Perbuatan Manusia

Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal antara lain: a). Perbuatan Manusia c). Mengutus Rasul Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Manusia benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya baik atau buruk, akan tetapi perlu diketahui tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik bukan yang buruk. Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini. b). Berbuat baik dan terbaik (2). Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q. S. Asy-Syu’ara [26]: 29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul. Dalam istilah arab berbuat baik dan terbaik disebut Ash. Shalah wa Al-Ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Menurut An -Nazzam salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan , kemurahan, dan kepengasihan Tuhan yaitu sifat-sifat yang layak baginya. (1). Tuhan wajib berlaku baik kepada manusiaan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka. (3). Tujuan diciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.

3. Al-Wa’d wa al-wa’id Al-Wa’d wa Al-wa’di berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha

3. Al-Wa’d wa al-wa’id Al-Wa’d wa Al-wa’di berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji. Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (Al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (Al-Ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, siapapun akan berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih. Ajaran ke tiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia tobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.

4. Al-Manzilah bain al-manzilatain Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Ajaran ini

4. Al-Manzilah bain al-manzilatain Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang kafir bahkan musyik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri mazhab mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut berada diantara dua posisi (Al. Manzilah bain al-manzilatain). Karna ajaran inilah, Wasil bin Ata dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhab nya.

5. Al-Amr bin Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh

5. Al-Amr bin Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakkan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu: (1) Ia mengetahui perbuatan yang harus itu ma’ruf dan yang dilarang itu munkar. (2) Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang. (3) Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madharat yang lebih besar. (4) Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakanya tidak akan membahayakan diri dan hartanya.

Tokoh-tokoh Mu’tazilah Wasil bin’ Ata al-Ghazzal (80 -131 H atau 699 M) Abu Al-Huzail

Tokoh-tokoh Mu’tazilah Wasil bin’ Ata al-Ghazzal (80 -131 H atau 699 M) Abu Al-Huzail Al-Allaf (135 - 226 H atau 753 - 840 M) Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M) Mu’ammar bin Abbad as-Sulmay (wafat 220 H/ 835 M) Bisyr bin al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M) Jahiz Amr bin Bahr (wafat 255 H/ 808 M)

Simpulan dan saran Simpulan Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi islam diawali oleh masalah

Simpulan dan saran Simpulan Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran teologi islam diawali oleh masalah yaitu mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Kelima ajaran dasar mu’tazilah dalam al ushul al khamsah adalah at-tauhid (pengesaan tuhan), al-adl (keadilan tuhan), al-wa’ad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), al manzilah bain al manzilatain (posisi diantara dua posisi), al amr bi al ma’ruf wa al nahy an al munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Tokoh tokoh Mu’tazilah antara lain, Wasil bin’ Ata al-Ghazzal, Abu Al-Huzail Al-Allaf, Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam, Mu’ammar bin Abbad as. Sulmay, Bisyr bin al-Mu’tamir, Jahiz Amr bin Bahr. Saran Dengan demikian sebagai penulis makalah ini kami meminta saran dan kritik karena masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki agar teman-teman mahasiswa yang membaca ataupun Dosen yang membimbing agar memberikan masukan demi kesempurnaan penulisan Makalah yang berjudul ”Aliran Mu’tazilah”.

TERIMAKASIH

TERIMAKASIH